Wajah pembangunan yang eksploitatif dan kapitalistik semakin diperlihatkan oleh negara ini. Selalu ada hasrat untuk mengubah semua potensi alam menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan, termasuk potensi panas bumi yang terkandung dalam rahim Pulau Flores. Negara, melalui pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hadir sebagai aktor dengan peran krusial dalam melegitimasi dan memfasilitasi proses pembangunan geothermal di Pulau Flores.
Melalui SK Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017, Pulau Flores ditetapkan sebagai pulau geothermal. Surat keputusan tersebut menjadi basis legitimasi pembangunan proyek geothermal di Pulau Flores oleh pemerintah dan lembaga ekonomi mulitinasional. Aparatus negara dikerahkan, kala menghadapi resistensi dari masyarakat lokal yang melihat proyek ini sebagai ancaman terhadap tatanan kehidupan mereka.
Bukan Energi Hijau melainkan Kolonialisme Hijau
Pulau Flores menyimpan potensi panas bumi sebesar 776 hingga 902 MW yang tersebar di 21 titik lokasi. Dari jumlah tersebut, sejak 2017 pemerintah telah menetapkan 7 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP), yaitu Ulumbu, Wae Sano, Mataloko, Sokoria, Oka Ile Ange, Atadei, dan Nage. Hingga tahun ini, terdapat tiga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang telah beroperasi wilayah Pulau Flores, yaitu Ulumbu, Mataloko, dan Sokoria dengan total kapasitas terpasang mencapai 20,5 MW.
Menurut Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, panas bumi adalah satu-satunya energi hijau atau terbarukan yang secara realistis dapat mengurangi beban subsidi diesel yang mencapai satu triliun per tahun hanya untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Flores.
Selain itu, pengoperasian PLTP merupakan langkah antisipatif dari pemerintah terhadap kemungkinan terjadinya defisit listrik pada tahun 2027, karena diproyeksikan kebutuhan listrik di Pulau Flores akan mencapai 127 MW pada tahun tersebut, sedangkan kapasitas saat ini sebesar 119 MW.
Selain untuk memenuhi kebutuhan tersebut, guna memuluskan eksekusi proyek ini, geothermal sering dipromosikan oleh pemerintah, pengembang swasta, dan akademisi sebagai “energi bersih” atau “energi berkelanjutan” sehingga pemanfaatan geothermal tidak akan merusak alam serta selaras dengan komitmen iklim global untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Namun, jika kita telisik secara lebih kritis, sebenarnya yang dikampanyekan sebagai energi hijau itu telah melahirkan apa yang disebut sebagai kolonialisme hijau (Hamouchene, 2023).
Sebagai fenomena kontemporer, negara-negara maju dan lembaga ekonomi multinasional mencoba untuk mendorong beban ekonomi, ekologis, dan sosial ke negara-negara berkembang serta komunitas lokal atas nama transisi energi hijau dan perlindungan lingkungan.
Ruang di wilayah negara berkembang dikondisikan sebagai sirkuit kapital baru dengan mekanisme akumulasi melalui perampasan, tempat korporasi mengatasi akumulasi berlebih sebagai krisis inheren dalam kapitalisme melalui solusi geografis atau spatial fix (Harvey, 2014).
Berbeda dengan praktik kolonialisme di masa lampau yang menggunakan pendekatan aneksasi, kolonialisme hijau beroperasi secara subtil melalui mekanisme pasar dan narasi pembangunan berkelanjutan.
Retorika energi hijau menyembunyikan kenyataan bahwa sumber daya alam Pulau Flores sedang diubah menjadi komoditas untuk akumulasi kapital oleh korporasi. Transisi dari energi fosil ke energi terbarukan dalam konteks Pulau Flores, hanya dapat berlangsung dengan mengubah hubungan kepemilikan terlebih dahulu. Terutama ikatan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dengan tanah yang menjadi lokus pembangunan geothermal. Untuk tujuan tersebut peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah mutlak diperlukan.
Peran pemerintah dapat dilihat dari menyiapkan regulasi. Pada tahun 2014, pemerintah pusat menerbitkan Undang-undang yang memisahkan geothermal dari klasifikasi pertambangan. Kebijakan ini memungkinkan pemanfaatan geothermal dapat dilakukan di dalam kawasan hutan lindung, hutan produksi, dan area konservasi yang sebelumnya terlarang untuk ekstraksi mineral.
