Panduan Menjadi Alien
Di sela-sela degup usia
coba lafazkan dzikir bisu
bahwa sastra hanyalah huhuhaha
manusia purba
yang lekas
disakralkan seribu aku.
Barangkali kau pun berani tantang
barisan para pemangku
otoritas kibul
bernama sastrawan
mendamprat langsung ke wajah mereka
kalau puisi cuma produk gabutisme
yang tak mengenyangkan.
Apalagi mengubah negara yang buruk
menjadi lekas membusuk.
Taufiq Ismail pernah merangsek lembut
ke telinga Gus Mus
: “enaknya jadi penyair itu tidak pernah salah,
kalau pembaca nggak paham, mereka menyalahkan diri sendiri”
Oh, ini terlalu tinggi bahasanya untukku.
Sebungkus tips mempuk-puk diri sendiri
di tengah semesta yang gelap, dingin, dan sepi
Makin berkepanjanganlah mitos dan
sakralisasi terhadap sastra
beserta otoritasnya.
Tapi, ssst….
kubisikkan satu hal lagi
Bersiaplah ketembak peluru Satgas Anti-Penista
ketika dirimu kesurupan sejarah evolusi dan cara kerja otak
sembari membatin, “agama tak lain adalah igauan panjang
saling diumpankan jutaan kepala di ribuan zaman.”
Darahmu mungkin sama merahnya dengan mereka
namun isi mulutnya bau amis,
remang dan rapuh
mencicipi ambiguitas isi batok tengkorak
di wilayah abu-abu
tentang orang yang di lidah
mengimani semua manusia setara,
tapi diam-diam mentamengi
pemuka agama
yang dikritisi
—sambil membiarkan politisi
binasa dicaci-maki
Tiba di layer ponsel kueja
ada dosen AI pertama di Indonesia
wah, kabar baik
gaskeun lah, reshuffle semua dosen sekalian
biar kaum feodal lekas punah
Memang, berjalan di dunia yang
punya DNA untuk
berkubu-kubu ini
mari sebentar menepi
dari kerumunan
kumpulan sastrawan yang memonopoli makna
seniman yang memagari pekarangan estetika
dan mendevaluasi buah karya tukang rongsok, pebecak,
dan anak STM
sebagai kualitas taik.
Lagipula, apa yang perlu terjadi dalam hidup
—yang cuma sekedip
selain bertempur panjang
merebut waktu
menduduki sejarah
dan menabok mereka yang tak sepemikiran
Tutorial untuk menjadi aku,
kau musti rela terasing
dari kerumunan
menjadi alien dan
siap terlupakan.
(Yogya, 2023)
–
Membaca Sejarah Kedunguan*
Kepada empu masa lalu aku menimba
remah cahaya
sebagai ironi dan pintu
pelarian tak berkesudahan
Namun alamat terjauh sering kali bersembunyi
di balik kata “kemarin”
terutama saat mengeja jejak tapak kedunguan
kaum sapiens yang membakar ilmu
demi bukan apa-apa
Di Basrah, api mengulum bundel momen
Museum Sejarah Alam, perpustakaan, dan kenangan puitik
pada setiap renik keringat
di lembaran kayu, papirus, dan kertas-kertas
Ada penyair ayu membisik pada Fernando Báez,
“setiap buku yang dihancurkan adalah paspor menuju neraka.”
Sedang aku mencicil tiket ke sana
dengan tidak membacanya
Pada lembar hari ke berapa
manusia berhenti
menjadi dungu
sebelum diterak damnatio memoriae
: sanksi berat penghapusan ingatan
—pukulan terdahsyat
bagi jiwa narcissus
yang semayam di dalam setiap orang
Lalu secongkak apakah Plato
sehingga tega membakar naskah
yang tak sejalan dengannya
Sementara di lembah Alamut
sekte Hasyasyin menekuk lutut
pada tentara Mongol
menjelma sobekan karcis termurah
bagi pertunjukan barbeque
satu setengah juta buku
Memang puisi-puisi, teroka astronomi,
filsafat, dan keagamaan
adalah sesajen termegah
untuk dibakar
dalam pesta usai berperang
Sebuah isyarat kecil
bahwa kita ternyata organisme
paling obsesif
dalam memusnahkan
diri sendiri.
