Dinginnya malam menemani langkah kaki seorang perempuan dengan jins belel pulang ke rumahnya.
Malam sudah sangat larut, hampir seluruh orang di kampung ini terlelap sudah berenang di langit mimpi. Beberapa orang yang lain masih terjaga ditemani kopi dan acara-acara televisi favorit. Beberapa di antaranya dengan lihainya mengintip perempuan tersebut berjalan pelan di depan rumah mereka. Sangat lihai, kemudian dengan kemampuan mereka menjadikan hal itu buah pembicaraan keesokan harinya.
Buah pembicaraan itu sampai di depan toko sayuran—tempat yang seharusnya digunakan ibu-ibu membeli keperluan mereka, namun tempat itu malah sudah biasa digunakan untuk menyalurkan gosip-gosip terbaru setiap harinya.
“Kemarin lihat Ratih pulang malam lagi engga, Jeng?” tanya Ibu A.
“Iya, Jeng. Ratih anaknya Bu Farhan, ‘kan?” jawab Ibu B.
“Iya, nih. Padahal bapaknya sudah almarhum, tapi dia malah enggak teratur seperti itu hidupnya. Tiap hari pulang malam, pakaian enggak karuan, dan denger-denger dia kerja yang enggak-enggak, makanya selalu pulang jam segitu.” Timpal Ibu C yang membuat ibu-ibu di situ semakin semangat bergosipnya.
Gosip beberapa ibu-ibu di depan toko sayur sampai ke telinga Ratih sendiri oleh sebagian ibu-ibu yang mengenal Ratih dengan baik. Ratih yang sedikit risih akhirnya naik ojek pada malam berikutnya agar memberikan kesempatan kecil bagi ibu-ibu yang suka mengintip.
Namun, mereka yang lihai sekali dalam mencari kesalahan seseorang tetap bisa menangkap batang hidung Ratih.
“Aduh, Bu. Ratih sudah bikin malu Ibu ya?” tanya Ratih kepada ibunya.
“Kenapa Ibu malu? ‘Kan Ratih enggak melakukan hal yang salah. Enggak melakukan yang diomongin orang-orang itu, ‘kan?” jawab ibunya yang membuat dada Ratih sedikit ringan.
Hari berikutnya, gosip tentang Ratih yang selalu pulang malam sudah mereda, digantikan dengan pembicaraan tentang anak penjual di toko sayuran itu. Gendhis yang cantik, anggun, dan pintar memasak. Pokoknya idaman bagi kaum laki-laki di kampung tersebut atau istilahnya kembang desa.
Pagi itu, Gendhis sang kembang desa sedang membantu ibunya berjualan. Ibu-ibu yang datang terpesona dengan suara lembut dan penampilannya yang rapi dan terawat itu.
“Duh, Nak Gendhis, kalau kamu mau, ayolah Ibu jadikan mantu!” sahut Ibu A yang membuat muka Gendhis merona.
“Bu, anaknya mau dinikahkan kapan?” tanya Ibu B kepada ibu Gendhis.
“Kalau bisa sih secepatnya, Bu. Gendhis juga seharusnya sudah mencari suami.”
Sontak hal tersebut membuat ibu-ibu yang mempunyai anak perjaka kegirangan. Setiap hari adalah harinya Gendhis yang menjadi perempuan istimewa di kampung. Di kampung ini, perempuan yang bisa mendapatkan suami mapan di usia yang tepat dianggap suatu kebanggaan tersendiri bagi orang tuanya.
Entah mengapa pembicaraan Gendhis yang sempurna sampai pada membandingkannya dengan Ratih yang dicap perempuan bebas oleh orang-orang. Bebas dalam artian yang buruk. Ratih seusia Gendhis. Ratih yang tidak mendapatkan keistimewaan sama seperti Gendhis harus menanggung pahitnya hidup disebabkan prasangka-prasangka buruk tentang gadis sepertinya.
Percakapan tentang tidak akan ada pemuda yang mau menikahi gadis seperti Ratih menorehkan luka dalam pada dada ibu Ratih. Beliau menjadi khawatir terhadap putrinya. Begitu pula dengan Ratih, hatinya tersakiti. Dia bingung harus bagaimana. Haruskah dia berhenti dari pekerjaannya agar ibunya tidak lagi menanggung malu atas dirinya?
Ibu Ratih dengan tegas menolak putrinya untuk berhenti bekerja. Kalau pekerjaan menjadi guru les sepulang kuliah adalah pekerjaan yang membuat Ratih merasa impiannya menjadi guru semakin terasa dekat, maka dia tidak boleh menyia-nyiakannya. Akhirnya, dengan sedikit suntikan semangat dari ibunya, Ratih kembali bekerja seperti biasanya dengan menutup telinga dari prasangka orang lain.
Lama-kelamaan, orang-orang mulai bosan membicarakan tentang Ratih yang seolah tidak terusik oleh komentar mereka dan mulai fokus pada pembicaraan yang lain. Tetapi, walaupun begitu, seribu mata tetap tak luput mengawasinya setiap malam. Seolah-olah mengawasi gerak-geriknya yang seperti biasa menyalakan api besar hanya dengan menuang setetes minyak.