Kerangka hukum ini diperlukan, karena lahan untuk proyek geothermal di Pulau Flores, mayoritas berlokasi di area produktif pertanian dan perkebunan milik masyarakat adat yang digunakan untuk kegiatan subsistensi. Pemerintah melalui regulasi yang ditetapkan, memfasilitasi reklasifikasi sumber daya geothermal dari kategori barang milik publik menjadi aset privat.
Praktik demikian persis seperti yang terjadi di Wae Sano, salah satu lokasi yang ditetapkan sebagai WKP. Negara melalui sejumlah regulasinya, mentransfer kontrol atas tanah dan sumber daya air dari komunitas adat ke negara untuk selanjutnya dikelola dengan menggunakan dana hibah dari World Bank sebesar 55,25 juta USD dan APBN sebesar tiga triliun rupiah melalui skema Geothermal Fund.
Baca juga:
Ruang dan wilayah yang sebelumnya dikuasai secara komunal oleh masyarakat, dikonstruksi ulang untuk mendukung akumulasi kapital. Tidak hanya itu, Keterlibatan masyarakat selama proses sosialisasi juga sangat minim. Penetapan Pulau Flores sebagai pulau geothermal dilakukan tanpa melibatkan dan mendapatkan persetujuan dari masyarakat lokal.
Praktik demikian menjadi salah satu kritik tajam bagi pola pembangunan oleh negara yang lebih menampakkan eksistensinya sebagai pengawas yang melegitimasi dan memfasilitasi kepentingan kapital, tinimbang melindungi masyarakat selaku sumber legitimasi dari kekuasaan tersebut.
Kontradiksi Neoliberalisme dan Krisis Legitimasi
Hilangnya lahan pertanian, pencemaran air, munculnya semburan lumpur panas di WKP Mataloko, menurunnya produksi pertanian seperti kopi, cengkeh, dan vanili di wilayah WKP Ulumbu dan Poco Leok secara drastis, serta rusaknya situs budaya di WKP Sokoria dan Atadei, adalah dampak nyata dari daya destruktif pembangunan geothermal.
Kondisi ini dapat diidentifikasi sebagai krisis legitimasi. Menurut Harvey, neoliberalisme adalah proyek yang berisi kontradiksi internal yang dapat menyebabkan runtuhnya sistem tersebut. Kontradiksi fundamental antara narasi energi bersih dan berkelanjutan dengan dampak yang mengorbankan lingkungan, kehidupan komunitas, dan hak-hak adat demi akumulasi kapital adalah ciri dari krisis legitimasi dalam model pembangunan neoliberal.
Baca juga:
Melalui sejumlah penolakan yang dilakukan oleh elemen masyarakat sipil dan Gereja Katolik yang berada di wilayah Provinsi Gerejawi Ende, sudah seharusnya pemerintah mengkaji kembali proyek ini.
Pemerintah juga dapat kembali merujuk pada dokumen Rencana Umum Energi Daerah (REUD) Provinsi NTT 2025-2034 yang mendorong pemanfaatan matahari, angin, air dan arus laut sebagai prioritas energi yang dikembangkan pemerintah provinsi. Sebaliknya, geothermal tidak termasuk dalam dokumen REUD yang menjadi pedoman strategis bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan transisi energi rendah karbon yang adil dan inklusif.
Transisi energi global yang autentik dan adil tidak akan dapat dicapai dalam kerangka kerja akumulasi kapital. Selama logika akumulasi mendominasi keputusan tentang bagaimana, di mana, dan untuk siapa energi diproduksi, “pembangunan berkelanjutan” akan terus menjadi topeng bagi perampasan dan penderitaan komunitas lokal.
Jalan menuju energi yang benar-benar berkelanjutan dan adil memerlukan transformasi fundamental dalam kepemilikan dan kontrol atas sumber daya, penghargaan terhadap hak-hak adat dan otonomi komunitas, dan penolakan terhadap logika akumulasi kapital yang menempatkan profit di atas kehidupan manusia dan keseimbangan ekologis. Jika tidak demikian, maka proyek geothermal di Pulau Flores adalah wajah kelabu dari program energi hijau.
