Badannya memang tidak tinggi tegap—lebih bisa dibilang kurus, kecil, lagi berkacamata—tapi sepertinya bukan orang sembarangan. Yang membuatnya terlihat bukan orang sembarangan justru sebab orang lain yang berdiri di sampingnya: masih muda, berambut cepak, tidak berkacamata, rapi berbatik, dan, yang penting, tinggi tegap.
Diduga bapak-anak tidak cocok. Bapak tiri-anak angkat? Tidak juga. Kalau memang ini skenario yang mereka jalankan, mengapa tidak saling berbincang sedari tadi? Walau keheningan macam ini juga familiar bagi saya saat sedang berdua bersama bapak saya.
Di samping itu, hasrat hidup mereka juga tampak berbeda. Hipotesis saya, tidak sesuai dengan rumus “like father like son”.
Di depan lapak yang kami jejali bertiga, pemuda yang saya curigai ajudan itu asyik mematung saja. Tangan kiri-kanannya disilangkan ke belakang punggung. Saya yakin ia sedang tidak lelah. Baginya, tugas model begini pastilah lebih ringan ketimbang harus beraktivitas di bawah semburan matahari langsung di siang bolong. Kendatipun keringatnya sudah menyeruak dan menggumpal sebab tak ada AC, setidaknya matahari pukul empat sore serta seng-seng di atas kepalanya saat ini sudah lebih dari cukup untuk membuatnya berada di mode Zen.
Pemuda-Tegap itu fokus lurus memandang ke depan saja. Ia seperti bengong, atau barangkali sedang sibuk membantu otaknya untuk menyusun jawaban atas pertanyaan yang ia munculkan sendiri: “Buset, ini buku semua nih?”
Tanda-tanda ia tidak sedang melamun baru terlihat saat kepalanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan lembut dari Bapak di depannya, “Eh, ini saya sudah punya belum ya di rumah?”
Pertanyaan tadi dibarengi dengan gestur mengangkat sebuah buku bersampul biru. Kuntowijoyo pengarangnya.
Adalah saya saya yang menarik buku itu secara susah payah beberapa menit sebelumnya dari sebuah tumpukan di toko buku bekas itu. Ia saya selamatkan ke atas tumpukan yang lebih lega dari jepitan buku-buku tua lain.
Untungnya, Ibu Pelapak peka kalau tubuh yang tak pernah ditempa latihan fisik—kecuali sekali saat asal menaiki anak-anak tangga suatu halte Transjakarta akibat dikejar anjing setempat malam-malam—ini terlalu lunglai untuk mengangkat tumpukan buku itu dalam satu waktu.
“Sebelum Pak Kunto berpulang, pas sakit-sakitnya sampai susah ngomong, saya malah sering tuh ketemu beliau.”
Tiada kontak yang coba dijalin mata Bapak itu saat berujar. Ia memilih larut membolak-balik beberapa lembar dari buku Kuntowijoyo bersampul biru itu sembari menancapkan matanya ke beberapa titik paragraf sekilat mungkin. Namun kali ini, sayalah yang peka karena tidak mungkin Pemuda-Tegap tyang masih saya curigai ajudan atau Ibu Pelapak yang diharap merespons.
“Oh ya, Pak?” sambil berjongkok mengamati buku-buku di tumpukan lain, suara saya agak terpelanting, tergoda sekali untuk meresponsnya. Bertemu penulis sekaliber Kuntowijoyo apalagi di ujung usianya pastilah bukan privilese banyak orang.
“Iya. Saya suka sekali karya-karya beliau. Memang dahsyat betul Pak Kunto!”
Tiba-tiba saja kami nyambung setelah beberapa menit sebelumnya hanya saling berbagi punggung! Pemuda-Tegap masih tak bersuara. Kali ini, saya merasa unggul walau badan saya tidak tegap.
“Bu, saya mau Kuntowijoyo dong! Ada yang lain nggak?” pinta Bapak itu dengan aksen Batak totok.
“Yang ini si masnya yang nemuin duluan,” tangannya menunjuk buku biru itu dan tatapannya mengarah ke tempat saya berdiri. Wajahnya menoleh ke kanan dengan kacamata yang offside, turun sampai batang hidung.
“Saya baru bersentuhan dengan karya beliau di Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi, Pak.”
“Bagus, kan? Saya juga suka yang itu!” Gantian ia dan aksennya yang melengking.
Sebentar saja Ibu Pelapak membiarkan kami berbicara, ia sudah kembali dengan membawa sekitar tiga atau lima buku. Semua judul itu karya yang sangat mendefinisikan keprofesoran Kuntowijoyo. Ketangkasannya itu pun dibalas dengan raihan cepat tangan si Bapak.
“Mas, kamu nggak milih?”
“Saya pass dulu, Pak. Mau baca karya beliau yang ringan-ringan saja.”
Ia lalu meminggirkan semua buku itu untuk dibawanya pulang.
“Tapi, Bu,” sambungnya lagi. “Yang ini,” buku bersampul biru itu ia capit dengan jempol dan batang telunjuknya yang membengkok. “Saya juga mau yang ini. Ada lagi nggak?”
Baru kali ini—ya karena baru kali ini juga saya mampir ke kiosnya—saya lihat Ibu Pelapak pasrah saja lantas menggeleng. Pastilah bukan karena enggan kembali ke bukit-bukit buku berdebunya. Lebih karena ia sudah tuntas berselancar di antara katalog dagangan yang ada di pikirannya. Ia yakin, hanya itu sisa eksemplar yang ia punya.