Orang-orang lebih suka membicarakan dan tak henti-hentinya memuji Gendhis yang setiap hari menerima lamaran dari pemuda yang datang ke rumahnya.
Namun, lama-kelamaan mereka juga bosan membicarakan Gendhis yang selalu menolak setiap lamaran dari perjaka di kampung. Orang-orang membicarakan Gendhis yang seperti menganggap pemuda kampung kurang baginya. Padahal, setiap pemuda di kampung yang datang melamarnya terbilang cukup mapan dan tampan. Bahkan, beberapa ibu dari pemuda tersebut tidak datang kembali untuk membeli sayuran dari toko ibu Gendhis karena kecewa anaknya ditolak. Mereka menganggap Gendhis terlalu jual mahal.
Pada suatu siang yang cukup terik, tak sengaja Ratih yang sedang dalam perjalanan mengirim bekal untuk ibunya yang bekerja keras di sawah mereka bertemu dengan Gendhis yang merenung sendirian di pondok sawahnya. Katanya, setiap hari orang-orang melihat kembang desa itu lama-kelamaan menjadi sedikit tidak waras karena selalu duduk sendirian di pondok sawah itu.
Tentu saja Ratih tidak memercayai apa yang dikatakan orang-orang. Melihat gadis primadona itu duduk di sana sambil sesekali memainkan rumput liar yang dipetiknya, Ratih menghampirinya. Tanpa peduli tentang orang-orang yang melihat mereka aneh saat itu, Ratih duduk di sisi kembang desa tersebut. Disambut dengan sedikit kaget oleh Gendhis.
“Gendhis, salam kenal, ya. Aku Ratih.” Ujar Ratih sambil mengulurkan tangan.
Gadis kembang desa itu tersenyum, kemudian menjabat tangan Ratih. “Salam kenal juga, aku Gendhis. Aku sebenarnya tahu kamu.”
Ratih mengangguk, “Aku juga tahu kamu. Setiap hari aku lihat, kamu sendirian di sini. Memangnya ada apa?” lanjut Ratih bertanya.
Gadis itu menggeleng, “Enggak ada apa-apa. Kalau kamu tahu aku, mungkin kamu juga tahu tentang orang-orang yang datang melamarku setiap hari. Aku cuma ingin menghindari itu karena aku sebenarnya belum siap menikah. Aku juga enggak suka melihat Bapak sama Ibu sedih karena aku terus mengulur waktu dan membuat banyak orang kecewa.”
Ratih sedikit terkejut karena Gendhis mau berterus terang seperti itu kepadanya.
“Kalau kamu belum siap untuk menikah, apakah sudah kamu bicarakan hal tersebut kepada bapak-ibumu? Mungkin mereka bisa mengerti.”
Sedikit lama Gendhis tidak menjawab pertanyaannya. Gadis kembang desa itu hanya menatap rerumputan liar lama sekali. Kemudian, Gendhis tersenyum kepadanya. “Aku selalu kagum sama kamu, Tih,” ucapnya kemudian.
Ratih tidak mengerti apa maksud Gendhis, mengerutkan keningnya. “Kenapa aku pantas buat dikagumi kamu, Ndhis? Aku enggak ngerti.”
“Aku kagum sama kamu karena kamu adalah orang yang hebat dan berani menentukan hidup kamu dengan caramu sendiri.”
Ratih tercenung oleh kata-kata yang keluar dari mulut Gendhis.
“Orang yang pantas dikagumi itu kamu, Ndhis. Sudah cantik, ternyata baik sekali hatinya.”
Gendhis menggeleng. “Tapi aku enggak seberani kamu, Tih.”
“Kenapa kamu bilang begitu? Kamu juga bisa menentukan hidup kamu sendiri, Ndhis. Sama sepertiku.”
Gendhis menggeleng lagi. “Sayangnya, gadis sepertiku, hidupnya sudah ada di telapak tangan orang lain sejak lahir.”
Ratih kembali terdiam lama. Hatinya mencelos melihat gadis yang selalu dipandangnya memiliki kehidupan yang lebih baik darinya—mengatakan itu di depannya saat ini.
Dia mulai menyelami kehidupan Gendhis lebih dalam. Sejak kecil hidup Gendhis sudah seperti ditulis diatas kertas perjanjian oleh orang-orang di sekitarnya. Mulai dari sampai jenjang apa Gendhis akan bersekolah, umur berapa sudah harus pintar memasak, baju apa yang boleh dikenakannya, sampai tentang menikah. Sayangnya, kertas perjanjian yang dikatakan akan menjamin hidup gadis itu, tidak ditandatangani oleh kedua belah pihak. Gendhis tidak membubuhkan tanda tangan di kertas itu.
Gendhis punya cita-cita untuk menjadi seperti wanita hebat yang membacakan berita di acara televisi kesukaannya. Sama seperti Ratih yang punya keinginan kuat terhadap cita-citanya.
Perempuan seperti Ratih dan Gendhis itu hanya ciptaan orang-orang saja. Dan kini dua wanita yang berbeda seperti itu duduk berdua dengan banyak pasang mata yang terus mengawasi mereka. Mereka duduk berdua menatap rumput liar yang banyak.
Mereka duduk berdua, berharap satu sama lain punya keberanian yang sama.