Sudah empat tahun anakku tak kunjung pulang. Ibu mana yang tak kangen? Hampir setiap kali Lebaran, dadaku menahan sesak yang sama. Tidak, sesak itu tak sama. Semakin hari, ia semakin menusuk.
Perasaan itu muncul ketika satu dua tetanggaku mampir ke rumah, mereka bertanya sambil mengulurkan tangan, “Lho, Pandu mana? Dia nggak pulang lagi, Yu?” ucap Ngastini, kerabat jauh yang sehari-harinya berdagang sayur, sembari bersalaman. Matanya mengedarkan pandangan ke sekeliling.
“Iya, Tin, sekarang dia sibuk tugas akhir.” jawabku pendek.
“Memang angel to, Yu? Kok sampai nggak pulang kampung. Aku nggak ngerti rasanya, wong SMA wae ora lulus, og. Kha-kha-kha…” ujar Ngastini sambil terkekeh dan menjawilku, sama sekali tak merasa rendah dengan pencapaiannya.
“Ya karena S3, yang ngajar kan profesor-profesor, dadi yo angel,” kelitku, sembari menahan raut kikuk pada senyumku yang bercampur rasa pedih di batin.
Hal yang sama kulakukan pada tiga tahun sebelumnya. Setiap kali tiba musim bersilaturahmi, ajang bertukar senyum dan maaf dengan kerabat, selalu kucari alasan kenapa anakku, puteraku satu-satunya, tak ada di rombongan.
“Iya, Cak, iseh penelitian jarene,” jawabku pada Pakdhenya tahun lalu.
“Tugas numpuk katanya, kalau gagal bisa ngulang èh,” karangku dengan nada meyakinkan pada Bu Liknya dua tahun silam. Aku tidak tahu apakah Bu Liknya itu sadar atau tidak kalau aku mengada-ada di musim libur nasional.
Tahun pertama saat puteraku tidak pulang adalah awal pukulan terberat. Ini yang membuatku sedikit sensitif. Sewaktu sepupunya yang sering bermain sedari kecil menanyakan kenapa Pandu tak pulang, aku hanya membalas ketus, “Emboh, aku yo nggak ngerti, opo karepe arek iku.”
Waktu itu, emosiku belum sepenuhnya terkendali. Aku masih menyalahkan puteraku.
Bukan berarti saat ini, setelah empat tahun tanpanya, aku menjadi terbiasa. Tidak. Rasa kosong, sepi, hingga perasaan gagal semakin menekan. Geriap rasa tak dibutuhkan sebagai seorang ibu justru semakin kuat. Perasaan itu menelanku dalam gelap-pekatnya rasa sendiri.
Di sela-sela kesibukan, aku sering mengenang puteraku anak yang cemerlang. Suaranya terkadang mengalun di kepalaku saat ia tadarusan di langgar. Puteraku sedari kecil pandai, terutama secara akademik. Berbeda dengan kakaknya yang perempuan. Si Kakak ini pintar di bidang kasidah, bernyanyi, dan pramuka. Sementara puteraku benci pramuka. Baginya, apa gunanya menghafal sandi-sandi, morse, hingga Tri Satya dan Dasa Darma Pramuka.
Sedari tingkat dasar, ia juga sering mengeluh saat diminta manggut-manggut ke kakak-kakak Penggalang dan Penegak yang lebih senior. Mungkin ini ada kaitannya dengan darah: sejak kecil, sama sepertiku, dia keras kepala dan malas menghamba ke orang lain.
Namun, satu hal yang berbeda. Aku tidak tahu dari mana rasa penasaran anakku itu berasal. Bapaknya pun tidak begitu. Terkadang, meladeni rasa penasarannya bisa membuatku repot.
“Sek, toh, Le! Pergi main sana, lho, sama temenmu.” Jawaban seperti ini sering kulempar. Semata untuk menghentikannya dari merecoki selagi aku mengiris bawang di dapur, atau sewaktu mengoreksi tugas-tugas murid SMA tempatku mengajar, atau di saat aku sibuk membordir pesanan pakaian.
Bagaimana tidak lelah, wong banyak dari pertanyaannya itu lumayan ajaib. Yang kuingat hanya sebagian. Semasih TK, ia bertanya, “Buk, kenapa matahari cuma satu?” matanya membulat.
Di lain hari, ia pulang dengan kaki belepotan lumpur. Tangannya memegang daun-daun beserta ranting yang dipetiknya entah dari mana. Ia menatapku lugu sambil mengibas-kibaskan dedaunan itu, “Buk, kenapa daun-daun itu bentuknya bermacam-macam ya?”
Bahkan saat menjelang tidur, semasih anakku belum bisa di kamar sendiri, polos ia bertanya di pelukanku, “Buk, kalau nabi Adam dan Hawa sepasang, kenapa bahasa kok bisa banyak, ya? Kenapa warna kulit orang-orang juga beda-beda?”