“Ah.”
Saya terperangah. Detik itu, baru tahu ternyata “Ah” ini semacam sandi rahasia untuk membangunkan Pemuda-Tegap dan memberikannya perintah. Kode tersebut sama ampuhnya dengan tangisan bayi yang minta perhatian dalam bentuk apa pun, meski tidak definitif juga maknanya seperti “jancuk” dalam dialek Suroboyoan.
Sekejap, si Pemuda-Tegap berubah dari mode siaga ke mode bekerja. Kepalanya langsung mendongak memindai sampul buku biru itu. Saya lihat juga bibirnya mengkomat-kamitkan judul buku tersebut. Dua kali ia ulang. Ia hapalkan betul karena kesalahan bagi seorang berlatar seperti dirinya setara hukuman bahkan bunuh diri.
Maka, bergeraklah ia mengitari toko-toko lain. Sebagian ending-nya saya bocorkan dulu di sini: tidak akan ada adegan Pemuda-Tegap mengkomat-kamitkan barang A, lalu kembali dengan membawa barang Z, ya, saudara-saudara.
Sembari itu, si Bapak meminta Ibu Pelapak menotal belanjaannya. Ibu Pelapak semangat sekali. Terogohlah smartphone dari tas selempangnya dan dengan entah shortcut apa aplikasi kalkulatornya telah terbuka. Ia menyebut dulu satu per satu harga buku yang telah dipinggirkan sebelum diketik nominalnya di papan tombol dan dimatematikakan.
“Ah, kasih kurang dikit lah yang ini, Bu?!”
Semirip-miripnya intonasi “Ah” yang barusan dengan sebelumnya, Ibu Pelapak cuma bergeming dan menjawab lekas, “Ini sudah murah, Bang.”
“Ah.” Keajaiban yang ia harapkan batal terjadi, meski ia telah memperjelasnya dengan ia bisa jadi langganan nanti.
Smartphone merangkap kalkulator itu sudah menampilkan angka yang harus si Bapak bayarkan, tapi enggan ia lunasi duluan. Pinggang kecilnya ia jadikan tumpuan untuk kedua tangannya berkacak menunggu kabar dari Pemuda-Tegap. Kakinya juga sesekali ia goyang-goyangkan; keresahan ia isyaratkan.
Buku biru. Buku biru itu seperti harus jadi pelengkap belanjaannya hari ini.
Pemuda-Tegap kembali dalam keadaan nihil. Sudah ia kitari lapak-lapak di sini yang masih buka, tak ada satu pun yang menjual buku Kuntowijoyo bersampul biru itu. Raut tak gembiranya terpancar bersama keringat yang membasahi dahinya, tapi ia juga tak punya beban karena ini murni bukan kesalahan dia.
“Ah.”
Begitu saja komentar si Bapak, yang entah mengapa menggerakkan bibir saya untuk bilang, “P-Pak, kalau Bapak ingin sekali membacanya, silakan saja ini untuk Bapak.”
“Ah.” Ia menjeda. “Yang benar kamu?”
Saya serahkan satu-satunya hasil buruan yang sukses memikat saya dari lapak itu sambil mengangguk pelan sekali. Tepukan si Bapak di bahu kiri saya langsung membuat postur tegak saya tersentak. “Wah, terima kasih, Bung.”
“Masnya kuliah Jogja tho?”
Pemandangan ini tampak sedikit menarik bagi Ibu Pelapak dan akhirnya untuk pertama kalinya menyapa saya, calon pembelinya yang lain. “Besok ke sini lagi saja, siapa tahu saya sudah bisa dapat dari yang lain.”
Jejaring para penjaja buku bekas, sebenarnya siapa yang berani meragukan?
“Enggak, Bu. Saya cuma lagi jalan-jalan di Jogja. Besok sudah kembali,” jawaban saya mengagetkan si Ibu Pelapak dan si Bapak. Pemuda-Tegap? Sudah fokus istirahat di tempat lagi.
“Oke, Bu, total ya!” perintah si Bapak yang kali ini sudah tidak ragu mengambil dua belas lembaran seratus ribu dari dompetnya. Ia juga turut mengisyaratkan tak perlu mengembalikan sisanya.
“Terima kasih, Bang. Semoga lancar terus kariernya. Kalau abang nyaleg di sini tahun depan, kabarin ya!” Girangnya Ibu Pelapak sudah kurang sastrawi lagi untuk dideskripsikan di sini.
Tanpa ragu, si Bapak mengamini ucapan penjaja berhijab ini sembari berlalu meninggalkan kami. Pemuda-Tegap menguntit di belakangnya dengan kedua tangan yang penuh buku tanpa lengan batik yang tersingsing. Disandarkan buku-buku itu ke dadanya yang membentang dua kali ukuran dada saya. Dari belakang, yang terlihat tinggal keringat yang mendekap punggungnya dan badannya yang masih tampak tegap.
“Memangnya, beliau itu anggota DPR ya, Bu? Orang penting di Jogja?”
Brak! Brak!
Saya baru tersadar Ibu Pelapak sudah mulai menyusun papan-papan kayu untuk menutupi kiosnya. Buru-buru. Bahunya bahkan sempat menyenggol bahu saya.
Brak! Brak!
“Tidak tahu juga saya, Mas.”
*****
Editor: Moch Aldy MA