Malam pertama ketika Tatang mati, semua anaknya berkumpul di rumah merundingkan biaya pemakaman bapak mereka. Jasad Tatang masih di rumah sakit, keesokan harinya baru akan dikuburkan, dan kematiannya yang celaka tak menyisihkan waktu buat anak-anaknya berduka.
“Kasih berapa besok buat yang nyolati?” Enong menatap wajah abang sulungnya dengan mukenah yang masih membungkus badan.
“Utang Abah berapa?” Wawan balik bertanya dan matanya menyorot ke adik keduanya.
“Banyak, gak ngitungin,” suara Dadang datar saja dengan bola matanya yang hitam dan dingin. Ia satu-satunya yang bisa diharapkan menjawab pertanyaan Wawan karena terus menemani kedua orangtua mereka di rumah. Sementara Naya yang masih bungsu baru masuk sekolah dasar, ia tak mengerti perihal uang, hidup, atau mati.
“Lima ribu cukup,” ucap Wawan. “Kalau yang datang kurang dari sepuluh, kasih lebih.”
“Buat yang ngaji gimana, Kak?” tanya Enong lagi.
“Biar Kakak sama Dadang aja yang ngaji,” timpal Wawan.
Dadang beranjak ke kamarnya tanpa berkata-kata. Di dalam sana, sang ibu memberi isyarat tangan agar jangan gaduh sambil menunjuk Naya yang sudah terpejam dan diselimuti.
Tak sampai semenit Dadang keluar kamar membawa bergepok-gepok amplop kecil dan segepok uang pecahan lima ribuan yang dikareti, lalu membaginya kepada kedua kakaknya yang duduk termenung. Ketiga bersaudara itu segera sibuk menyelipkan uang-uang ke amplop tanpa aba-aba. Mereka ingin cepat-cepat rampung dan beranjak ke tidur masing-masing.
Di kampung itu, kematian orang-orang miskin tak dirayakan dengan sedih atau bahagia, seperti tikus got yang tak sengaja tergencet ban mobil saat menyeberang jalan. Orang-orang hanya akan menghindarinya. Tak banyak yang akan datang melayat, menyolati, atau membacakannya tahlil. Sementara orang-orang kaya yang mati selalu ramai peziarah, tak peduli sebejat apa pun mereka selama hidup.
Di kampung itu, uang dapat membeli doa-doa dan mengantarkan kematian seperti wali Allah. Ketika keluarga Tatang memutuskan hanya memberi amplop sebesar lima ribu rupiah, mereka sudah pasrah takkan ada yang datang saat tiba giliran mereka mati.
“Amplopnya kurang,” bisik Enong dengan sisa beberapa lembar uang lima ribuan di tangannya.
“Segini saja cukup,” ucap Wawan sambil berlalu ke kamar ibunya. “Lagian besok siapa yang mau datang.”
Dadang merapikan amplop-amplop yang sudah terisi, mengikatnya dengan karet, dan meringkas sisa-sisa uang yang lecek ke dalam lipatan sarungnya. “Teteh tidur di kamar bareng Ibu aja,” ucapnya ke Enong sambil menyerahkan selilit amplop.
“Adek tidur mana?” tanya Enong. Dadang tak menghiraukan kakaknya dan melangkah keluar rumah. Ia hanya bergumam sendiri dan suaranya tak mencapai sang kakak.
Di halaman rumah mereka, beberapa pot bunga disusun seadanya bersanding kandang ayam. Rumah besar yang dulu mereka punya hanya tinggal sepetak. Tuan tanah menyita bagian depan hingga tengah rumah itu untuk melunasi sebagian utang Tatang. Ia masih berbaik hati menyisakan petak belakang rumahnya untuk dihuni keluarga Tatang agar tak menjadi gelandangan.
Sejak usaha travel bapaknya bangkrut, Dadang tak ingat kapan terakhir kali ia merasa sebagai orang punya dan hidup penuh kemewahan. Malam itu ia menatapi langit lebih lama dari biasanya. Sambil mengepulkan asap dari celah bibirnya yang kusam, ia berharap bintang-bintang berjatuhan dan menimpa sisa rumah yang ia punya beserta keluarganya yang masih hidup.
Dadang kembali masuk ke dalam saat angin malam mulai membuatnya menggigil dan penghuni rumah selain dia sudah lelap. Punggungnya berbaring di atas karpet merah yang sudah menipis dan dingin lantai sedikit menembus ke kulitnya. Telapak tangannya berkeringat dan rasanya seperti bekas kecap yang lengket di sela-sela jari. Tubuhnya lelah dan matanya sangat mengantuk, tetapi ia hanya bisa terpejam dan mimpi tak kunjung menjemputnya.
