Pembangunan Istana IKN yang dimandori I Nyoman Nuarta adalah penanda kegagalan spirit yang dibawa Gerakan Seni Rupa Baru, bahkan lebih jauh arus seni kontemporer yang muncul sejak era Orde Baru.
Semua insan seni kontemporer pasti terkagum-kagum dengan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB), sejak kemunculan peristiwa Desember Hitam pada 1974. GSRB adalah bagian wajib dalam kurikulum sejarah seni Indonesia, apalagi dalam periode 1970-1990. Terma seperti estetika protes, seni partisipatif, hingga seni lintas medium bermunculan ketika kita membahas GSRB. Saat saya mempelajari GSRB di bangku kuliah, beberapa dosen selalu menggebu-gebu menjelaskan sejarah “gerakan” seni satu itu. Peran mereka seperti sangat penting dalam kemunculan estetika kontemporer di Indonesia.
Setelah mengawali arus estetika kontemporer, GSRB bubar dan masing-masing eksponennya itu melanjutkan praktik seninya secara beragam. Bukan kebetulan, nama Mulyono yang disematkan secara kreatif oleh netizen pada Joko Widodo mirip dengan nama salah satu eksponen GSRB yang masih melanjutkan spirit resisten, ia adalah Moelyono. Pada tahun 1970-an, Moelyono mendobrak tradisi seni formalistik dengan karya “Koperasi Unit Desa”, saya juga ingat F. X. Harsono yang puluhan tahun konsisten membahas isu seputar sejarah masyarakat Tionghoa dan kekerasan budaya.
Ya, saya teringat seorang penulis pernah menuliskan, seni kontemporer di Indonesia berutang besar pada GSRB, kemunculannya menandai titik awal seni kontemporer. Beberapa peneliti seni menganggap GSRB mengawali jalan sejarah bagi kemungkinan seni yang terlibat dalam ketertindasan akar rumput, terutama sejak LEKRA dibabat habis pada periode 1965-1969. Hingga pada era ultima Orde Baru, banyak seniman GSRB tajam mengkritik kekuasan, Hardi dengan poster protes misalnya dan beberapa seniman lain yang terlalu banyak jika disebutkan satu per satu.
Spirit seni yang terlibat pada krisis sosial-politik adalah warisan berharga dari GSRB. Tetapi spirit itu kini berbenturan dengan eksponen GSRB bernama I Nyoman Nuarta. Apa yang Nyoman Nuarta lakukan pada era otoriter populis ala Jokowi adalah penguburan sejarah pada jalan estetika yang sempat ia tempuh dalam GSRB, yakni estetika yang tetap kritis melihat ketimpangan, juga kritis dalam berpihak pada konsidi ketidakadilan.
Sementara situasi gerakan masyarakat sipil di Indonesia masih tertatih-tatih untuk terus melawan. Melani Budianta menyebut “emergency activism” bagi arus aktivisme setelah 1998, setiap perlawanan seakan dilakukan secara darurat. Maka ia menyebut “koreografi jangka panjang” diperlukan dalam aktivisme setelah 1998 itu. Seni kemudian jadi salah satu area yang sama vitalnya untuk kekuatan jejaring masyarakat sipil, terutama untuk mengupayakan koreografi jangka panjang tersebut. Tentu lewat kerja-kerja seni yang merawat nalar publik, seni keterlibatan warga, dan resistensi via estetika.
Eksponen GSRB seperti Nyoman Nuarta tampak tak peduli dengan imaji terhadap seni yang terlibat pada perjuangan masyarakat sipil. Ia malah membangun IKN dengan segala onani arsitektural kekuasaan Jokowi. Seperti sebuah epos pengkhianatan, membaca perjalanan para eksponen GSRB rasanya seperti membaca fragmen Perang Uhud. Seakan seperti kisah Abdullah bin Ubay yang mengaku beriman, tetapi membawa pasukannya untuk membelot dan bergabung dengan kaum Quraisy.
GSRB yang dianggap membuka jalan pada estetika kontemporer, dalam sejarahnya berpijak pada seni yang kritis pada ketimpangan dalam berbagai bentuk kuasa. Justru, eksponen dari titik awal seni kontemporer di Indonesia itu ada yang berpaling dari jalur “kontemporitas”. Sementara ada yang tetap keras kepala untuk menjadi kontemporer dan ada yang lembek kepala untuk menjilati otoritas. Gagal untuk tetap kritis adalah gagal menjadi kontemporer.
