Seringkali kita mendengar frasa ‘Negara Hukum’ diucapkan dengan penuh hormat. Konsep ini identik dengan cita-cita negara yang tertib, teratur, dan adil. Di Indonesia, cita-cita ini secara eksplisit termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Namun, pemahaman tentang Negara Hukum seringkali terhenti pada pengertian yang sangat formalistik: negara yang semua tindak-tanduknya diatur oleh hukum. Hukum dibuat, ditegakkan, dan ditaati. Titik.
Padahal, kalau pemahaman kita hanya berhenti di situ, kita berhadapan dengan jurang bahaya yang akan membahayakan diri kita sendiri sebagai masyarakat sipil.
Coba kita bayangkan: sebuah negara di mana semua diatur oleh undang-undang, tetapi ternyata undang-undang itu hanya cerminan kehendak segelintir penguasa. Rakyat tidak punya suara, tidak bisa mengkritik, apalagi mengubahnya. Keputusan penting dibuat di balik pintu tertutup, tanpa ada ruang bagi aspirasi masyarakat sipil.
Dalam skenario ini, negara memang berbasis hukum, tapi apakah itu benar-benar Negara Hukum yang kita impikan selama ini? Hukum bisa jadi alat legitimasi penindasan, atau sekadar formalitas tanpa ruh keadilan. Kondisi buruk yang mengintai adalah legalitas otoriter, di mana penguasa bisa berlindung di balik payung hukum untuk melakukan apa pun, bahkan yang merugikan rakyat, karena ‘sesuai aturan’.
Baca juga:
Buruknya lagi, mereka bisa berbuat semena-semena sesuai keinginan mereka. Tatkala peraturan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, mereka bisa mengubah peraturan itu. Terlebih lagi kalau sampai dibuat menjadi PERPPU yang padahal sama sekali tidak ada kegentingan yang memaksa. Tapi karena alih-alih Negara Hukum adalah negara yang warganya harus tunduk dan taat terhadap hukum, akhirnya kita semua dipaksa untuk mengikuti hukum yang dibuat secara semena-semena oleh mereka.
Membedah Jebakan Formalisme Hukum
Inilah permasalahan utama yang perlu dibedah. Pemahaman yang sempit terhadap Negara Hukum berisiko menciptakan sebuah sistem yang legal di permukaan, namun justru menopang kekuasaan sewenang-wenang di dalamnya. Hukum Tata Negara, sebagai fondasi sistem hukum sebuah negara, harus bertindak sebagai penjaga kedaulatan rakyat, bukan sekadar cetak biru yang meligitimasi kekuasaan mutlak.
Pemikiran dari para ahli hukum seperti Brian Tamanaha memberikan pencerahan penting dalam memahami kompleksitas Negara Hukum. Meskipun Tamanaha sendiri mengkaji berbagai dimensi dan sejarah konsep ini, inti gagasannya menyoroti bahwa keberadaan hukum tertulis, atau sekadar Rule of Law—di mana hukum mengikat dan dipatuhi oleh setiap pejabat pemerintah serta seluruh warga negara—saja tidak cukup.
Menurut Tamanaha, prinsip Rule of Law—di mana hukum mengikat dan dipatuhi oleh setiap pejabat pemerintah serta seluruh warga negara—tidak akan pernah terwujud jika suatu sistem hukum memiliki ciri-ciri seperti: kurangnya transparansi (hukum tidak diketahui secara umum oleh masyarakat), ketidakmampuan warga negara untuk melaksanakannya, aplikasi yang tidak adil (hukum tidak diterapkan secara setara), atau ketiadaan mekanisme penegakan saat terjadi pelanggaran. Ia secara implisit menekankan bahwa fondasi yang kokoh bagi Negara Hukum yang substantif terletak pada interaksi antara struktur hukum formal dan partisipasi aktif masyarakat (democracy and legality consent determines).
Negara Hukum bisa kita ibaratkan sebagai sebuah bangunan, dan Hukum adalah kerangkanya: pondasi, tiang, dinding. Namun, partisipasi publik adalah “roh” yang mengisi bangunan itu, menjadikannya hidup dan fungsional.