(Yogya, 2022)
_
Suara Bertubuh Kupu-kupu
: Alih wahana dari cerpenku “Seorang Indigo dan Suara-suara Bertubuh Kupu-kupu”
Saban detik ada yang menagih
terima kasih
lewat kaca jendela, tembok, arca, candi
dan gelas kopi di tempat lututku bersila
Anehkah bila ada kebisingan
yang gigih menggerayangi telinga
ketika batu-batu kali bertasbih
menolak sedih dengan
membisu
Kata-kata tanpa wajah beterbangan menjelajah
tepat di lorong-lorong mataku yang pejam
asyik menari-nari serupa gelombang angin
menebas cakrawala
tenang, namun tajam
dan kupingku digasaknya hingga rompal
tak karuan, urakan, tapi menyenangkan
Boleh saja orang bilang aku pengidap skizofrenia
di negeri yang memang skizofrenik ini
Hanya, sialnya, dunia ini bekerja tak selinear
cara ngacengmu pada lawan jenis
Buktinya, bilik-bilik bambu yang ditinggali nenek temanku
nun di sana
menguarkan aroma salju dan desis-desis
rapalan bahasa yang tak kumengerti
Suara-suara yang kaufitnah bisu-sunyi itu
sedang bertengger di pundak-pundak
para peziarah dan warga Trowulan
Tapi mereka, suara-suara bertubuh kupu-kupu itu,
tak sanggup merasuki telinga organisme yang bebal,
cengkal, buntu, dan gumede
Adakalanya mereka meregang putus asa sembari berpaling
dari wajah-wajah yang abai
dengan kejengahan paling keparat
seolah tanpa dosa
Di situlah mereka merengek mendatangiku
mengemis pembacaan puisi-puisi yang paling sunyi
—yang sengaja kusembunyikan dari kata-kata[1]
mereka sontak riang
sambil menari mengitari ubun-ubunku
sebelum pada akhirnya lebur
lenyap
ditelan kebahagiaan
yang berlebihan.
(Mojokerto, 2021)
_
Menabung Kehancuran
Mari masuk ke palung sepi
menyigi kilau langit pada
rumput sabana
ketika embun diteguk
belalang tua
setelah kematian
mendepak anaknya
Perjalananmu dipermainkan misteri
tentang tuhan-tuhan kecil
di samping batu
yang sibuk mengupasi waktu
di sela-sela hujan
bersama tumpukan
kabut pertanyaan
Buka saja kartu dan angkamu hari ini
mungkin server Sydney sedang
404 not found
kau bisa saja melipir ke Hongkong
atau singgah ke penyaji kopi rasa batubara
plus sangit tembaga
di selasar pelabuhan
menyetel musik yang lapar
dan berjabat tawa dengan nelayan
Ikan-ikan lekaslah hangus
laut karang gersanglah
tongkang batubara bertindaklah manasuka
namun peluk ibu dan putri kecilku
sanggup melarung dendam
ke tepi tangis yang tanpa suara
Cekat bibir merembet ke sudut batin
di pedalaman resah
ada yang merasa asing
dengan semua ini
Sedang anak-anak terpaku menatap
esok yang biru
lewat bakau-bakau dan beton-beton
sembari bertanya
tentang kabar waktu
tentang kapan
ia berhenti bekerja
Segeralah
percepat saja
gerak langkahmu
dalam menabung kehancuran
untuk generasi mendatang
(Gigir Pelabuhan, 2023)
_
We Are the Same
Di Bercy Seine, Paris, suhu jatuh
aku melipur malam dingin
dengan bau pesing terminal, kerumunan orang
dan rokok kretek Indo sisa separo
Setiba bus warna hijau
kendaraan umum terjangkau
kumasuki sisi paling atas
dan duduk sendiri
Datang ke sebelahku
bule kulit hitam, gempal, berjas,
matanya redup, baunya balsam,
melihatku yang kurus, gelap, kering, dan kusam ini
ia menyihir: don’t worry, we are the same
we are the same
we are the same!
Berulang tiga kali sampai
membikin aku terkesiap
terutama ketika ia mengiraku dari Afrika
yang lantas kutidakkan
sebab aku dari Asia
Aku seperti terhisap pada kilasan lampau
mengintip bekas luka sejarah
juga realitas terkini yang tak terkatakan
Soal ketertindasan kaum tertentu
oleh kaum lainnya
di sebuah kota yang konon
paling indah dan berseni
tempat seniman dan penulis besar lahir
bersama copet, setan rasis, dan ketakutan tak berdasar
pada mereka yang berbeda
(Paris-Jenewa, Juni 2022)
_
Penyair Tanpa Pergaulan Sastra
Matanya setengah terbuka
sinarnya remang
pipi sudah tirus digerus tembakau
dan mungkin karena cacingan
atau makan cuma sehari sekali
akibat santunan dari dirinya dalam peran yang lain
macet dan tak kunjung cair.
Beginilah tangkapan layar
dari kehidupan penyair mentah
juga buruh jempol atau kuli tinta
yang punya uangnya tak pernah tepat waktu
itu pula yang membuat dirinya
suka mengupasi kulit kuku
dengan kuku jari lagi
Memilih bergaul dengan bapak gerobak sampah
peternak ikan nila samping sungai Berbah
atau bakul angkringan di tepi jembatan
Malas dan malu bergaul
dengan sesama pegiat sastra
sebab tak dapat apa-apa selain
ajang menyiksa diri dan
menambah dosis kecemasan
Adakah ruang masih tersisa
di rak buku penerbit biru
bagi penyair tanpa pergaulan?
pontang panting jalannya terhuyung
mencari makan seperti era pemburu pengumpul
lewat memancing dan bertengkar
dengan pria lain
di dalam batok kepalanya sendiri
(Yogya, 2023)
*****
*terinspirasi dari karya Fernando Báez
[1] Terinspirasi dari penggalan puisi Emha Ainun Nadjib berjudul “Jalan Sunyi” (1995).
Editor: Moch Aldy MA