Pagi hari di Kamis Wage bulan Januari 2025, gerimis turun bercampur bau tanah dan tahi sapi di halaman belakang kontrakan Sejarah. Entah berhubungan atau tidak, mimpiku pagi ini seperti tahi, menjijikan dan mengenaskan. Di potongan mimpi yang masih kuingat, aku dipaksa menikahi wanita yang sudah kalang kabut dihamili orang lain—entah oleh pacar barunya, kenalannya, bosnya, pengikut Instagram-nya, tetangga kosnya, atau siapapun itu. Aku tak tahu.
Wajah wanita itu kuingat persis; kecil, tidak terlalu bulat, putih pasi, bertahi lalat kecil di dahi, bibirnya mungil, hidungnya aku lupa bentuknya, dan rambut coklat norak seperti pasir pantai. Memakai singlet putih kekuningannya dan sweater hitam polos, celana pendek selutut, dan sepatu tempur dengan coretan di sekelilingnya. Ia mendatangiku dengan psikis yang sedu tapi dikuat-kuatkan. Berjalan lunglai sembari menundukkan kepalanya ke tanah. Tak ada dialog di mimpiku, tapi entah bagaimana caranya, aku paham maksudnya, “Aku hamil (menunjuk perut), temani aku.”
Sekilas kulihat perutnya, tak membesar sama sekali. Setelahnya, kupikir, “Kenapa mesti aku? Kan, bukan yang yang melakukan, bukankah seharusnya ia mencari pertanggungjawaban dari cowok yang melakukannya?” Besitan tersebut secara tidak langsung membangunkanku.
Setelah cukup yakin bahwa kejadian bunting tadi hanyalah sebatas mimpi, kusandarkan sejenak tubuhku ke tembok, mengecek celana pendek dan celana dalamku, takut-takut mimpi basah. Namun, jelas, ini bukan mimpi basah, ini mimpi buruk bercampur tahi. Tidak ada nikmat-nikmatnya. Lalu, kutenggak buru-buru air putih di samping kasur, mencari-cari ponsel. Membuka Instagram, Twitter, dan status WhatsApp wanita ini secara diam-diam, dan syukurlah, ia tidak jadi bunting.
Kekhawatiran tersebut kian reda. Reda dan berganti jadi rencana-rencana keseruan hari ini. Rencana pertama, membuka TikTok. Melihat dan membayangkan betapa lezatnya menu sarapan orang-orang bule seperti pizza keju tanpa nanas atau sashimi daging tuna sirip biru. Mendengarkan cuplikan konser kesukaan dari musisi anti-zionis sampai band kabupaten yang vokal menyanyikan lirik-lirik keadilan kelas. Terakhir, tak lupa menikmati keseruan game Plant Versus Zombie mode China. Di sela-sela keseruan maya ini, satu konten religi Islam muncul tanpa disangka-sangka. Sedikit resah, banyak mengutuk algoritmanya.
Tanpa ada latar musik religi, konten ini berisi cuplikan renyah ceramah Gus Baha dalam sebuah pengajian kampung di Jawa. Di isi ceramahnya ini, Gus Baha menjelaskan bahwa ketimbang mimpi atau kenyataan, jauh lebih otoritatif (jujur) mimpi. “Tidak seperti kenyataan yang seringkali dipengaruhi oleh persepsi dan amarah yang mengelirukan, mimpi menjadi cara Tuhan memberitahukan sesuatu pada manusia. Sebab, ketika bermimpi, manusia tak bisa meminta apalagi memilih bertemu dan melakukan aktivitas apa. Semengalirnya saja,” tutup Gus Baha.