Lihat, kan, belum sunat saja sudah segawat itu pikirannya. Tentu aku gelagapan. Untuk menenangkannya, sesekali kuelus rambutnya sambil setengah berbisik, “Nanti tanya gurumu di sekolah, ya, Nak… sekarang, baca doa tidur dulu.”
“Ibuk kan guru juga…” balasnya sedikit bersungut-sungut.
Pengetahuanku sebagai guru sukwan (honorer) mapel PKN tentu tak seluas harapannya. Mana mungkin aku bisa menjawab. Sebersit, kadang aku terpancing ikut penasaran, tetapi sejurus kemudian terbenam kembali pada realitas hidup. Tenggelam dalam kesibukan mencari uang, demi anak-anakku. Itulah kenapa aku mengerjakan banyak hal.
Jadi, mohon jangan salahkan aku sebagai seorang ibu yang gagal menjawab rasa penasaran puteranya. Atau minimal memberinya petunjuk, memfasilitasinya, bukannya mengusirnya agar pergi bermain dan mengalihkan perhatian. Aku sadar, aku memang bukan ibu yang sempurna. Hidupku pun sudah cukup berat. Kalian akan maklum, kan, misal aku ceritakan satu hal lagi?
Di tengah perjalanan keluarga kecilku ini, ketika anakku Pandu kelas empat tingkat dasar, aku dan suamiku resmi bercerai. Keparat itu selingkuh. Meninggalkanku sendirian mengasuh dua orang anak, tanpa sepeser pun nafkah darinya. Dan itu berlangsung selama bertahun-tahun. Jadi maafkan kalau aku tidak bisa meladeni seorang anak di masa ketika pertumbuhannya sedang bagus-bagusnya, sedang emas-emasnya.
***
Anakku dari tempat rantau memberi kabar kalau dirinya tak lagi sembahyang. Sepintas kukira ia hanya lalai atau ketiduran, ibadah bolong-bolong seperti kebanyakan anak muda. Namun, ia mengelak.
Ia mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut. Aku syok. Pesan lanjutan darinya muncul lagi dari ponsel.
“Buk, maafin Pandu. Aku bukan lagi anakmu yang dulu,”
Di pesan itu ia berkata banyak. Ia malu kalau pulang. Ia mengaku capek bersikap munafik, lelah berpura-pura. Ia masih tahan berpura-pura di hadapan orang lain, tetapi tidak di hadapan keluarganya sendiri, terutama aku. Ia ingin berterus terang. Ia berharap aku menjadi orang pertama tempatnya untuk pulang. Tetapi, sepertinya anakku sedang khawatir dan kalut.
“Ada apa, toh, Nak? Sini cerita ke ibuk… Walau hidup berat, Alloh pasti menjagamu, Nak.” kukirim pesan ini, berharap tiba di genggaman tangan dan mata puteraku.
Tak ada jawaban. Kuketik pesan lagi.
“Kalau cemas soal jodoh, mbok ya jangan kuatir. Semua sudah diatur oleh-Nya. Wong calon doktor muda, peraih beasiswa dari S1 sampai S3, kok wedi gak payu…” balasku dengan emotikon senyum, berusaha mengubah nada pembicaraan yang telanjur tegang.
“Bukan itu, Buk…”
Isi pesan-pesan selanjutnya terlalu panjang. Anakku yang tampan dan pandai itu bilang kalau rukun imannya sudah rontok. Ia merasa tak bisa pulang karena tak kuat bersandiwara, terutama di hadapan keluarganya sendiri.
Aku bertanya kenapa. Lalu muncul pesan berantai yang sulit kucerna. Otakku terlalu tumpul. Isinya mulai dari sejarah, evolusi, cara kerja otak, kemampuan mengarang, nabi-nabi, imajinasi, dan lain-lain; sesuatu yang sangat asing bagi guru sukwan di kaki gunung pelosok kabupaten.
Semula aku masih bisa memahami kalau putraku kesiangan, telat bangun, atau melewatkan ibadah salat sebagaimana muda-mudi zaman sekarang. Sekalipun ia alumni pesantren, aku masih bisa terima itu. Namun, ia membantahnya.
“Buk, aku begini bukan karena malas, lho.” tulisnya lewat pesan di ponsel. Saat itu juga, kucoba menelponnya. Enam kali tak diangkat. Aku gelisah sendiri.
Membaca pesan anakku yang nadanya sangat tidak bercanda itu, mataku sedikit kabur. Aku berakhir hanya membaca pesan-pesan berantai darinya, tanpa meninggalkan satu pun balasan.