Ia menghitung hingga seratus lalu menyerah dan mulai berkhayal sedang merebah di padang sabana sambil menyimak semak-semak kering berderik ditiup angin. Mulutnya pelan-pelan menyenandungkan puisi Bunga dan Tembok yang tiba-tiba teringat.
Seumpama bunga, kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh. Seumpama bunga, kami adalah yang tak kau hendaki adanya.
Saat menyanyikan itu ia tak mengingat pemerintah atau rekan bisnis yang kabur membawa uang bapaknya. Ia hanya mengingat Tuhan dan menggugat-Nya sebelum tidur.
Kemarin malam Tatang masih ada di kamarnya dan bernyawa. Seandainya Dadang ditanya berapa harga nyawa bapaknya, ia akan menjawab tak berharga sama sekali. Jika itu besi rongsok bekas rel kereta, tentu ia akan menjualnya. Namun, tak ada yang mau membeli orang mati.
“Harusnya dia jual ginjal dulu sebelum bunuh diri, kehed!” suara itu terus memantul di kepala Dadang sepanjang malam.
Sewaktu mengaji dulu, ia pernah dibilangi gurunya kalau semua yang hidup punya alasan mengapa mereka dilahirkan, entah itu nyamuk, lalat, apalagi manusia. Ketika melihat bapaknya, Dadang tak pernah menemukan alasan itu. Dan pagi ketika ia menemukan bapaknya tak bernyawa dengan lidah menjulur kaku, ia semakin meragukan perkataan sang guru.
Dadang masih terngiang kala suara parau Naya menjangkau mimpi buruknya yang panjang pagi itu. Ia baru tidur menjelang jam tiga dan kelewatan Subuh seperti biasanya. Samar-samar terdengar suara adiknya menyebut Abah berulang-ulang.
“Kak, Kakak, Abah tidur gantungan di kamar,” kalimat itu yang pertama kali terekam sempurna di telinganya. Seketika nyawanya terkumpul dan punggungnya segera terangkat dari kasur. Ia tak lagi ingat mimpi buruknya semalam.
Kedua kamar di rumah itu saling berhadapan, dan saat Dadang membuka pintu kamarnya, pemandangan pertama yang ia saksikan adalah tubuh bapaknya yang tergantung dengan lilitan sarung hijau kotak-kotak di lehernya. “Naya panggil Ibu ya, Ibu di mana?”
“Ke pasar, Kak.”
“Naya susul Ibu ke pasar ya, bilangin dicari Kakak.”
“Naya mau sekolah, Kak.” Tangan kecilnya menarik celana pendek kakaknya gemetaran.
Dadang lalu memegangi kedua pipi adiknya dan membuatnya berpandangan dengan kedua matanya. Dilihatnya sang adik sudah rapi dengan rok merah selutut dan seragam putih lusuh. Naya bisa merasakan tangan kakaknya bergetar. “Hari ini libur dulu ya, Naya. Sekarang panggil Ibu, Kakak tunggu.”
Selembar kaus putih dan celana pendek membalut tubuh Tatang. Kakinya menggontai berjarak sekitar dua telapak kaki dari lantai. Bayangan jasadnya terpantul dari kaca di pintu lemari. Dilihat dari sisi mana pun, Tatang sudah tamat. Namun, Dadang masih juga mendekatinya untuk meraba pergelangan tangannya hanya untuk menemukan kekosongan yang menusuk. Baru sekali itu ia harus melihat wajah bapaknya dengan mendongak.
Sebelum ibu dan adiknya datang, untuk sesaat Dadang mendorong tubuh bapaknya hingga terayun pelan seperti bandul jam. Entah apa yang ia pikirkan, sebelum melirik ke tanggalan yang terpaku di dinding. Dua minggu lagi harusnya ia menikah. Hanya kurang dua minggu. Ia lalu mendorong kembali tubuh bapaknya yang dingin, kali ini dengan tangan terkepal.
Malam pertama ketika Tatang mati, Dadang terbangun sampai Subuh. Ketika menatap langit-langit rumahnya, ia melihat telapak kaki pecah-pecah bapaknya tepat di atas mukanya. Lalu ia menggoyangnya, lagi dan lagi, hingga azan Subuh menggema. Ia berdoa agar adiknya hilang ingatan atau tak pernah terbangun sama sekali. Ia baru bisa tidur selepas salat dengan berselimutkan sarung sebelum dibangunkan suara ayam yang bersahutan di luar. Jarum jam hampir menunjuk angka tujuh. Dilihatnya Naya sudah berseragam rapi dan menggendong tas bergambar Dora yang tak presisi.
“Naya mau ke mana?”
“Mau sekolah.”
“Hari ini libur dulu, ya.”
“Nanti Naya dimarahin Abah.”
“Nanti Kakak bilangin Abah.”
“Yah, Naya mau sekolah.”