Tanpa berpikir panjang, kumatikan ponselku. Memaksa tubuh berdiri, lalu mencari sarapan yang sudah telat 2 jam. Berjalan 2 menit ke warung makan terdekat, memilih soto seharga 5 ribu, serta es teh jumbo sebagai pendampingnya. Menyuap nasi dan soto dengan pikiran ke mana-mana. Menenggak es teh dengan perasaan penuh tanda tanya. Kata-kata Gus Baha masih berlalu-lalang di kepala. Menjewer kuping kanan tiga kali untuk memastikan semua keadaan ini sedang baik dan terkendali. Tak ada mimpi. Tak ada wanita hamil. Tak ada mimpi lebih nyata ketimbang kenyataan. Pikirku, mungkin saja Gus Baha keliru mengatakan hal tadi. Mungkin, Gus Baha telah khilaf atau bahkan mencoba menakut-nakuti jamaahnya seperti Soeharto yang picik menuduh aktivis-aktivis HAM sebagai orang PKI tidak bertuhan.
Perasaan suuzan ini makin menjadi-jadi ke Gus Baha. Meskipun dalam beberapa kesempatan batin dan pikiranku saling memberontak dan menyangkal kemungkinan Gus Baha telah menyimpang. Tapi, sebab isi ceramahnya tidak berpihak kepadaku, berbagai tuduhan sesat mau tidak mau kulayangkan ke sosok yang sangat aku hormati ini. Memalukan memang, aku yang bertahun-tahun menghafal alquran, hadis, dan kitab-kitab fikih ulama besar timur-tengah nyatanya masih memiliki prasangka demikian buruk pada ulama. Istigfar dan mohon ampun kusebut dalam-dalam sembari mensyukuri kenikmatan es teh dan soto ayam yang telah kupesan.
Kunyalakan lagi ponsel sialan itu. Menimbang-nimbang untuk menanyakan ilham kehamilan ke wanita itu via WhatsApp. Pikirku, dengan mengonfirmasi hal ini secara langsung akan dengan sendirinya mendinginkan kekalutan yang terjadi. Tidak menutup kemungkinan kalau wanita ini benar-benar hamil, aku bisa membuka praktek tafsir mimpi, nujum, tenung, ataupun jualan air berkah ke depannya. Namun, niat menghubungi wanita itu kupendam dalam-dalam karena terlalu absurd mengada-ngada serta sudah kelewat asing sebelumnya, apalagi setalah kami berdua putus.
Lalu, kembali kubuka TikTok, mendengar ulang ceramah Gus Baha dengan saksama dan penuh khidmat. Sekilas, perasaan dan hawa khawatir nasib buruk kembali berdegup kencang. Prasangka-prasangka sesat kepada Gus Baha mulai pudar dari kamus pikiranku. Mungkin zikir dan istigfar itu membantu menghilangkan niat dosa-dosa pagi ini. Aku mulai intropeksi diri dan kecil-kecil menyalahkan keputusan mendengarkan ceramah agama di pagi Kamis Wage. Kata orang pintar di kampungku, Kamis Wage identik dengan aura kurang baik dan mulai bertebarannya sifat bohong, hasad, hasut, nafsu, dan tipu muslihat ke tiap penjuru mata angin. Lagian, aku sendiri yang mencari penyakit dengan mendengarkan ceramah di hari Kamis, padahal hari Jumat ceramah-ceramah itu disediakan secara rapih plus nasi berkah di masjid-masjid.
Selesai menyalahkan diri sendiri. Aku lanjut untuk mendengarkan baik-baik setiap bait yang keluar dari mulut Gus Baha. Pada ujung akhir video, terucap poin penting mengapa mimpi jauh lebih otoritatif dibanding kenyataan. Kalimatnya kurang lebih begini, “Mimpi itu murni pengendalian Tuhan. Untuk meyakini mimpi lebih nyata ketimbang kenyataan itu sendiri haruslah dibarengi dengan tuntunan-tuntunan yang sudah nabi lakukan sebelum tidur. Tanpa mengikuti sunnah nabi, mimpi tak lagi menjadi barang otoritatif, bahkan bisa jadi mimpi disusupi setan atau alam bawah sadar manusia itu sendiri.”
Segera kuhabiskan soto serta es teh yang kemanisan tersebut, lalu berjalan pulang dengan sedikit jahil menendang-nendang kerikil ke arah pagar-pagar rumah tetangga. Untungnya aku hanya buang air kecil ketika azan subuh berkumandang, batinku.
*****
Editor: Moch Aldy MA