Sore itu, matahari sudah sembunyi di balik bukit, dan aku menyiram bunga-bunga di teras sambil melamun. Kelebat ingatan membersit di kepala ketika satu-satunya puteraku masih kelas enam MI. Wajahnya sedikit kikuk sewaktu aku duduk di ruang tamu. Pandu baru pulang sehabis bermain dari sawah dan kali.
Masih kuhafal air muka Pandu hari itu. Ia menghampiriku pelan-pelan. Ada sesuatu yang tertahan tapi ingin keluar dari bibirnya. Bajunya tampak basah penuh keringat. Ada berkas-berkas tanah di sudut celana pendeknya. Mungkin sisa dari sawah di pojok dusun, atau pulang ngasak sisa panen bawang merah bareng sepupunya. Di momen tersebut, puteraku menyodorkan maksud.
“Buk, kalau aku pengen masuk pesantren, ibuk kuat biayain, nggak?”
Aku diam sejenak, lalu meraih tangannya yang kecil tapi tampak berurat. “Ya justru ibu tambah seneng, Nak. Kalau kamu sendiri yang pengin mondok, pasti akan ibu usahakan.” Tanpa terasa mataku menghangat. Lekas membasah. Kuraih tubuh kurusnya, lantas kupeluk dan kucium keningnya.
Kisah itu (masih) berjalan manis. Anakku masuk pesantren modern, lolos program akselerasi bahkan. Biaya untuknya kucari-cari serabutan. Gaji guru honorer yang cuma seratus lima puluh ribu tentu tidak cukup untuk biaya pesantren elit.
Jangankan untuk SPP, sekadar untuk makan sehari-hari saja masih perlu berhemat keras. Itu sebabnya aku menerima jasa bordir, jualan nasi kuning, membuat jajan untuk dititipkan di kantin sekolah, hingga menawarkan jasa les jahit dan bordir ke tetangga dan teman sesama guru. Semua itu demi anakku.
Lalu Pandu, kebanggaanku, membalasnya dengan sering mendapat ranking tiga besar! Ia sanggup bersaing dengan teman kelasnya dari kota-kota elit, melawan anak-anak orang berada. Betapa basah mataku, terisak haru di setiap kali mengambil rapornya. Apalagi, seusai lulus dari pesantren, ia mendapat beasiswa lengkap dengan biaya hidup. Bahkan dari S1 sampai S3.
Pandu, putera kecilku itu, sedari TK sudah hafal Juz Amma. Ia rajin adzan di langgar dan rutin mewiridkan Asmaul Husna hingga di bumi rantau. Pandu, puteraku, adalah tipikal anak yang enggan merepotkan orang tuanya. Dan aku bangga sekali sebagai ibunya. Pandu, anakku, di mana kau, Nak? Apa yang terjadi denganmu?
Keharuan ingatan itu masih terasa lekat, walau hanya berupa lamunan di sore yang sepi. Di rumah ini, hanya kedua anakku yang bisa kubanggakan. Yang lain tidak. Tetapi puteriku sudah dipinang orang sejak lama. Ia ikut suaminya. Dan, kabar dari puteraku satu-satunya telah membantingku. Menjatuhkanku.
Lamunan manis itu lenyap. Sementara aku masih di sini, di rumah ini. Tinggal hanya bersama ibuku. Aku dan ibuku, dua perempuan tua yang sama-sama ditinggal oleh suami dan putera-puteranya.
***
(Lebaran tahun kelima tanpa Pandu)
Ibu Pandu meminta tolong ke banyak orang. Nomor ponselnya diblokir puteranya. Sudah tahun kelima sejak Pandu mulai tidak pulang. Ibunya menghubungi teman-teman anaknya, ponakan-ponakannya, agar menghubungi dan bertanya kapan Pandu pulang. Ia membatin, siapa tahu anaknya mau pulang kalau teman-temannya yang memintanya. Tak masalah jika anakku tak membalas pesanku, selama ia mau pulang, aku sudah senang, bisiknya di batin.
Pemblokiran itu terjadi sewaktu Ibunya mengirim pesan selang tiga hari usai perbincangan terakhir mereka.
“Gus Dur banyak baca kok tambah alim?” tulis Ibu Pandu.
“Ya memang banyak baca nggak menjamin adanya pertentangan di kepala, Buk. Apalagi kalo yang dibaca sewarna, tok. Agama-agama, tok. Sefrekuensi, tok. Gus Dur nggak baca cara kerja otak!” balas Pandu tak kalah ketus.
Namun sejenak kemudian, Pandu seperti melunak, ia mengetik pesan, “Ibuk ndak perlu khawatir… walau isi pikiran anakmu ini berubah, Pandu tetap menjauhi mo limo kok: main, mabok, madat, maling, madon. Nggak bakal kulakukan semua itu, Buk…”
Ibunya hanya membaca pesan itu. Di kamar, ia sendirian, hanya dengan mata sembab.