Dana Kebudayaan dan Pembajakan Seni
Tentu ekosistem seni kontemporer lebih luas dan beragam ketimbang GSRB, apalagi hanya Nyoman Nuarta. Kini, masalah kerentanan dalam ekosistem seni kontemporer memang menjangkiti seniman, kurator, hingga para pekerja seni.
Sejak Hilmar Farid menjadi Dirjen Kebudayaan, gelontoran dana besar-besaran sangat berdampak bagi ekosistem seni secara umum. Secara khusus dalam seni kontemporer, festival besar seperti Pekan Kebudayaan Nasional dan Indonesia Bertutur memiliki anggaran super besar dengan angka puluhan miliar rupiah. Fantastis dan gigantis sekali. Hal itu tentu bisa saja dianggap baik bagi pertumbuhan ekosistem seni kontemporer di Indonesia, termasuk upaya untuk diakui dalam peta kesenian secara regional hingga global.
Tetapi, posisi itu juga membuat kerja-kerja seni menjadi sangat rentan secara politis untuk kritis dan bersikap pada suatu realitas akar rumput. Terutama perjuangan masyarakat dalam krisis dan ambang batas, beberapa isu nyata adalah penggusuran, pencaplokan lahan, kemiskinan struktural, krisis politik, krisis Hak Asasi Manusia dan lainnya. Gagal melebur yang estetis, yang etis, dan yang politis adalah gagal menjadi kontemporer.
Para pegiat seni kontemporer seakan merasa mampu “membajak” gelontoran dana pemerintah yang besar-besaran. Sementara justru, ia juga terbajak oleh agenda-agenda kebudayaan top-down yang membuat komitmen dan posisi politis jadi runyam. Meski, seniman-seniman raksasa seperti Nyoman Nuarta, tetap bisa berada dalam gurita jejaring kekuasaan. Sementara saja pegiat seni kontemporer, terutama yang sedang dalam fase merintis, tetap tertatih-tatih mengais proyek seni sokongan Dana Abadi Kebudayaan.
Ekosistem seni kontemporer seakan terjerat banyak lapis masalah untuk tetap dalam situasi kontemporer, situasi kritis dan lugas bicara soal realitas. Gagal meliuk-liuk dalam kontestasi kuasa adalah gagal menjadi kontemporer. Kata gagal yang saya klaim terus-menerus bisa saja terkesan membabi buta, tapi jika menjadikan kemenangan perlawanan rakyat sipil sebagai tolak ukur, maka tak ada pujian yang layak disematkan bagi ekosistem seni kontemporer. Krisis nyata pada tingkat suprastruktur politik dan ekonomi tak bisa digoreng oleh karya seni yang bertopeng politis.
Upaya-upaya memelihara koreografi jangka panjang, seperti yang dicatat Melani Budianta, kiranya jadi penting untuk direnungkan. Gelontoran miliaran rupiah dari Dana Abadi Kebudayaan bisa jadi membajak seni kontemporer yang dalam estetikanya sebenarnya terbuka pada trayektori seni partisipatif dan kritis. Hal ini jadi semacam gejala berlapis soal gagalnya seni kontemporer meraih situasi “here and now”, katakanlah peleburan radikal dalam realitas.
Untuk itu saya berpikir terhadap kemungkinan melakukan pembatalan massif dan mencabut “peran historis” dari seniman Nyoman Nuarta, atau bahkan seniman penjilat istana lain yang tampaknya diperlukan untuk dihapus dari sejarah. Mencabut Nyoman Nuarta dari sejarah seni kontemporer yang merespon krisis 1970-1980an jadi penting secara politis. Lebih jauh, penghapusan nama Nyoman Nuarta bisa dibaca sebagai simbol perlawanan pada seniman penjilat kuasa dan arsitektur monumen ketamakan Joko Widodo.
