Pupus
Hidup sia-sia,
mati apalagi
Hari-hari dilewati tak ada hasil
Sementara waktu tak ada kompromi
Pangan habis
Perut meringis
Kantong menipis
Hati teriris
Percuma hidup, kata orang
Sementara orang sudah jadi orang
Apa boleh buat,
umur habis berkurang
Kayu sudah jadi arang
Kupinta pada langit
Merapal tak ada henti
Mengharap jalur langit
Mengentaskan kebimbangan hati
Namun, bagaimana bisa?
Fajar telah menyingsing,
Sementara tubuh mengharap tak ada bising
Menyelam di lautan mimpi
Berharap menjadi pemimpi
Bangun melihat terik matahari
Cuci muka lalu mencari nasi
Apa boleh buat,
nasi sudah basi
Muka pun jadi pasi
Duduk mengamati kerumunan orang
Berharap hidup gemilang
Apalah daya tak punya uang
Keluh terlontar, “di manakah takdir berpihak?”
Pantaskah diri ini memanusia?
Semuanya abu-abu
Yang hitam hanyalah langit yang kembali malam
(2023)
–
RK: Rumah Kita
Bangunan itu bukan rumahmu,
Bukan pula rumahku
Itu adalah rumah kita
Ya, rumah kita
Kita membunuh waktu bersama-sama
Bercengkerama hingga kehabisan kata
Tembok jingga adalah saksinya
Melihat tingkah laku anak manusia
Kita menyebutnya Bontoramba
Kita bebas di sana, sebab kita “merdeka”
Tawa kita menggema di mana-mana
Tidak ada yang risih,
Sebab katamu, ruangan itu kedap suara
Kalian mungkin lupa
Bahwa rumah itu sungguh bermakna
Setiap pintu terbuka, cerita pasti bermula
Bungkus makanan yang kalian bawa,
kita lahap dengan saksama
Bagiku, dua tahun itu sementara
Sementara, namun berharga
Nasib kita di perantauan,
ditambatkan di sana; suka maupun duka
Kalian mungkin lupa
Bahwa pernah jua ada air mata
Air mata yang terus diseka
Untuk menghindari suasana nestapa
Kalian naif,
Kalian tak mengenal nestapa
Padahal tawa dan nestapa selalu bersama
Namun tak apa, jika itu membuat kita tetap bersua
Tapi, apa boleh dikata
Kita beranjak menjadi langka
Kata kalian, kita telah menua
Meniti jalan menuju sarjana
(2020-2022)
–
Delapan Belas
Setelan hitam dan putih menempel rapi di tubuhku
Sedikit wewangian, sepatu, lalu tas ransel hitam
Tak lupa arloji, dasi, dan diakhiri jas kebanggaan berwarna merah
Hari ini, chapter baru akan dimulai
Jalan beraspal menuntun roda ini melesat jauh ke dalam
Pepohonan rindang dan asri bertebaran sepanjang rute yang kulalui
Asing, pohon-pohon lekat mengamatiku layaknya pendatang baru
Sejuk, angin berembus menyapa kulitku yang juga asing baginya
Hari ini, aku bagai terlahir ke dunia baru
Dunia yang jauh dan asing, yang agak metropolis
Dunia yang megah dan eksklusif
Dunia yang nantinya akan mengikis kesahajaan yang dibawa sedari kecil
Tak kusangka takdir membawaku ke mari
Matahari masih di timur ketika aku tiba di sebuah gedung
Gedung besar, kokoh, dan berarsitektur unik
Kulihat gerombolan yang serupa diriku mulai memasuki gedung itu
Takjub, romaku bangkit saat mata ini menyapu hamparan di dalamnya
“Selamat datang!”
“Sekali lagi, selamat datang!”
Pintu keluar gedung menyambutku dengan ramah
Ia seolah berkata, “kenalilah dunia barumu di luar, hiduplah bersamanya”
Matahari telah di barat ketika aku keluar
Lekat kuamati dunia baru ini
Kaki melangkah, meniti setiap inci halaman, memperkenalkan diri ke lingkungan
“Halo, aku pendatang baru, maukah kau bersahabat denganku?”
Sialan, dunia ini butuh waktu untuk bisa akrab
Katanya, “aku cukup tahu namamu, tapi untuk tahu dirimu, kau harus terus menemuiku nanti.”
Tampaknya, ini tidak instan, semuanya butuh proses
Biarlah, pikirku, toh aku akan tetap di sini, setidaknya sampai tujuh tahun ke depan
Matahari hampir tenggelam ketika aku menghidupkan mesin motorku
Dua roda ini terus melindas aspal hingga ke gerbang keluar
Aku akan meninggalkan dunia baruku untuk hari ini
Esok aku akan kembali, dan seterusnya, masih bertahun-tahun lagi
(2018)
–
Hampir
Pintu itu kau ketuk lagi
Berkali-kali hingga pemiliknya cemas
“Haruskah kupersilakan masuk?”
Kau tahu,
Tidak semua tamu membawa kabar baik
Tidak semua, termasuk kau
Atau mungkin saja kau berbeda
Mungkin
Sayangnya, kau berhenti pada ketukan empat puluh delapan
Pintu itu urung terbuka
Kau berbalik, pergi
Meninggalkan tanya yang menggantung
“Kau membawa kabar apa?”
(2023)
–
Tetesan
Tetes peluh
Tetes air mata
Tetes air hujan
Tetes mata air
Di hulu yang sepi
Semua cairan itu menetes
Tanpa jeda
Tanpa tetapi
Tanpa tedeng aling-aling
Mengalirlah, layaknya sungai ini
Meluncurlah dari mata dari pelipis dari langit
Biarlah semua mengalir
Menyatu dengan deras air sungai
Sebentar lagi,
Raga ini menyusul
Hanyut di jeramnya sungai
Membawa luka yang abadi
(2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA