Kami melihat manusia sebagai gunung yang bergerak dengan sungai-sungai yang mengalir di sekujur tubuhnya. Terkadang mereka terlihat meringkuk ditekuk sepi. Jadi kami datang ke sini untuk meramaikan hidup mereka sekaligus menyambung hidup kami. Dan lihat! kami hadir bersama riuh suara baru di rumah ini; tepukan, umpatan, dan teriakan. Bahkan tak jarang suara-suara itu saling saut: di sini menepuk, di sana memaki, di kamar ini ada jeritan, di ruang lain ada raungan.
Semua bisa terjadi seharian dan terus berlanjut. Kami turut lega kesepian tak lagi bergulir di hadapan mereka, meskipun kami was-was juga. Kini setiap hari, mereka jadi punya satu kebiasaan: memburu dan membunuh kami. Perburuan mereka itu jadi tak kenal waktu. Kematian pun bisa menimpa kami kapan saja, kalau mereka mau.
Mungkin kau butuh tahu, nama lelaki yang semalam suntuk menatap cahaya persegi itu Ambo. Kami sering mendengar namanya disebut oleh manusia lain—seorang anak perempuan yang tidur di kamar tengah. Kami tak tahu apa sebenarnya tujuan hidup manusia seperti Ambo. Setiap malam dia hanya bertatapan dengan cahaya, menggeletukkan jemari lalu sesekali menggaruk kepala. Namun kami suka kebiasaannya. Dia jarang mandi. Kalaupun mandi, selalu pakai baju yang itu-itu saja. Dia juga tak hirau dengan kawanan kami yang gemar menimba air di perigi kecil tubuhnya. Kadang dia seperti gunung batu saja, tak bergeming meski dikerumuni. Mungkin apa yang ada di balik cahaya itu, berhasil menyerap seluruh pedulinya. Untung saja itu tak menyurutkan air di tubuhnya.
Dari penuturan para peri perempuan, air sungai di tubuh Ambo terkadang hambar, terkadang juga punya getir yang muncul sesaat setelah diteguk.
“Aku sering mendapatinya minum cairan hitam, mungkin itu penyebabnya,” kata seorang peri.
“Ah, mata air di tungkainya lumayan segar, kok. Sesekali kutemani kau ke sana,” peri yang lain ikut menimpali. Enteng sekali mereka mengatur siasat yang kemungkinan mematikan.
Namun jangan kau beranggapan aneh, kau akan sedikit keliru kalau begitu. Kami sudah sekonyong-konyong begini. Jenis peri yang memang unik. Di perkumpulan, peri perempuan-lah yang suka pergi mencari air. Kami yang laki-laki cuma punya tugas membuahi. Pun kami juga akan mati sebelum air itu tercukupi.
Setiap musim lahir, hanya ada anak peri yatim yang juga serupa dengan kami. Maka wajar peri seperti kami ini punya hidup yang riskan; peri Perempuan bisa terbunuh dalam pencarian air, serta peri laki-laki tak berumur panjang. Meski begitu, kami tak pernah merisaukan hidup. Kami peri yang periang; selalu siap mati.
Kami tetas seminggu lalu, di wadah gentong yang lapang dan dalam seperti laut. Lalu ketika sayap peri kami siap kepak, kami beralih ke bangunan reyot dari kayu. Tidur di balik tumpukan kain-kain lusuh; ada yang putih gading berenda, ada juga kain lembut dengan corak ornamen lengkung. Taksiran kami, bangunan itu lama tak dijamah tangan manusia, mungkin kain-kain itu tak pernah dibentang lagi sekian tahun.
Sejak tetas sampai hari ini, rumah Ambo jadi semesta kami. Tentu semesta peri lebih kecil dari semesta manusia. Jika semesta kami adalah rumah Ambo, kami tak bisa bayangkan seluas apa semesta Ambo dan manusia yang lain. Tapi seluas-luasnya ranah manusia, Ambo hanya berputar di sekitaran rumah saja, seperti bintang tua yang mengorbit di jalur yang sama. Bahkan kadang hanya mengitari ruang tengah. Ah, apa manusia juga peri seperti kami? Hanya saja dalam bentuk yang lebih besar dan tidak bersayap.
Dari sekian manusia di rumah ini, Ambo jadi yang paling kami kenal. Sebab, dialah yang pertama kali kami jumpai. Sejak itu dia jadi buruan setia peri perempuan yang dahaga.
Jangan kau kira mahluk seperti kami ini tak pernah bersyukur. Kami lapang menerima, walau hanya diberi nikmat seperti Ambo adanya. Kami yakin ada seseorang dengan tampuh kuasa di atas semesta—baik Dia milik peri atau manusia. Mungkin Dia yang mengatur jalan hidup dan kematian.
Oleh karena itu kami tak pernah khawatir kalau saja sungai di tubuh Ambo dan manusia lain tiba-tiba kering, sehingga kami dipaksa haus dan berakhir mati. Sungguh kami tak pernah risau akan hal itu.
Ambo tak seperti manusia lain di rumah ini. Dia manusia yang terkesan pendiam. Pernah sekali dia mengerang keras. Itupun saat kelingking kaki kanannya bercumbu dengan sudut kaki meja. Setelah itu tak pernah lagi. Mungkin karena ada erangan yang lebih nyaring dari arah kamar. Munah, istrinya itu punya mulut yang lebih lebar untuk berteriak. Kami selalu waspada kalau melintas di depannya. Mulut besarnya itu seperti bisa menyedot apa saja yang ada di hadapannya.
“Berisik!” Munah menyahuti teriakan Ambo kala itu. Sontak Ambo termangu dan tatapannya kembali tenggelam ke dalam cahaya persegi.