Tulisan terkesan apik tapi sayang alur cerita
Hanya berisikan kebencian yg mendalam kepada kepala negara yg sah
Spertinya penulis pengangguran dan alur fikirannya pasti aliran anak anak abah yg ingin perubahan agar bisa menghayal bisa berubah kaya kalau abah jadi raja
Ha ha ha
Anda terlalu menghakimi, sok paling suci. Tulisan kau penuh kebencian
Astung kara, saya setuju dgn anda, jikalaupun otoriter (menurutnya sih, Ng tahu dia pernah hidup di zaman yg pernah diberlakukan jam malam)
…mata mana yg seharusnya dicongkel, untuk melihat kemurnian simbol, untuk sebuah simbol raksasa negara ini, apakah dia hanya penulis filosofi belaka, atau karena iri tapi tak bisa dipanggil dan berbuat banyak untuk negara, sehingga seolah-olah penulisannya membenarkan dirinya seorang penjilat sejatinya untuk karyanya penulisan sampah pembenci ini.
Nyoan Nuarta diakui dunia dan seniman besar lainnya. Seni pemberontakan yang anda anut adalah seni dangkal yang berisikan narasi kebencian dan kecemburuan oleh orang yang tak punya prestasi. Narasi yang anda sampaikan terkotori oleh najis politik dilandasi oleh degradasi seorang yang ingin dianggap kritikus seni tapi terasa sangat dangkal dan jorok
Tulisan yang menggugat “estetika” dengan cara yang jauh dari estetika. Sentimentil bahkan sirik nampak jelas mewarnai alur berpikirnya. Saya prihatin, ketika sukses yang ingin diraih tidak menghargai proses…justru dia membiarkan pribadinya tumbuh subur dalam ego dan sirik.
Tulisannya ngalur ngidul gedabrus, tanpa makna, KLO pun diartikan hanya kebencian yg ikut2an dalam politik para Ok Ed mbenci, ini koplak, rusak ak as l, dan justru mempersempit ruang imajinasi, seni itu dinamika, dinamis segalanya dgn kemajuan, bukan kebencian,
Saya awam thd segala bentuk seni dan setelah membaca tulisan A.Dewantoro tahulah saya kolo rasa benci bisa membutakan mata hati. Ribeth sekali jika kesenian selalu diganduli keharusan untuk ngoceh ttg orang kecil miskin papa renta.
lha kapan ada lahir karya agung dari rahim bangsa ini ?…Hidup bukan sekedar meniti kegagalan lalu terjatuh dalam comberan tetapi juga perlu mewujudkan impian selain perkara makan.
Inti tulisan ini adalah: Aku ora seneng Karo Mulyono….
Ko omong apa…anda sebagai apa…omon-omon sj…anda terlalu berlebihan. Anda TDK punya hak atas karya seseorang apa lagi menghakimi.
ujung ujungnyaa sama…..
Menurut saya penilaian anda terhadap Bpk. Nyoman Nuarta adalah pendapat yang sangat personal, dan seperti ada sesuatu secara tidak suka pribadi. Seharusnya Anda memberikan komentar yang memberikan penilaian seperti itu dengan kata kata yang kurang pantas. Sebagai Anda yg menyematkan bahwa diri anda sebagai penulis dn penyuka seni.
kritis > anak abah
wkwkkw goblok lo adi masih nyesel indo merdeka, lebih bersukur dibawah naungan belanda, kaya malaysia?
Bagi saya Pak Jokowi pembuktian mewakili anak rakyat biasa yg mampu tampil dipuncak kepemimpinan dan memotivasi lahirnya semangat anak rakyat lainnya untuk tampil dimasa datang, tidak ada kata penjilat dalam fakta kecuali itu ungkapan kekecewaan org gagal meraih peluang, sebab yg dituduh penjilat sebagian besar malah belum pernah ketemu Pak Jokowi. Urusan seni itu adalah karya dari olahan jiwa dgn seninya tersendiri tidaklah mesti mematok diri dalam keterikatan bahkan bebas memunculkan aliran tersendiri
Maka dalam panggung sandiwara Shakespeare terkadang dihadirkan Joker yang cerdas tapi komik. Mengkritik tapi jenaka lagaknya lebih mudah diterima semua pihak. Akar budaya juga melatarbelakangi cara pandang pada era jamannya. Mengagungkan teori semata pada akhirnya terdampar pada meja pertentangan dan masing masing boleh memilih menempatkan diri pada sudut pandang. Tentu refleksinya akan sangat berbeda pada prisma yang dipilih.bisa jadi hanya Kilauan putih saja yang tercermin kan atau hitam kelam tanpa kilau cahaya ketika prisma hendak dibawa pada lorong gelap.