Pertama, partisipasi publik memastikan akuntabilitas. Ketika masyarakat terlibat dalam proses pembentukan hukum—misalnya melalui pembahasan RUU di parlemen, dengar pendapat publik, atau bahkan unjuk rasa damai—mereka memiliki kesempatan untuk menyuarakan aspirasi dan kekhawatiran. Hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah fondasi pada partisipasi ini. Hal ini memaksa para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan dampak hukum terhadap kehidupan yang nyata pada masyarakat, bukan hanya sekadar teori saja.
Contoh konkretnya, ketika sebuah rancangan undang-undang lingkungan hidup hendak disahkan, masyarakat adat dan organisasi lingkungan dapat aktif memberikan masukan, memastikan bahwa hukum yang dihasilkan tidak hanya berpihak pada industri, tetapi juga melindungi hak-hak masyarakat dan keberlanjutan ekosistem. Tanpa partisipasi yang seperti ini, hukum bisa saja lahir dari ruang tertutup, jauh dari realitas sosial, dan ujungnya menjadi tidak relevan atau bahkan menindas.
Kedua, partisipasi membangun legitimasi hukum. Hukum yang dibuat secara partisipatif akan lebih mudah diterima dan ditaati oleh masyarakat. Rasa kepemilikan terhadap hukum itu muncul karena mereka merasa telah berkontribusi di dalamnya. Sebaliknya, hukum yang dipaksakan, sekalipun secara formal sudah disahkan, akan kesulitan mendapatkan kepatuhan sukarela.
Kita ambil contoh reformasi kebijakan pendidikan; jika guru, orang tua, dan ahli pendidikan dilibatkan dalam perumusannya, kemungkinan besar kebijakan tersebut akan diterapkan dengan lebih lancar dan efektif karena ada dukungan luas dari pihak-pihak yang berkepentingan. Legitimasi ini krusial untuk menjaga stabilitas sosial dan politik. Hukum Tata Negara menekankan bahwa legitimasi adalah pilar utama keberlangsungan suatu sistem hukum dan pemerintahan.
Baca juga:
Ketiga, partisipasi berfungsi sebagai mekanisme koreksi. Hukum, pada dasarnya, adalah karya manusia yang tak luput dari kekurangan. Ketika ada partisipasi aktif, masyarakat sipil bisa menjadi “mata dan telinga” yang memantau implementasi hukum, mengidentifikasi kelemahan, atau bahkan potensi penyalahgunaan.
Misalnya, setelah sebuah undang-undang otonomi daerah diterapkan, organisasi masyarakat sipil atau lembaga penelitian dapat melakukan kajian dan menyuarakan temuan tentang celah-celah korupsi atau ketidakadilan dalam pelaksanaannya, mendorong pemerintah untuk melakukan revisi atau perbaikan. Melalui partisipasi, seperti pengawasan media, organisasi masyarakat sipil, atau bahkan kritik individu, hukum dapat diperbaiki dan disesuaikan agar tetap relevan dengan dinamika sosial. Ini adalah siklus vital yang mencegah hukum menjadi usang atau bahkan menjadi alat tirani.
Mengapa Efisiensi Tanpa Partisipasi adalah Otoritarianisme Berkedok Hukum?
Beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa partisipasi publik justru bisa mengganggu efisiensi pembuatan dan penegakan hukum. Mereka mungkin khawatir bahwa “suara masyarakat” yang terlalu banyak bisa membingungkan, memperlambat proses, atau bahkan mengarah pada keputusan yang tidak rasional karena didorong oleh emosi sesaat (populisme). Argumen ini biasanya mengutamakan stabilitas dan ketertiban di atas segalanya, dengan berasumsi bahwa para pembuat hukum sudah paling tahu apa yang terbaik.