Saat itu ibu mereka yang sudah menjanda keluar dari kamar dengan kerudung terusan. “Naya sarapan dulu, ya.”
“Mamah mau ke mana?”
“Nganterin adikmu sekolah.”
“Nanti jam sepuluh…”
“Iya, nanti sebelum jam sepuluh dijemput pulang.”
Suara minyak goreng mendidih terdengar ramai dari dapur. Enong sibuk memasak dan mengantarkan bau tumbukan rempah ke seisi rumah. Dadang masih mengantuk tetapi enggan tidur lagi.
Di halaman, kakak pertamanya sedang menyiram tanaman dan membuang abu rokok sembarangan. Dadang mulai menyalakan rokoknya sendiri dan memerhatikan ayam-ayam mematuki tanah.
“Acaramu jadi gimana, Dang?”
“Acara apa?”
“Nikahan.”
Dadang tak menjawab dan hanya menambah kepulan asap yang segera hilang dibawa angin. Kedua bersaudara itu lantas tak berkata-kata lagi. Hanya terdengar langkah kaki ayam, gemercik air, bara rokok yang terbakar tiap kali dihirup, dan suara motor mondar-mandir. Mereka berdua hanyut dalam permenungan masing-masing.
Wawan duluan masuk setelah menghabiskan tiga batang rokok dan perutnya minta makan. Sementara tiga ayam mengitari kaki Dadang dan sesekali mengetuk sandal jepitnya. Sambil melihat ke bawah, ia berpikir seandainya mereka punya seribu ayam, itu masih belum cukup untuk menutupi utang bapaknya yang keparat.
Ada orang gila ilmu, ada orang gila pangkat, tetapi setengah hidup Tatang ia habiskan untuk mengumpulkan berbagai macam pamor buruk. Di masa jayanya dulu, ia gila wanita dan berkali-kali menikah siri. Seperti utang bapaknya yang membukit, Dadang pun tak menghitung berapa saudara tirinya yang tersebar di seantero kampung.
Setelah ditipu temannya dan uangnya dibawa kabur ke Malaysia, Tatang mulai menjalankan bisnis travel umrohnya dengan sembrono. Gara-gara mulai terlilit utang, ia terus menggaet jamaah baru, lalu memakai uang mereka untuk menerbangkan jamaah yang belum berangkat. Siasat begitu bertahan tak lebih dari setahun sebelum banyak jamaahnya yang gagal umroh dan bisnisnya kian semrawut. Kantornya terpaksa tutup dan Tatang berakhir mendekam di penjara. Ketika bebas dari sana, ia hanya pecundang babak belur yang punya anak di mana-mana. Saudara-saudaranya minggat dan menjauh, hanya istri sah dan keempat anaknya yang bertahan.
Enong lalu menikah dan tak berapa lama disusul kakaknya. Rumah mereka yang tinggal sepetak makin terasa lega dan sepi. Tinggal Dadang lelaki yang masih bisa diharapkan di sana, sementara bapaknya betul-betul ampas yang hanya keluyuran ke sana kemari dan pulang menambah utang. Selama bertahun-tahun wajah Dadang bisa ditemukan di mana-mana, di minimarket sebagai kasir; di atas motor Shogun-nya mengantar paket dan penumpang ke mana saja mereka suka; di samping kursi supir pick up menemani tetangganya mengambil grosiran kain ke ibu kota; atau menjadi pelayan di warung. Hingga bulan lalu, ia memutuskan menikah dan meninggalkan rumah itu.
Hari ketika Dadang bilang ke bapaknya akan menikah adalah hari di mana sang bapak meminta uang tabungannya untuk bayar sebagian utang yang sudah diburu rentenir. Dadang masih hafal jawabannya saat itu. “Mending Abah mati aja.”
Tak disangka-sangka Tatang menelan ocehan anaknya bulat-bulat seperti obat. Dan ia melakukannya tanpa modal sama sekali kecuali nekat. Dengan sarung yang sama yang biasa ia pakai salat, digantungnya leher yang menopang kepalanya selama puluhan tahun di langit-langit kamar. Kamar yang sama yang ia pakai beranak-pinak hingga empat. Ia bahkan tak repot-repot berpikir buat beli racun atau skema bunuh diri lain yang butuh rencana cermat. Ia cukup menunggu kamarnya sepi setelah istrinya pergi menggelar lapak di pasar. Semua beres dalam hitungan menit.
Dadang baru selesai mandi ketika jasad bapaknya tiba di rumah untuk dikuburkan. Hanya Wawan seorang yang menjemputnya ke rumah sakit. Melihat tubuh bapaknya terbungkus rapat kain kafan, Dadang tak merasakan apa pun selain kemarahan yang berlipat-lipat. Dan seperti yang diperkirakan, tak lebih dari sepuluh orang yang datang menyolati jenazahnya di musola.
