—untuk Utuy Tatang Sontani
Pria itu hanya bisa meringkuk di bawah lantai, keadaannya persis seperti ketika dia masih dikandung badan. Awalnya, dia masih berada di atas ranjang dengan selimut yang membalut sekujur tubuhnya, sebelum akhirnya terguling karena berulang kali sesuatu terasa menubruk dadanya. Kini, di lantai flatnya yang telah dilapisi karpet agar memberikan rasa hangat, tubuhnya malah bergetar luar biasa.
Dia merasakan hawa dingin—sedingin tugu-tugu yang berdiri angkuh di kota tempat tinggalnya—menusuk-nusuk lapisan tulangnya. Tetapi, hawa dingin itu tak mampu menahan keringat yang mulai merembes dari pori-pori kulitnya. Dipeluk tubuhnya dengan tangan kirinya, berharap tangan itu dapat menguarkan sedikit rasa hangat. Sedang tangan kanannya terus mencengkeram bagian dada kirinya. Dari sana, datang rasa nyeri yang luar biasa, seakan ada sesuatu yang berusaha keluar secara paksa.
Kepalanya terasa berputar. Kini, dia sudah tak bisa membedakan mana yang nyata, mana yang hanya ilusi semata. Dalam keadaan payah seperti itu, matanya mencoba menggapai langit-langit flatnya—mencari secercah harapan yang tertinggal di atas sana. Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Dalam posisinya sekarang, dia malah mendapati bayangan seekor gagak menari-nari seraya mengaok di langit-langit flatnya. Nada-nada sumbang yang keluar dari paruh burung itu, tak ubahnya musik pengiring di hari kematian.
Dipejamkan kedua matanya, lalu dibukanya kembali. Dia lakukan kegiatan itu berulang kali, berharap bayangan gagak itu menghilang ketika dia membuka mata untuk yang kesekian kali. Terakhir, dia sempat memejamkan matanya agak lama sampai nada sumbang itu tak lagi menggerayangi telinganya. Tetapi, hal itu tak bertahan lama. Ketika ujung matanya menangkap bayangan gagak itu tengah mengintai di atas lemari pakaiannya, badannya kembali bergetar tak keruan. Akhirnya, dia kembali memejamkan kedua matanya, berharap di dalam kegelapan menemui suatu ketenangan yang dapat menjadi pegangan.
Dalam kegelapan, dia mendapati serpihan-serpihan kenangan berjejal di dalam kepalanya. Bukan kenangan ketika dia memutuskan turun sebelum sampai di tujuan sebenarnya, ketika menaiki kereta api Trans-Siberia. Bukan pula kenangan ketika dia memutuskan untuk menggelandang di tengah dinginnya udara kota Moskow. Ataupun kenangan ketika dia masih menjadi salah satu anggota komune di sebuah desa tak jauh dari kota Peking. Kenangan itu tak ada di sini, dia tidak terpancang di dinding flat sewaannya, membekas di salah satu kemejanya, atau tercecer dalam perjalanan pulangnya sehabis mengajar dari universitas.
Kenangan itu jauh melampaui batas benua, beratus-ratus kilo jarak tempuhnya, menyeberangi luasnya samudra. Kenangan yang berasal dari sebuah tanah yang basah, tetapi matahari terasa hangat membasuh di atas kepala. Sebuah tanah, di mana daun-daun jambu di halaman memancarkan cahaya berkilauan sehabis diguyur derasnya hujan, angin sepoi berembus membuat rumpun ilalang menari-nari gemulai, nyanyian jangkrik digantikan kicau burung yang riuh—menandakan hari baru akan segera dimulai.
Kenangan itu sungguh manis adanya, tak terasa seperti ketika dia mesti menelan beberapa butir aspirin untuk meredakan nyeri di dalam dadanya. Tetapi, ketika kenangan itu mendapati sesuatu menghalangi jalan keluarnya, dia akan berubah menjadi rindu yang membuncah-buncah di dalam dadanya, lalu berbalik merongrong isi kepalanya. Dia mau saja membiarkannya keluar melalui kedua matanya. Tetapi hasrat itu sudah lama dibunuhnya, atau terbunuh dengan tidak sengaja. Sebab, sudah lama rasanya air mata tak sanggup lagi untuk membahasakan perasaannya.
Sebenarnya, dia juga bisa membagikan kenangan itu kepada salah seorang rekan mengajarnya di universitas, agar kenangan itu tak lagi membebani isi kepalanya. Sekali, dia pernah melakukan itu. Bahkan, dia sempat menunjukkan sebuah potret berwarna yang telah lama tersimpan di dalam dompetnya. Tetapi, rekannya hanya bisa menjadi pendengar yang baik, sebab tak ada satu pun jalan yang bisa diusahakan. Atau, dia bisa membagikannya kepada beberapa rekannya yang bernasib sama dengannya, yang bertebaran di beberapa kota di Eropa. Tetapi dia tahu, semua rekannya pun memikul beban yang sama, maka dia tak mau lagi menaruh bebannya di atas punggung mereka.