Pengetahuan Anda tentang seni rupa kontemporer dan GSRB harus di-upgrade kalau mau jadi pengamat seni rupa. Karya Nyoman Nuarta pada GSRB komentar sosial, mengeritik militerisme orde baru. Soal istana presiden di IKN ; Kalau dunia politik kita lagi sakit jangan diniscayakan semua sektor kehidupan kita sakit juga.. “Politik sebagai panglima” sudah dikubur. Pada dekade 60 yang menyengsarakan rakyat, pada saat itu beras diganti bulgur yang di negara lain makanan ternak. Sedangan Rancangan Istana presiden di IKN, nyoman Nuarta menang sayembara karena simbolik, kecenderuangan yang sudah hilang pada arsitektur modern. Istana garuda ini sudah melewati debat publik di medsos dan relatif diterima.
Regards
Jim Supangkat
Kenapa bawa bawa anak Abah dah?
Pendukung mulyono memang aneh.
Krn faktanya para pembenci Mulyono adalah anak Abah penjilat para penjajah budaya yg datang dr Yaman
…tentang tulisan ini, saya sangat takjub…, bagaumana penulisan dan penggunaan istilah-istilah yang sangat luar biasa, berapi-api sebagaimana semangat penulis muda…, namun ingat…, banyak penulis seperti ini yang sangat luar biasa dalam hal kritik-mengkritik, anti kemapanan serta berbagai bentuk penolakan-penolakan dll, namun ketika nantinya terbawa “arus” kenyamanan, mereka akan diam…, ketika disodori dengan kemapanan juga akan “manggut-manggut” atas segala bentuk “orderan”…, mengapa demikian?…, karena “idealisme masa muda” masih sangat tabu terhadap kemapanan…
Menata hati utk tidak hanya mengumbar benci juga merupakan seni yg perlu didalami, buktikan diri dalam kiprah utk sebuah kebaikan, sekedar bacot…anak saya yg masih SD juga besar bacotnya
Kalo “Desember Hitam” merujuk pd peristiwa demonstrasi sekelompok buruh dipelabuhan Tanjung Priok pd 13 Desember 1974 silam dan anda menyebutnya sebagai Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB), saya kira perspektif yg anda sampaikan terlalu sempit jika dikaitkan dengan karya I Nyoman Nuarta pada istana Garuda.
Latar belakang peristiwa thn 1974 itu adalah tuntutan kenaikan upah oleh sekelompok buruh namun malangnya demonstrasi tersebut berubah menjadi chaos dan berujung bentrokan buruh dengan tentara sehingga tragedi itu mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Seperti yang kita ketahui bersama pd masa Orba, kebebasan bersuara telah dibungkam dan pengkritik pemerintah bisa berisiko tinggi terhadap pelakunya, termasuk kecaman dan penindasan, jadi banyak seniman menggunakan metafora atau simbol dalam karya mereka untuk menyampaikan kritik karena cara itu dianggap lebih aman dan persuasif.
Tapi jaman Orba sangat berbeda dengan masa sekarang ini, yg mana kebebasan bersuara bukan lagi hal yang tabu, jd ga perlu lg pake tedeng aling-aling kalo cuma buat mengkritik atau berekpresi bahkan aturan pemerintah atau undang-undang aja bisa dibatalin dgn mengajukan “Judicial Review” kalo memang dianggap merugikan sebuah pihak. Jd masanya udah beda dan seniman saat ini bebas berekpresi untuk mengeksplorasi berbagai tema, termasuk kebahagiaan, keindahan, cinta, dan banyak hal lainnya. Silahkan bagi para seniman mengekpresikan karyanya mengkritik pemerintahan tapi jangan juga mengatakan bahwa seniman yg sejalan dgn pemerintah dianggap tidak membawa spirit Gerakan Seni Rupa Baru, inikan namanya pembodohan dan membungkam kebebasan berekpresi seniman itu sendiri.
Raja Sulaiman. Menulis
Akulah Manusia yang diberi Murifat dan segala bahasa dan pengetahuan
Tapi Aku melihat. Segala yang hidup dibawah Matahari.Menuju kesia Sian belaka.Yang membangun tidak sempat melihat karya yang mereka bangun.Yang baru datang merombak karya luhur yang dibangun Nenek Moyang kita
Inilah kita yang disebut kesia Sian belaka.
