Oktober Merah dan Puisi Lainnya

Angga Pratama

1 min read

Oktober Merah

Kalender di sudut kamar
Bolshevik tatapi saksama dengan gusar
Oktober, Oktober, Oktober!

Penggulingan monarki tinggal
menghitung tanggal dan huru-hari
Tapi dingin tetap menjadi-jadi
Isyarat perlawanan berembus
Jauh hingga ke ujung tirai besi

Kayu bakar tak cukup hangat
menahan hawa dingin kematian
yang hampir sampai dengan cepat

Akankah kami bantai borju-aristokrat?

Gelora membara memaksa
Proletar masuk istana Tsar
O Kamerad Lenin naik takhta
Buruh-Tani bersorak-sorai, adapula
yang menangis kehilangan tuannya
Tsarku mati, Tsarku mati, ujarnya

Kelak Oktober jadi penanda:
“Darah-Biru telah merah, Darah-Buruh
akan berjaya! Ura! Uraaa! Uraaaaaaaa!”

(2021)

Siberia

Tanah berlapis salju
Serigala duduk bersama jadi raja-ratu
Alam liar yang tak mau ditundukkan
Terhampar luas menanti para tawanan
Prajurit gagah berani tertangkap
Ribuan mil dipaksa berjalan

Katanya tak ada jalan keluar
Katanya tak akan ada pertolongan
Para bajingan pun merinding
Para ksatria kehilangan kejantanan
Pengabdi Führer beku dalam setianya
Tapi Hitler tak peduli
Hitler tak mengerti
Mati pun tak berarti
Mati pun tak sepadan

Dikenang sebagai pengkhianat
Mati di tanah pengasingan
Gulag jadi tempat pesta para Stalinis
Meraung-raung dihantam prajurit bengis
Siberia nan tenang, melahap habis semua tangis.

(2022)

Keramaian

ada di pasar
ada ketika perang
ada ketika kongres
ada ketika petang
ada ketika pesta

kita lihat sekeliling, manusia
besorak-sorak jamu kesibukannya
menyambut kau datang
lalu mengantar kau pergi

kita bertaruh dengan takdir
kelak kita akan tersingkir, selasa
atau rabu, minggu, atau kamis,
diiringi keramaian yang tak liris;

terkubur di keramaian yang sepi.

(2020)

Barisan Domba

Barisan domba berbaris rapi tunggu giliran
Kereta datang satu per satu urai antrian
Tapi mereka masih sibuk cari destinasi kehidupan

Keretaku tiba
Mataku pandangi gedung-gedung
pencakar langit yang murung
Inikah yang para domba inginkan?

Para domba turun di perhentiannya
Muak, sedih, putus asa, terpancar
dari gerak-gerik mereka
Gemulai kaki domba terbirit-birit
mengisi absen
Karena gaji tak akan penuh ketika
absen tak seratus persen
Gaji dan jabatan aman untuk mereka
yang selalu patuh
Kerja kantoran memaksa para domba membunuh kehendak untuk misuh-misuh

Tapi
Kerja rajin disangka penjilat
Kerja malas berakhir dipecat

O
Kapitalisme
Bangsat!
Bangsat!
Bangsat!

(2021)

Makan Siang Khusus

Lonceng neraka berbunyi
Tanda siksa Lucifer sementara berhenti
Para domba antre seperti barisan nisan
Seringai lalat bercengkrama dengan
rumput layu di atas nampan
Tapi siapa yang peduli kepada
para domba yang kelaparan?

Waktu adalah uang! teriak Lucifer
Uang adalah titik temu dan tolak ukur
kata para domba yang cukup pinter

Tak lama, lonceng neraka bersuara
sebelum makanan mereka selesai dicerna.

(2022)

Kampania wrześniowa

Hari ini mata Lucifer terlihat sembab,
sebab ribuan domba harus dibayar
dari nilai lebih yang didapat pemilik kerja
Para domba seperti kata sifat bebas
Berdansa keluar dari pintu neraka
Mengejek para anjing seakan besok
mereka tak kembali lagi ke Polandia

Di luar, dentum kiamat terdengar
sebanyak tiga kali: Duar! Duar! Duar!
Merobek mimpi, menusuk telinga
Mata terbelalak, lompat dari kasur
tanpa sehelai pun benang di badan
Seseorang yang bukan Arya berseru: “Wehrmacht! Wehrmacht! Wehrmacht!”

Aku, istriku, dan anakku lari
menuju keramaian domba
Berusaha mengulur mati
Wroclaw menjadi tujuan
Berharap perlindungan
Dari Tuhan yang persetan

Seekor domba penuh kompromi
berkata: “Fatum Brutum Amor Fati.”

Mengapa pula ia mesti mencintai
takdir, ketika takdirnya yang
menyedihkan itu perlahan namun
pasti membunuhnya dengan getir?

(2022)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Angga Pratama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email