Namun, pandangan ini sangat mengabaikan esensi demokrasi dan hak asasi manusia. Efisiensi tanpa akuntabilitas dan legitimasi akan melahirkan otoritarianisme, bukan Negara Hukum. Hukum yang “efisien” namun tidak adil justru akan memicu ketidakpuasan dan kekacauan dalam jangka panjang.
Lalu pada kalimat “para pembuat hukum sudah paling tahu apa yang terbaik”, dirasa-rasa hanya omong kosong saja. Kenyataannya, hukum yang dibuat lebih sering menyejahterakan golongan mereka daripada menyejahterakan masyarakat (social welfare).
Sebagai contoh, negara-negara yang memprioritaskan “stabilitas” dengan menekan partisipasi seringkali berujung pada ledakan sosial ketika ketidakpuasan terakumulasi dan tidak ada saluran aspirasi yang sehat. Populisme yang ditakutkan pun seringkali justru muncul di tengah vakum partisipasi, ketika masyarakat merasa tidak didengar dan kemudian mencari jalan ekspresi yang lebih radikal.
Selain itu, partisipasi publik tidak berarti setiap orang harus terlibat dalam setiap detail pembuatan hukum. Justru, bentuk partisipasi bisa beragam: mulai dari konsultasi publik, penyampaian aspirasi melalui wakil rakyat, hingga kebebasan pers dan berserikat. Ini adalah mekanisme yang memungkinkan penyaringan dan artikulasi kepentingan secara terstruktur, bukan sekadar kerumunan massa yang tak terkontrol. Hukum Tata Negara modern justru mencari cara untuk menyeimbangkan efisiensi dengan prinsip-prinsip demokrasi partisipatif.
Partisipasi Publik, Denyut Nadi Negara Hukum Indonesia
Pemahaman Negara Hukum tidak boleh berhenti pada formalitas belaka—yaitu, sekadar adanya hukum yang dibuat, ditegakkan, lalu ditaati. Pemahaman sempit ini, yang disebut sebagai jebakan legalitas otoriter, berpotensi melahirkan rezim yang berlindung di balik payung hukum untuk melegitimasi kekuasaan sewenang-wenang dan menindas rakyat, bahkan melalui praktik seperti pembuatan Perppu tanpa kegentingan yang memaksa.
Mengutip pemikiran Brian Tamanaha, yang menegaskan bahwa keberadaan hukum tertulis atau Rule of Law saja tidak cukup untuk mewujudkan Negara Hukum yang substantif. Rule of Law yang sejati, di mana hukum mengikat pejabat dan warga negara, mustahil terwujud jika hukum tidak transparan, tidak dapat dilaksanakan, tidak diterapkan secara setara, atau tanpa mekanisme penegakan yang efektif.
Oleh karena itu, partisipasi publik adalah “roh” yang menghidupkan bangunan Negara Hukum. Partisipasi ini memastikan akuntabilitas pembuat kebijakan, membangun legitimasi hukum melalui rasa kepemilikan masyarakat terhadap aturan yang dibuat bersama, dan berfungsi sebagai mekanisme koreksi untuk memperbaiki kelemahan serta mencegah penyalahgunaan hukum. Meskipun ada kekhawatiran tentang efisiensi, efisiensi tanpa akuntabilitas dan legitimasi justru akan melahirkan otoritarianisme berkedok hukum, yang pada akhirnya memicu ketidakpuasan dan kekacauan.
Pada akhirnya, untuk mewujudkan Negara Hukum Indonesia yang sejati dan adil, dibutuhkan partisipasi publik yang aktif, kritis, dan bermakna. Tanpa partisipasi ini, Negara Hukum hanya akan menjadi fasad kosong, sebuah topeng legalitas yang menyembunyikan penindasan, mengikis legitimasi, dan menghancurkan kepercayaan pada sistem itu sendiri.
Adalah tugas kita semua sebagai masyarakat untuk terus mendorong dan melindungi ruang partisipasi publik, demi memastikan hukum di negara kita tercinta Indonesia benar-benar menjadi alat keadilan bagi seluruh masyarakat, bukan instrumen kekuasaan. (*)
Editor: Kukuh Basuki