Laki-laki kelahiran 2001. Boleh kasih bacotan di @paa_litoo

Pada Satu

Palito -

4 min read

Cahaya merayap lewat celah tirai, menusuk kelopak mata yang masih berat. Sebagai manusia, kita mengamini apa saja yang terjadi, meski dengan terpaksa dan tanpa tahu apa langkah pertama yang harus diambil. Mungkin terlambat menyadari bahwa langkah yang lewat tak pernah kembali.

Tubuhnya menggeliat, menguap, dan mengerjapkan mata, membiarkan cahaya memenuhi penglihatan. Bibir mungil itu menghela napas berat, isi kepala ribut tentang hari ini yang menyambutnya sesak. Ia menatap langit-langit. Hari yang membosankan, rutinitas yang sudah hafal luar dalam, percakapan yang sama berulang-ulang.

Suara ibu memanggil dari balik pintu menarik paksa dirinya ke dunia nyata. Ia mendengus pelan melempar pandangan datar ke pintu berwarna putih itu. Berkali-kali bertanya apakah ini nyata atau tidak, jahatnya kenyataan menamparnya dengan bebas menyadarkan inilah sangat nyata dan dia ada di sini dengan rasa yang digorok di suatu pagi.

Perempuan itu bangkit malas, menyeret langkah ke kamar mandi. Sebetulnya, ia terlalu enggan melakukan aktivitas hari ini. Dia belum siap menghadapi realitas yang tidak ingin ia temui secara nyata. Ia berpura-pura baik-baik saja, tapi firasat buruk terlalu bising di kepalanya.

Hari ini, sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang mendebarkan, seperti bayang-bayang yang tak mau hilang. Lukisan seseorang yang sudah lama dihapus kini mulai terlukis kembali dengan jelas. Menyebalkan sekali. Kawanan cemas di dada semakin mengguncang tunas kepastian yang akan tumbuh, tetapi dibabat habis sebelum muncul.

Perempuan itu menatap pantulannya di kaca, seseorang yang tersenyum lebar padanya. Senyumannya lebar seperti anak kecil yang ulang tahunnya dihadiahi tiga permen lolipop atau balon warna-warni yang diklaim semua warna balon itu berwarna merah dan kuning.

Seseorang di dalam kaca melambai, bibirnya bergerak, menyebut nama yang sama. Tetapi perempuan itu hanya menatap dingin seseorang di dalam kaca itu. Ia membenci bayangannya sendiri yang tersenyum, seolah tahu sesuatu yang tidak ia ketahui. Ia membenci dirinya sendiri. Ia membenci sesuatu yang tidak dijelaskan secara baik.

“Kok makanannya diaduk-aduk gitu. Kamu sakit atau makanannya nggak enak? Kalau begitu ibu masakin lagi, ya.”

Kursi berdecit. Perempuan itu terkesiap dari lamunannya. Ia menahan tangan ibunya, lalu menggeleng kuat membuat wanita paruh baya tersebut menjatuhkan kembali bokongnya ke kursi.

“Makanannya enak. Nih, liat aku makan satu sendok penuh.”

Ia mengunyah, lidahnya memberontak, tapi ia tetap tersenyum untuk ibunya.

“Enak banget,” cengirnya tampak kaku. “Nanti masakin kayak gini lagi ya, Bu,” ucapnya dengan antusias meskipun tidak ada nada meminta kembali untuk dibuatkan. Anggap saja kalimat itu semacam harapan untuk ia lenyap dari sana, perutnya sudah bergejolak untuk memuntahkan isi yang tidak diterima dalam lambungnya.

“Iya, sayang,” kata ibunya.

Ibu bergumam, jarum di tangannya terus bergerak, menjahit tanpa arah—seolah benang itu satu-satunya yang menahannya tetap utuh. Ia masih bertanya-tanya, apakah wanita di depannya ini benar-benar ibunya? Atau hanya sisa-sisa dari apa yang dulu disebut ibu?

Keinginan lenyap terlalu besar. Tapi ia tahu, itu hanya menambah rumit masalah.

“Nanti antarkan makanan untuk ayahmu, ya. Kadang dia suka lupa waktu kalau sudah masuk gudang kayu. Ibu heran apa yang dikerjakan di sana, ya?” Wanita paruh baya itu menggaruk puncak kepalanya kasar, berpikir keras. Di sela-sela jarinya patahan rambutnya menggelayut. Lalu garukannya pindah ke muka meninggalkan luka baru berbaur dengan bekas luka sudah lama mengering.

“Iya.”

Deringan bel membaur, semacam gelombang tidak nyata mengalihkan aktivitas. Wanita paruh baya itu menatap polos anaknya seakan meminta penjelasan siapa yang bertamu di rumahnya di pagi ini. Begitu pun perempuan itu, ia sedikit sangsi melihat sorot mata ibunya. Bagaimana tidak, di komplek perumahan ini hanya mereka menetap dan betah di kawasan tersebut. Semua tetangga dulunya menetap di komplek perumahan itu sudah minggat habis-habisan sejak lama dikarenakan ada tragedi yang tidak diketahui penyebabnya. Rasa ragu singgah di tindakannya, tetapi ia tetap melangkah ke arah pintu utama.

Saat membuka pintu, perempuan itu disambut kicauan burung gereja. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah pagi menyimpan sesuatu yang belum terungkap. Pandangannya jatuh pada selembar surat lusuh di meja teras. Tanpa nama pengirim. Tanpa petunjuk. Tangannya terulur mengambil dan mengamati setiap sisi, tak ada nama pengirim. Apakah ini surat salah alamat atau orang iseng mengirim surat kaleng seperti ini.

