Namanya Desa Mizubiki, letaknya tak jauh dari Tokyo. Desa itu benar-benar bak potongan surga yang jatuh ke bumi. Desa ini diberkati oleh keberadaan pohon pinus, pohon ek, salju, ricik air, rerumputan tertutup salju hingga wasabi liar yang rasanya segar.
Konon, makanan yang dimasak dengan air sumber di Desa Mizubiki, rasanya lain. Lebih otentik dan nikmat. Di sana, warga hidup tenang, guyub dan bahagia. Karena mereka hidup berkecukupan dari hutan.
Sialnya, selalu ada tangan-tangan serakah yang berusaha merusak keindahan ‘surga’. Sebuah perusahaan wisata ingin mendirikan glamping (glamour camping) di Desa Mizubiki. Perusahaan ini ingin menawarkan sebuah pengalaman healing di hutan untuk orang-orang di Tokyo. Mereka pun mengirimkan dua perwakilan perusahaan untuk menggelar audiensi dengan warga.
Namun, warga desa ini bukan orang-orang bodoh. Warga sangat paham bahwa kehadiran proyek glamping bisa merusak keindahan, kebersihan dan kesakralan desa ini. Air yang jernih dan segar bisa tercemar karena septic tank yang dibangun di area glamping. Artinya, masakan yang dimasak tak bakal senikmat dahulu. Belum lagi, kehadiran orang-orang kota yang menggelar pesta barbeque sangat mungkin untuk mengganggu ketenangan warga desa.
Warga jelas melakukan penolakan. Tetapi kita tahu, keserakahan tak pernah tak mengenal batas. Keserakahan ini merupakan bentuk kejahatan yang eksistensinya makin nyata di era ini. Kapitalisme pariwisata terus berusaha untuk merusak keindahan dan ketenangan desa tersebut.
***
Kisah ini memang bukan kisah nyata. Ia merupakan cerita dari film ‘Evil Does Not Exist‘ garapan sutradara nominasi Oscar, Ryûsuke Hamaguchi. Meskipun hanya fiksi, tetapi film ini mirip seperti dokumenter yang memotret masalah sosial yang benar-benar terjadi di masyarakat.
Lewat teknik gerakan kamera statis, Hamaguchi berhasil mengajak penonton untuk memasuki labirin kesunyian di desa hutan itu. Penonton juga diajak untuk berkenalan dengan dua tokoh utamanya, Takumi (Hitoshi Omika) dan putrinya, Hana (Ryô Nishikawa).
Gambaran karakter Takumi pun dibangun dengan cukup baik. Sosoknya yang tak banyak bicara menguatkan Takumi sebagai karakter yang enigmatik. Meskipun pekerjaannya sebagai pekerja serabutan terkesan remeh, Takumi ternyata memiliki peran signifikan dalam cerita. Ia merupakan persona manusia yang hidup selaras dengan tatanan alam.
Selain itu, hubungan Takumi dan putrinya Hana memang terasa ganjil. Takumi sekilas tak seperti ayah pada umumnya. Ia seolah berjarak dengan Hana. Inilah yang kemudian semakin menguatkan kesan misterius Takumi.
Lantas, apa kaitan judul film ini dengan konflik sosial di desa itu? Hamaguchi menyodorkan renungan filosofis tentang mungkinkah ada tempat yang tak membiarkan sebuah kejahatan eksis.
Sang sutradara mencoba untuk menelusuri batas yang sangat tipis antara kejahatan dan insting untuk bertahan hidup. Penonton akan diajak menemukan jawabannya lewat adegan babak akhir yang menghadirkan metafora rusa dan pemburu.
Selain itu, film ini terasa menarik karena isu yang diangkat memang relevan dengan kondisi hari-hari ini. Ketika kapitalisme pariwisata menancapkan kukunya dimana-mana. Bahkan, mungkin ini dilakukan oleh negara.
Sialnya, kapitalisme pariwisata kerapkali hanya dipandang sebagai keniscayaan zaman. Bahwa mendirikan tempat-tempat wisata di lingkungan yang asri dianggap wajar saja karena bisa memuaskan kebutuhan healing orang-orang kota. Padahal, tanpa sadar, kita pun ikut merayakan kejahatan itu.
Lantas, mungkinkah ada tempat di zaman ini, yang tak membiarkan sebuah kejahatan eksis di sana? Semoga ada. Dan itu bukan cerita fiksi.