Pernahkah kita membayangkan seorang presiden meninggalkan istana dengan celana pendek dan kaos oblong? Bagi sebagian orang, itu mungkin terdengar mustahil. Namun, pada 23 Juli 2001, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur benar-benar melakukannya.
Ia berjalan keluar dari Istana Merdeka dengan pakaian santai, ditemani keluarga dan beberapa staf, lalu melambaikan tangan kepada ribuan rakyat yang menunggu. Pemandangan itu bukan sekadar penampilan nyeleneh, melainkan sebuah pesan politik yang kuat, Istana bukanlah benteng kekuasaan yang harus dijaga mati-matian, melainkan rumah rakyat yang harus kembali kepada pemilik sejatinya.
Langkah Gus Dur bisa dipahami lewat kerangka teori politik klasik. Max Weber membagi legitimasi kekuasaan menjadi tiga. Tradisional, legal-rasional, dan karismatik. Gus Dur adalah contoh pemimpin dengan legitimasi karismatik.
Otoritasnya lahir dari kepribadian, integritas moral, dan keberanian melawan arus, bukan semata jabatan formal. Dalam teori civil society Larry Diamond, demokrasi akan tumbuh sehat bila ada figur yang menjembatani jarak antara rakyat dan negara, menciptakan ruang terbuka untuk partisipasi. Saat Gus Dur keluar Istana dengan pakaian santai, ia sedang melakukan dekonstruksi simbol kekuasaan, membawa negara turun ke level rakyat.
Kini, relevansi simbol itu terasa kuat kembali. Sejak akhir Agustus 2025, demonstrasi besar mengguncang Jakarta dan kota-kota lain. Rakyat marah terhadap keputusan DPR yang memberi tunjangan dan fasilitas mewah bagi para legislator di tengah beban ekonomi masyarakat.
Kemarahan ini diperparah dengan cara pemerintah merespons secara defensif, sehingga membuat kepercayaan publik makin terkikis. Pemerintah memang telah sepakat mencabut sebagian fasilitas dan membatasi perjalanan luar negeri anggota DPR, tetapi protes tidak reda karena masalahnya lebih dalam. rakyat merasa diabaikan.
Dalam kondisi inilah kita perlu menoleh pada Gus Dur. Ia mengajarkan bahwa simbol bisa lebih kuat dari sekadar kebijakan teknis. Dengan celana pendek dan kaos oblong, ia mendobrak imaji presiden sebagai sosok sakral nan berjarak. Ia menunjukkan kerendahan hati dan keberanian untuk melepas jabatan tanpa perlawanan. Sebaliknya, elite politik saat ini justru sibuk mempertahankan fasilitas dan gengsi, seolah lupa bahwa legitimasi politik bukan berasal dari kursi atau tunjangan, melainkan dari rakyat.
Baca juga:
Bagi Gus Dur, mundur bukan tanda kekalahan, melainkan kemenangan moral. Ia pernah berkata, “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian ” Ia menolak tawar-menawar jabatan dan kompromi kekuasaan, memilih menjaga demokrasi daripada mempertahankan kursi.
Ini sejalan dengan konsep Weber bahwa legitimasi karismatik sering kali berbenturan dengan sistem formal, tetapi justru menciptakan teladan moral bagi generasi berikutnya. Demokrasi di Indonesia kala itu memang masih rapuh, tetapi tindakan Gus Dur membuktikan bahwa kepemimpinan tidak diukur dari seberapa lama berkuasa, melainkan seberapa tulus menjaga rakyatnya.
Mari kita bandingkan dengan situasi demo terkini. Ribuan orang turun ke jalan, sebagian besar mahasiswa, driver ojek online dan buruh, menolak praktik politik elitis yang dianggap mengkhianati rasa keadilan. Mereka menuntut DPR hidup sederhana sebagaimana rakyat, bukan menikmati fasilitas berlebihan.
Jika saja ada figur yang mau “menanggalkan jas dan dasi” lalu hadir ke tengah massa, bukan sebagai pejabat, melainkan sebagai sesama warga negara, mungkin eskalasi bisa mereda. Gus Dur menunjukkan contoh itu, kehadiran yang membumi mampu menenangkan, bahkan lebih dari kebijakan formal sekali pun.
Dari perspektif teori civil society Diamond, simbol pakaian santai Gus Dur adalah cara menghadirkan negara dalam wujud sipil. Negara tidak lagi berdiri berhadapan dengan rakyat, tetapi hadir di tengah mereka. Maka tak heran, meski Gus Dur turun dari kursi presiden dengan proses politik yang keras, ia tetap dikenang dengan hormat oleh rakyat kecil. Ada kepercayaan yang terbangun, karena ia tidak menutup diri dengan protokoler dan kemewahan.
Baca juga:
Pelajaran ini seharusnya menjadi refleksi untuk pemimpin hari ini. Legitimasi politik tidak akan bertahan hanya dengan aturan hukum atau simbol formal. Ia harus dipelihara dengan kedekatan, integritas, dan keberanian melepas ego. Jika protes rakyat dipandang sebagai ancaman lalu dijawab dengan represi, luka demokrasi akan semakin dalam. Tetapi jika protes dipandang sebagai ekspresi sah dari pemilik kedaulatan, lalu dijawab dengan kerendahan hati, akan ada jembatan dialog yang terbuka.
Gus Dur menegaskan bahwa kekuasaan hanyalah amanah sementara. Ia bahkan menjadikan humor sebagai cara melucuti ketegangan politik. Celana pendek dan kaos oblong pada malam ia meninggalkan Istana bukanlah kelucuan semata, melainkan “humor politik” paling kuat, menertawakan keangkuhan kekuasaan.
Menurut penelitian Dwipayana, Manurung, dan Trihandoko (2023), gaya Gus Dur adalah bentuk kepemimpinan karismatik yang transformatif, ia mengubah cara kita memandang pemimpin bukan dari simbol kemewahan, tetapi dari kerendahan hati dan keberpihakan pada rakyat. Menurut penelitian Hidayatulloh (2018), peristiwa Gus Dur meninggalkan Istana dengan celana pendek dan kaos oblong justru menjadi memori kolektif bangsa tentang integritas, bukan kelemahan.
Kini, di tengah kemarahan publik, bangsa ini butuh pemimpin yang berani tampil sederhana, bahkan bila perlu menanggalkan simbol kemewahan, untuk menegaskan keberpihakannya. Celana pendek dan kaos oblong Gus Dur bukan sekadar sejarah, melainkan pelajaran bahwa istana bisa disulap menjadi rumah rakyat, asal pemimpinnya berani membumi.
Editor: Prihandini N