Lantas, sekembalinya ke flat, yang tersisa hanya kekosongan di dalam dada. Kosong, sekosong-kosonganya. Bahkan, dia bisa merasakan udara dingin berembus melewati lubang yang muncul di dalam dadanya. Jika sudah seperti itu, biasanya dia akan bergegas menaiki ranjang. Dia akan menarik selimut, dan berusaha untuk memejamkan kedua matanya, meski sulit. Kalaupun dia bisa tertidur, tidurnya pun tidak akan terasa nyaman. Sebentar-sebentar dia akan terjaga dengan rasa kosong yang sama menguasai dada. Dan, tak bisa kembali memejamkan mata sampai matahari mencari celah di ujung jendela.
“Kau jangan mati dulu, ya, Wal. Aku akan datang lagi ke sini bersama keluargamu.” Gurauan itu kembali menggema di dalam kepalanya.
Dia tersentak. Kedua matanya membelalak, mengarah ke atas lemari pakaian—tak ada bayangan gagak di sana. Dicengkeram lagi dadanya erat-erat, kali ini ada yang terasa memelintir jantungnya.
“Aaaaaargh!”
Terdengar lirih erangan dari mulutnya yang megap-megap, persis seekor ikan dalam kolam. Buih-buih kecil berkumpul di ujung bibirnya. Berulang kali dia mencoba menarik napas agak panjang. Tetapi selalu terputus seakan ada batu yang menghalangi saluran pernapasannya.
Dengan sisa-sisa tenaga, dia mencoba untuk membaringkan badannya. Kemudian, tangan kanannya meraih sesuatu yang ada di ujung ranjangnya. Kerut-kerut yang terbentang di wajahnya tampak terlihat tegas, sebab dia juga sedang meringis—menahan kesakitan. Susah payah tangan itu meraba-raba, sampai akhirnya menemukan yang dicarinya. Diraihnya benda itu, lalu tubuhnya kembali meringkuk persis seekor udang di dalam mangkuk.
Dipandanginya benda itu dengan kedua bola mata yang telah tenggelam seutuhnya oleh air mata. Ada perasaan hangat di sana yang membuat tubuhnya sejenak berhenti bergetar. Perlahan, air mata mulai merembes dari ujung matanya, karena kantung matanya sudah tak sanggup menampungnya. Dan, ketika dia memutuskan untuk berkedip, serentak air mata itu buyar. Mereka turun perlahan, membentuk beberapa aliran yang berkelok-kelok menyesuaikan kerutan di wajahnya: ada yang berjatuhan di lantai, ada yang habis—tertahan di sekitar pipi.
Semestinya, tak lama lagi kenangan yang telah lama membatu menjadi rindu itu dapat segera dikeluarkannya, meski tidak seluruhnya. Namun, pada akhirnya, dia hanya bisa memejamkan kedua matanya, lalu menyilangkan kedua tangannya—mendekap benda yang memancarkan rasa hangat itu erat-erat dalam dekapannya.
***
Untuk Awal di Moskow.
Semestinya, ketika surat ini sampai ke tanganmu, kau sudah pulang dari rumah sakit. Karena menurut pengakuan dokter yang merawatmu, kondisimu beberapa hari ke depan sudah memungkinkan untuk pulang. Kalaupun ada satu lain hal yang membuat kepulanganmu tertunda, aku berharap itu bukan hal yang fatal. Yang pasti, aku akan selalu berdoa agar kondisimu baik-baik saja.
Dalam surat ini, mungkin aku hanya akan sedikit menceritakan kejadian setelah kepulanganku menemuimu di Moskow. Sore itu, setibanya pesawatku di Jakarta, aku tak langsung pulang ke Sumedang. Aku menginap semalaman di rumah kerabat, lalu esoknya berkunjung ke kediaman keluargamu di Jatinegara. Di teras rumah, keluargamu—istri dan kedua anak laki-lakimu—telah menunggu dengan tidak sabar untuk mendengar kabarmu. Namun, pertama-pertama kuberikan dahulu beberapa lembar potret dirimu yang kuambil di rumah sakit kepada mereka.
Dengan tangan yang tampak gemetar, istrimu meraih seluruh potret yang kujejalkan kepada mereka. Tak lama kemudian, suara tangis pecah dari mulutnya. Dia juga hampir tersungkur dari tempat duduknya, kalau saja kedua anak laki-lakimu tidak sigap memapahnya. Entah, aku tak yakin dia menangis bahagia karena tahu kalau kau masih hidup, seperti ketika aku berhasil bertemu denganmu setelah sekian lama. Atau dia sedih karena mendapati dirimu terbaring di ranjang dengan selang infus menancap di punggung tangan.