Sejak tinggal di sini, tak melulu kami paham alasan amarah manusia, apalagi manusia seperti Munah. Istri Ambo itu sering sekali marah-marah. Beda sekali dengan peri perempuan kami. Persamaan mereka mungkin hanya pada hal menimba. Peri perempuan menimba di lembah tubuh manusia, sedang Munah menimba air dan makanan di ruangan yang mereka sebut dapur.
Air yang diteguk Munah juga sering dipakainya mandi, dia tak seperti Ambo yang pemalas. Jadi aroma Munah tak terlalu kami sukai. Dia adalah seburuk-buruk lembah, dan sekeruh-keruh air sungai. Lantas Munah juga jarang berada di rumah. Sehabis mandi dan duduk bersolek, dia sering pergi ke luar. Lalu dia pulang saat gelap turun dengan warna bibir yang lebih basah.
“Aku mau pisah. Titik!” kata Munah suatu waktu kepada Ambo yang tengah duduk di kursi favoritnya. Sontak Ambo mengemas lamunan dan menanggapi.
“Bagaimana dengan mereka?”
“Persetan! Kaukira aku sampai hati meninggalkan mereka? Mereka ikut aku.”
Ambo yang terlihat kesal berbalik memunggungi Munah, menjambak rambutnya sendiri. Ada seorang peri yang hinggap, dan tak sengaja dibunuhnya waktu itu. Kami kehilangan seorang kawan lagi, dan itu sudah wajar.
Selain Ambo dan Munah, di rumah ini ada beberapa manusia lain. Di kamar depan seorang anak laki-laki yang baru saja kami tahu punya kebiasaan yang kurang lebih sama seperti Ambo. Semalaman dia berhadapan dengan cahaya persegi, tapi miliknya lebih kecil. Dia dan cahaya itu punya beragam suara aneh, terkadang berdesah, berdesis, lalu ujungnya anak laki-laki itu mengerang juga.
Beberapa kali dia juga mengumpat. Setelah salah seorang kawan kami menimba di sungai tubuhnya. Anak itu menepuk lengannya dengan kesal, dan membuat cahaya di genggamannya jatuh ke lantai.
“Asu!” kami tak tahu apa artinya, tapi kami tahu dia sedang marah.
“Mampus kalian,” dia melanjutkan ucapannya sambil membakar lempengan hijau yang bentuknya melingkar-lingkar.
Saat itu muncul kabut asing yang berarak dari bekas bakaran. Kawanan kami beterjunan. Ada beberapa yang tak sanggup lagi mengepak, seakan lumpuh seketika. Mereka menabrak bangunan sekitar dengan serampangan. Kami diterpa badai yang menggulung banyak jiwa. Banyak mayat peri tekapar. Betapa bengis manusia kepada peri seperti kami ini. Padahal kami hanya ingin menimba air di sungai. Namun kami ingat, kami hanya peri yang mungkin bagi mereka sudah selayaknya mati.
Kawanan peri perempuan kami trauma sejak saat itu. Mereka tak lagi pergi ke lembah anak laki-laki di kamar depan. Beberapa ada yang setia dengan Ambo, sebagian lagi adalah mereka yang sudah bosan dan ingin mencari seluk sungai lain. Atau setidaknya kuala dengan air yang segar dan tak terlalu deras.
Pergilah mereka ke kamar tengah, ruangan yang dihuni seorang anak perempuan. Ruangan yang juga sering dikunjungi Ambo selain ruang tengah. Kerap Ambo menemani si anak perempuan. Tidurnya sering kali diantar dongeng-dongeng. Dari sana juga kami mendengar bahwa Ambo bercerita tentang peri.
“Kalau gigimu tanggal, simpan saja di bawah bantal. Kalau pagi gigimu sudah tak ada, itu tandanya semalam peri gigi datang mengambilnya. Nanti mereka akan mengganti gigimu dengan gigi yang lebih kuat. Asalkan rajin disikat, ya!”
“Biar tak kuning seperti punya Ayah, ya?”
“Anak nakal.”
Ambo bergurau dan menutup dongengnya dengan sebuah kecupan yang mendarat di dahi si anak perempuan. Kami tak mengenal suasana asing seperti itu. Yang kami lihat di sana ada tatapan yang hangat. Sesuatu yang lebih sering dicurahkan Ambo kepada anak perempuan itu, ketimbang kepada Munah.
***
“Baiklah, dua ratus juta.” Ujar Ambo entah kepada siapa. Kami hanya melihatnya menempelkan sebuah benda ke kupingnya lalu berbicara tentang tawaran.
Selumbari, Munah dan dua orang anak penghuni rumah ini pergi dan tak pernah muncul lagi. Hanya Ambo sendiri. Dia sudah tak bertatapan dengan cahaya persegi lagi. Dikunjunginya bangunan tempat tinggal kami, membuat para peri kocar-kacir. Diambilnya kain dengan corak ornamen lengkung lalu digelarnya kain itu di atas lantai.
Ambo berdiri dan menumpangkan kedua lengannya di perut. Beberapa jenak dia bergerak dengan gerakan yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Sampai tengah malam tiba, dia duduk dengan kaki bersilang. Tiba-tiba di wajahnya, merabas air yang ganjil bagi kami. Air itu terus meliuk sampai jadi sungai. Untuk kedua kalinya, kami melihat Ambo mengerang kesakitan. Namun apa daya peri seperti kami, umur kami hanya sampai hari ini.
***
Editor: Ghufroni An’ars
terima kasih ceritanya kak, suka sekali :’)
terima kasih juga sudah membaca cerita saya. senang sekali bisa menghibur