Muncul satu pesan lagi dari Pandu, “Lain kali, kalau ibuk mendoakan Opang dan Ecan, jangan pakai semoga pinter. Jangan begitu, ya, Buk… Mending doakan semoga bahagia…” tulis Pandu dengan menyebut kedua ponakannya.
Pandu membaca dua centang biru di layar pesan dengan Ibunya. Ia menanti balasan, tetapi tak kunjung datang. Ia mengetik lagi, “Pinter nggak penting. Bikin stress. Lebih penting bahagia.” Tetapi ia hapus kalimat itu, batal mengirimkannya.
Tak selang lama, bunyi ponsel bersusul gambar notifikasi kecil. Ada pesan dari ibunya berupa foto. Pandu membukanya, di bawah foto bertiga itu ada kalimat sedikit panjang: “Anak ibu cuma dua, yang cewek sudah ikut suaminya. Tinggal kamu, Nak, harapan ibu satu-satunya yang kelak bisa menemani ibu sampai ajal menjemput. Kamu satu-satunya anak soleh yang ibu harapkan bisa mengirim doa sesudah ibu meninggal.”
Mata Pandu melembab. Dirasakannya bola mata itu menghangat, kemudian basah. Tetapi jauh di pelosok pikirannya, ia masih tak siap untuk pulang dan bertempur dengan kepura-puraan yang panjang dan melelahkan.
***
Waktu kembali berdetak. Roda nasib menggulung banyak rasa dan peristiwa. Di sudut kaki gunung di Timur Pulau Jawa, Ibu Pandu sedang bersih-bersih. Ia mengibas-kibaskan kemoceng, menyeka debu tipis di sofa-sofa merah marun di ruang tamu. Kepulan debu sesekali membuatnya bersin.
Kini ia masuk di kamar Pandu. Isinya penuh rak buku, berdebu dan di pojok-pojoknya dipenuhi sawang. Ia mengelap beberapa buku yang terlalu tebal debunya. Tiba di satu buku, karya puteranya sendiri, tangannya terhenti.
Ia baru ingat kalau anaknya suka menulis puisi, seperti dirinya di masa sekolah rendah. Ia membuka lembar-lembar awal, matanya ke kertas, tetapi pikirannya melayang, merapal wajah puteranya di luar jendela.
Ia lantas menutup buku itu. Sekali lagi meniup sampulnya, mengelap halus, lalu mengembalikannya ke rak. Ibu Pandu tak pernah sampai di halaman menjelang akhir dari buku puisi anaknya itu. Di dalamnya pernah tertulis isi batin puteranya:
Pertanyaan untuk Orang Tua
Seandainya anakmu pindah agama atau menjadi ateis,
apa yang akan kau lakukan?
masihkah kau mengakuinya
atau melihatnya seperti
lembar plastik di akar bambu
—seonggok benda asing
yang mendadak berbeda
masihkah kau ingat akan bibir
dan geli jemari kecilnya
yang meraba-raba payudaramu dahulu?
sedari masa ngompol
dan belajar berjalan
di teras rumah
bersama belaian dan udara ceria
kau ikut riang akan kehadirannya
saat menjadi orang tuanya
mampukah kau menerima anakmu
tanpa rasa takut
tanpa rasa iba
tanpa sedebu pun rasa segan
untuk tertindih dan asing
ketika orang-orang yang tak pernah menyusuinya
mulai melempari fatwa halal darahnya?
masihkah kau sudi
menyayanginya?
Ibu Pandu tak pernah membacanya. Kini sosok Ibu yang dadanya sesak dibekap sepi sedang kembali ke ruang tamu. Ia menjatuhkan punggung ke sofa. Matanya meraba-raba pajangan foto. Ia berhenti pada potret anaknya ketika wisuda S1. Ibunya mencetak foto itu sendiri dengan imbuhan tulisan di dalamnya. Ada senyum kecut di wajahnya saat membaca gelar Dr. di sebelum nama puteranya. Ia teringat hari itu.
Pernah suatu kali puteranya muntab, “Duh, Buk… aku lho belum lulus S3, sudah ditulis aja Dr-nya. Copot, argh!” Pandu mengambil foto itu, disimpannya di kamar pribadi, di sudut celah kecil antara lemari dan tembok.
Kini foto itu ada di ruang tamu lagi. Ibunya yang kembali menaruh. Tangan Ibu Pandu memegang foto di figura hitam. Ia mengelus wajah anaknya yang tersenyum beku di belakang kaca.
Ada isak yang tertahan. Serak suaranya diredam dan pandangannya mengabur. Matanya hangat dan basah. Tanpa suara, hatinya membisik: “Nak, bagaimanapun juga, kau tetap anakku. Kapan kau pulang, Nak?
Yogya, 1 November 2024
*****
Editor: Moch Aldy MA