Rasa penasarannya semakin membuncah, ia membuka dengan takut-takut sehelai kertas itu bisa lebur jadi abu. Ia menyimak deretan kalimat tertulis di sana. Tulisannya acak-acakan dan singkat.

Ayahmu sudah mati. Separuh tubuhnya lenyap di mesin pemotong kayu.

Semua kalimat itu berebut untuk bereaksi. Tembok yang disusun tinggi meredam datar, suara asing berdengut, angin menahan diri untuk berdesir, dan juga suaranya sendiri meringis menahan isak yang empedu. Selingkungan tubuhnya dihinggapi warna-warna penuh gelap pekat. Ia tak habis pikir lelaki baru saja mati dengan tidak wajar. Tubuhnya bergeser bersandar ke dinding untuk menahan tubuhnya yang akan siap melepaskan sendi-sendi untuk berdiri.

Jari-jarinya mencengkeram amplop lusuh itu. Kertas di dalamnya terasa kasar, seolah penuh debu dari masa lalu. Napasnya tercekat di tenggorokan, sementara matanya berulang kali membaca deretan kata yang tertera di sana. ‘Ayahmu sudah mati.’ Suara di kepalanya mengulang kata-kata itu, dingin dan nyata. Dadanya berdegup cepat, tetapi tubuhnya justru terasa ringan—seperti baru saja dibebaskan dari jerat yang telah mengikatnya selama bertahun-tahun.

Tapi lalu… ia tertawa. Pelan. Hampa. Lama-lama, tawa itu pecah seperti kaca yang dilempar ke lantai.

“Akhirnya…” gumamnya lirih, nyaris seperti angin.

“Akhirnya…” ulangnya lagi, kali ini lebih mantap. Bibirnya membentuk seringai. Ada yang terasa ringan di dadanya, seperti beban bertahun-tahun yang kini menguap begitu saja. Ia memegang surat itu lebih erat, menekannya ke dada, merasakan teksturnya seolah itu adalah nyawa laki-laki bejat yang kini telah hilang. Perempuan itu sangat membenci ayah tirinya, lelaki yang jauh lebih tua, menikahi ibunya lima tahun lalu. Ibunya selalu berdandan berlebihan setiap malam, parfum menyengat memenuhi rumah, sementara laki-laki berbeda duduk di ruang tamu dengan tatapan lapar. Perempuan itu tak pernah bertanya, tapi ia tahu. Ibunya menganggap dirinya masih muda, masih menggairahkan. Itu cukup baginya untuk terus mengejar sesuatu yang selalu terasa baru.

Pemuda yang tercantol dengan pesona ibunya, seringkali bertamu ke rumahnya setiap malam. Kesan pertama saat perempuan itu bertemu dengan kekasih ibunya adalah pemuda itu sangat tampan. Manik matanya beriris coklat madu dan tajam. Badannya tidak gemuk atau kurus, tapi bisa dibilang atletis. Kulitnya berwarna gelap dan memiliki kebiasaan tersenyum miring ketika tidak sengaja bersitatap dengannya.

Ia sepenuhnya belum percaya bahwa pemuda itu mencintai ibunya dengan tulus. Percuma saja ia berdebat dengan ibunya yang keras kepala dan berhati batu. Apa saja keinginannya harus terwujud meskipun resiko selalu mengikat

Pernikahan ibunya dan laki-laki itu berlangsung tidak aman-aman saja dalam bulan kedelapan pernikahan mereka. Laki-laki itu berperilaku kasar, memukul ibunya saat pulang kalah judi. Perempuan itu membenci ibunya yang tidak melawan perlakuan kasar dari laki-laki itu.

Untuk pertama kalinya, rumah ini terasa lebih luas. Tak ada lagi jejak langkah berat di malam hari, tak ada lagi bau alkohol menyengat di ruang tamu, tak ada suara ibunya yang memohon di balik pintu kamar. Udara lebih ringan. Ia tertawa—bukan karena bahagia, tapi karena akhirnya, ada sesuatu yang benar-benar berakhir. Tanpa mengkhawatirkan tangisan ibunya malam hari selalu terngiang-ngiang di telinganya atau pacuan pecahan barang berserakan diperbuat oleh laki-laki bejat itu.

Bunyi pagar bambu terbuka membuyarkan, seseorang tergopoh-gopoh berlari ke teras rumah. “Anu… anaknya Mas Setu, ya?” Seorang lelaki paruh baya berdiri di depan pagar, napasnya tersengal. Wajahnya pucat.

Perempuan itu menatapnya datar, masih dengan amplop kusut di tangan.

“Ada apa?” tanyanya dingin.

Lelaki itu menelan ludah. “Ayahmu… di gudang kayu… mesin pemotong… separuh tubuhnya…” Ia terdiam, mengatur napas. “Ayahmu meninggal.”

Sunyi. Perempuan itu tetap diam. Matanya datar, tanpa kejutan, tanpa air mata.

Sebaliknya, yang diperlihatkan justru sebuah senyum. Bukan senyum lega. Bukan senyum sedih. Tapi senyum yang aneh—senyum yang seharusnya tidak muncul dalam situasi seperti ini.

“Saya sudah tahu,” katanya tenang, lalu berbalik masuk ke dalam rumah, meninggalkan lelaki paruh baya itu berdiri termangu.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Palito -
Palito - Laki-laki kelahiran 2001. Boleh kasih bacotan di @paa_litoo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email