Penulis nya anak buah Rocky Gerong
Terus apa komentarmu untuk bambu getah getih??? Batu Bronjong dan Sepatu Raksasa….
Tolong ulasannya….
Anak abah yang tersakiti dengan karya nyata wkwk kadrunes
Waktu dan sejarah punya caranya sendiri untuk menceritakan pd generasi mendatang….bahkan tanpa ada campur tangan pun oleh kita, akan sampai juga subtansi fakta itu pd mereka manusia mendatang..krn sejarah bukan masalah benar salah…tapi pembabaran semuanya…🙏
Mungkin yg diingini melihat situasi masyarakat adalah seni yang diusung tokoh sperti pak anies..seni bambu di sekitar bundaran hotel indonesia… Kelihatan sederhana ..tpi jika dihitung2 dari sisi besar, luas dan tahan lama yah bisa lebih mahal
Bahasanya terlalu rumit,seperti hidup penulisnya,pasti ini barisan sakit hati,kok seni di campur aduk politik
Anda beruntung karena era orde baru sudah berakhir, andaikan di masa itu saya yakin anda sudah hilang di telan bumi.. 😁🤪🤣
Dengan melihat kolom komentar pada tulisan ini, maka wajar saja indeks literasi kita berada pada peringkat kedua terendah di dunia.
Wkwk setuju
setuju
Begitu muncul kata mulyono di awal2 tulisan ini. Maka Fix tidak perlu dibaca karena dah jelas arah tulisan akan kemana. sy berharap ada kejujuran dan netral dalam berpikir. Kalo ga jujur ya bull shit semua isi tulisan ini.
Penulis mungkin seorang seniman tapi karyanya gak laku, tulisannya kaya orang pinter tapi menurutku gak berarti sama sekali, cuma terlihat kalau dirinya dingki dan iri hati.
Saya juga alumnus seni rupa program studi teknik kriya sampai saat ini Nyoman Nuarta karya karyanya sangat spektakuler dalam hal ini keseni rupaan Nyoman Nuarta jangan di kait kaitkan dengan politik…penulis itu sok seniman tapi justru seorang provokator.
Segitu bencinya kah sama mulyono dek?
Rasanya lama sekali saya tidak membaca tulisan seperti ini. Terakhir saya rasakan satu tahun yang lalu ketika membaca tabloid Intisari edisi lama. Teruskan Bung, saya sangat menikmati apa yang anda tulis.
Ana tembung Mulyono dadi males maca, pdhl judule mengundang angan pengen ngerti. Sayang
Tulisan nya seperti org pinter, mencoba melihat peristiwa dari seni tp ternyata ga nyambung, malah menghakimi. Jangan pakai kaca mata kebencian dan iri hati bila ingin menulis dr suatu sisi. Belajarlah bijak. Semua adalah pilihan, ga ad yang salah dalam memilih, tp jgn menghakimi org lain dgn pilihan nya. Nyoman Nuarta menurut saya adalah seniman luar biasa, dikenal d manca negara dgn karyanya. Dia tidak peduli politik, dia adalah seniman. Kl penulis adalah bocil mau jd politikus tp sok memandang sesuatu lewat seni pdhal tulisan nya sangat tdk berseni hanya kebencian semata krn tdk sejalan dgn pilihan politiknya.
Pengetahuan Anda tentang seni rupa kontemporer dan GSRB harus di-upgrade kalau mau jadi pengamat seni rupa. Karya Nyoman Nuarta pada GSRB komentar sosial, mengeritik militerisme orde baru. Soal istana presiden di IKN ; Kalau dunia politik kita lagi sakit jangan diniscayakan semua sektor kehidupan kita sakit juga.. “Politik sebagai panglima” sudah dikubur. Pada dekade 60 yang menyengsarakan rakyat, pada saat itu beras diganti bulgur yang di negara lain makanan ternak. Sedangan Rancangan Istana presiden di IKN, nyoman Nuarta menang sayembara karena simbolik, kecenderuangan yang sudah hilang pada arsitektur modern. Istana garuda ini sudah melewati debat publik di medsos dan relatif diterima.
Jim Supangkat