Amplop yang mereka siapkan semalam dibagi habis kepada tujuh peziarah yang ikut mengantar Tatang ke liang lahat. Istri Tatang tak menangis sepanjang jalan, air matanya sudah ia habiskan kemarin. Sementara Naya yang masih berseragam sekolah terus memegangi kaki ibunya dan bolak-balik bertanya mereka mau ke mana. Pertanyaannya hanya jadi riak-riak air yang mengganda dan segera menghilang.
Sesampainya di liang lahat, Dadang dan Wawan turun ke bawah sana bersama seorang tetangganya yang miskin. Dadang dalam hati bersyukur empat tahun silam ikut menguburkan jenazah ibu tetangganya itu. Bagi orang-orang bernasib sial, apalagi yang bisa diharapkan selain utang budi.
Ketika jasad Tatang diturunkan, kedua tangan Dadang menopang tepat di tengkuk bapaknya. Tak ada doa yang tersisa di hatinya. Ia hanya menggerutu mengapa pecundang seperti bapaknya masih terasa begitu berat bahkan setelah mati. Seketika ia merasa bisa memaklumi para pembunuh, sebab bobot nyawa manusia memang seenteng itu.
Dadang ingat bertahun-tahun lalu ia pernah membaca kisah Utsman, menantu Nabi Muhammad, yang dibunuh dan jenazahnya terpaksa dikubur di pemakaman Yahudi. Sebagian orang menganggapnya pemimpin lalim hingga jenazahnya ditelantarkan tiga hari, dan sebelum dimakamkan, konon ada orang yang begitu jengkel dengannya hingga mematahkan jari kaki Utsman yang sudah tak bernyawa. Ketika Dadang melihat wajah bapaknya tepat di depan kakinya, ia merasa bapaknya lebih pantas menerima semua itu. Andai tak ada yang melihat, mungkin Dadang akan mematahkan semua jari bapaknya dan tak akan merasa puas. Namun, niatnya hanya mengendap seperti lumpur sejak semua peziarah yang datang bisa menyaksikannya dari atas lubang kubur.
Pemakaman Tatang berjalan begitu sepi, begitu singkat. Beberapa orang yang menyaksikan hingga nisannya terpasang menangis, tetapi bukan karena kepergiannya. Diawali oleh Naya yang tiba-tiba menangis, dan tangisannya pertama kali disadari oleh Enong yang berdiri di sebelahnya, lalu kesedihan itu menular seperti melihat orang menguap. Enong dan ibunya bergegas pergi menggenggam tangan Naya dari kedua sisi, dan para peziarah satu per satu berbalik memunggungi kubur Tatang. Dari 14 tersisa 11, lalu tujuh, lalu empat, lalu tiga, lalu dua, lalu tinggal Dadang seorang.
Jika Dadang ditanya kapan pemakaman terasa paling sepi, ia akan menjawab sehabis orang mati dikubur dan orang-orang beranjak pulang. Ketika ada gundukan tanah baru yang masih basah dibasuh kembang. Saat itu kematian hanya menyisakan rasa pahit di ujung lidah yang tak lekas sirna. Dan pemakaman jadi tempat paling tak menyenangkan di dunia. Dadang hanya berdiri di sana seperti fisikawan memikirkan rahasia alam semesta, atau penulis kehabisan ide yang berkali-kali gagal lolos sayembara. Ia berhenti menghitung berapa waktu yang dibutuhkan sebatang rokok yang dihisapnya sebelum habis. Sambil mengotori pusara bapaknya dengan abu rokok, saat itu ia hanya berpikir akan menghajar siapa saja yang bilang kalau bunuh diri adalah pembunuhan.
Ketika mendapati kotak rokoknya tak menyisakan apa pun selain kertas foil perak yang berkerut, ia baru menyadari seorang perempuan berdiri di sebelahnya, berkemeja rapi dengan riasan tipis dan aroma parfum lavender.
“Aku terlambat datang, ya?”
Dadang menggeleng pelan. “Lagian orang mati juga gak peduli.” Ia melumat kotak rokok yang kosong hingga hilang di kepalan tangannya, lalu melemparnya ke atas kembang-kembang yang bertaburan. Tanpa mengucapkan selamat tinggal, kakinya melangkah menjauh.
“Acara kita gimana?” suara perempuan itu menghentikan Dadang berjalan lebih jauh.
“Acara apa?”
“Nikahan.”
Keempat mata mereka bertemu, dan sepasang kekasih itu hanya menemukan kehampaan yang pekat.
“Cari orang lain saja. Bilang bapakmu, uangku udah habis buat bayar utang.”
Setelah mengucapkan itu, Dadang bergegas pergi dan tak ada lagi yang bisa menghentikan langkahnya.
***
Editor: Ghufroni An’ars