Ode untuk Mamah dan Puisi Lainnya

Alissa Wiranova

2 min read

ode untuk mamah

mah, i’m writing this letter to you as you declined my call because i was too busy yesterday, considering my very own business.

mah, aku menulis ini dengan mata tergenang, sebagaimana kau kala itu di meja dapur. pertama kalinya kulihat wajahmu merah padam, matamu bengkak, kupingmu seolah berasap.

mah, kunyalakan sebatang rokok sekarang. you’ll be yelling at me, of course, by the time you find out. i remind you so much of father.

mah, berulang kali aku menelan ludah kala itu, maju mundur menggigit lidah sendiri. kita duduk bersimbah dekat kamar mandi, kau duduk diam di depanku. i need to take some pills, matamu mendelik seolah aku hantu.

mah, i’m your own flesh, i’m your own blood. pekik amarah dan derap langkahmu yang buru-buru, hidup selamanya dalam kepalaku.

mah, when i told you i tried my best to forgive father, i couldn’t read your face anymore. aku biasa membacamu seperti buku yang terbuka, tapi kala itu tiap halaman habis terbakar.

mah, waktu kau asik bergurau di tengah lantunan pengajian nenek, dadaku pecah berkeping-keping.

mah, waktu kau usap air matamu di pusaranya sore itu, hatiku menciut kecil tak berbekas lagi.

mah, doa dan amarahmu terus-terusan berjalan beriring menyambangi setiap langkahku.

tengah malam

tuhan
hadir di kiri antologi Subagio,
di balik bantal,
gepeng dan basah.

bersolek

aku ingin bebas,
terbang semauku ke mana pun aku ingin
dan kuyakin ini semua bukan puisi,
untuk apa menulis puisi?
aku mau tetap tinggal,
jadi diriku yang sebenarnya
tapi aku bahagia sehari,
sedih di esoknya.
bersolek cantik sehari,
memekik ngeri di depan cermin esoknya.
dan aku membaca,
menulis,
hanya untuk mengkhianati diri sendiri.

pelatuk

dan aku unstoppable!
tidak terhentikan!
siapa pun tunduk padaku.
aku menguasai percakapan,
aku mendominasi pertemanan
aku yang pegang kendali
atas segala hal yang terjadi dalam hidup,
kuliah-kerja-kuliah,
semua rapi kususun per langkah.
tapi, perasaan ini
yang subtil, halus merasuk setiap waktu,
selalu mudah lolos
tulisan ini, campuran antara cara bertutur dalam
bait anak batuk diberi vicks milik penyair tahun 70,
juga tulisan singkat aktivis kampus hobi demo,
yang mungkin dalam waktu sehari, dua hari, seminggu, sebulan,
akan jadi aibku untuk selamanya.
seolah akan datang sosok yang menarik pelatuk tepat di hadapan keningku,
sosok yang tiada orang lebih kenal daripada diriku sendiri.

calacah

i think i’ve seen you many times before,
in the world made of books
that i’ve been living in
didion where she said that,
life changes in the instant
the ordinary instant.

or when plath gets her depression
every time her sinuses come up
reminds me when you told me that
you are pluto, diusir dari orbit
and 2023 is your lucky year.
then you became a jupiter, meski
masih jauh dari matahari.

the moment you said that,
i think that’s when i fell for you.
i see you in your rhythmic breath,
listening to my crappy stories
about crappy friends
and the sound you make
every time you light
your dumb mati-mati terus cigarettes.

i’ve seen you so many times before,
in aan’s poem, where he wrote that
tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tak berani mengetuk pintunya.

how can someone be so vulnerable yet so convincing?
and those poems you sent me,
the one we make together
awkward 
inconsistent as a lame cat on the loose
or quick as kids freed by the bell.

i told my friends about it,
they told me what on earth does that mean
i love it when only we understand.
in sapardi’s, where
ketika jari-jari
bunga terbuka
mendadak terasa
betapa sengit cinta kita.

what does cinta yang sengit mean anyway?
i guess it’s nothing but us.

i wanna send you poems—for eternal
i wanna send you flowers—maybe the green colored one.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Alissa Wiranova

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email