Yang pasti, ketika melihat itu, aku pun tidak bisa tidak, ikut terbawa suasana sendu. Ada yang terasa meluap-luap di dalam dadaku. Dengan cepat, air mata telah naik dan mengembang di kedua mataku. Tetapi aku tak bisa terus berlarut-larut dalam kesedihan. Mestinya aku seperti kedua anak laki-lakimu—ikut menguatkan istrimu. Maka, cepat-cepat kuangkat kaca mataku, lalu kuseka air mata itu dengan sapu tanganku, sebelum mereka sempat melihatnya.
Untuk beberapa saat aku hanya bisa duduk termangu di salah satu bangku di teras rumahmu, seraya memandangi air mata yang meleleh di kedua pipi istrimu. Sedang kedua anakmu berusaha menenangkannya dengan memberi tepukan di bahu dari sebelah kiri dan kanan. Sesekali ada suara bujukan dari salah satu anakmu yang memintanya untuk menyudahi tangis. Aku bingung harus bagaimana, maka kupasang wajah yang terlihat tegar, meski hatiku terasa tersayat-sayat tiap mendengar tangisannya yang disertai sesenggukan. Kubiarkan dia mengeluarkan seluruh emosi yang telah lama dipendamnya—terkait keberadaanmu.
Ketika kurasa istrimu sudah cukup tenang dan bisa mengendalikan dirinya, baru aku menceritakan tentang kabarmu: bagaimana kondisi kesehatanmu, di mana tempat tinggalmu, di mana kau bekerja, bagaimana kau bisa sampai di Moskow karena yang dia tahu kau mestinya ada di Tiongkok untuk berobat. Waktu itu aku merasa seperti seorang dosen yang tengah mengisi suatu kuliah umum, karena mereka mendengarnya dengan sangat antusias tanpa sedikit pun mencoba untuk menyela tiap kata yang terlontar dari mulutku. Terakhir, untuk meringankan rasa dukanya, kuuturakan rencana yang telah kubicarakan dengan Doktor Sikorsky untuk mengajak mereka pergi ke Moskow menemuimu.
Mendengar itu, istrimu lantas menyeka air matanya, dan tatapannya tampak berbinar-binar. Tatapan itu, bagaimana aku menjelaskannya, ya. Aku merasa setelah sekian lama tatapan itu telah menemukan harapannya kembali. Sebab, telah lama aku tak melihatnya seperti itu. Setelah kepergianmu yang tanpa kabar, tiap kali aku mengunjungi keluargamu, kedua bola mata istrimu selalu menampakkan tatapan yang redup, meski dia mencoba menyambutku dengan senyum yang hangat. Mungkin, terakhir kali aku melihat tatapan yang penuh harap itu ketika kau bersamanya mengunjungi rumahku di Sumedang, tak lama setelah kalian melaksanakan pernikahan.
Oh, iya, Wal. Jika kau rindu ingin mengirim surat kepada mereka, khususnya kepada istrimu. Kau bisa menitipkannya melalui Doktor Sikorsky. Sebab, aku takut suratmu tak sampai kemari jika kau lantas mengirimkannya begitu saja. Mungkin itu saja yang bisa kusampaikan kepadamu. Aku harap kau bisa menjaga kondisi badanmu, agar aku dan keluargamu bisa berjumpa di sana ketika Olimpiade Moskow pada musim panas digelar.
Kawanmu,
Arip.
***
“Sudah kau periksa nadinya?” tanya suara di ujung telepon.
“Sudah kuguncang berkali-kali tubuhnya, dan berteriak di samping telinganya.”
“Mungkin dia hanya pingsan. Coba kau periksa dulu urat nadinya.”
Dia menggumam pendek seraya mengangguk-angguk seakan suara di ujung telepon dapat melihatnya. Lantas, digeletakkannya gagang telepon itu di atas meja, lalu dia melangkah ke arah pria yang tengah berbaring di lantai, seperti jasad seekor kecoak.
Seperti tadi, dia kembali merundukkan badannya untuk memudahkannya meraih salah satu tangan pria itu. Meski dia bisa merasakan hawa dingin—sedingin daging yang baru dikeluarkan dari dalam lemari es—menjalar di permukaan kulit pria itu. Tetapi, dia mencoba untuk memastikan kembali dengan merapatkan kedua jarinya ke area pergelangan pria itu.
Wajahnya merengut, dengan kedua mata saling memicing. Dia tengah mengerahkan seluruh pancaindranya. Tetapi, hampir satu menit meraba-raba, dia tak mendapati tanda-tanda kehidupan yang ada di sana. Wajahnya berubah memelas dan bertambah pucat, persis seseorang yang baru saja melihat penampakan hantu yang datangnya sekelebat. Dengan tangan hampa, dia bangkit menuju telepon di atas meja, dan merapatkan kembali gagang telepon ke telinganya.
“Bagaimana?” tanya suara di ujung telepon—meminta kepastian.
“Ah… sudah kuraba,” jawabnya. “Tetapi aku tak dapat merasakan denyutnya.”
“Duh…” Terdengar semacam keluhan di ujung telepon.
“Sekarang bagaimana?” desaknya.
“Tunggu sebentar.”
Tak kehabisan akal, suara di ujung telepon kembali memberikan sebuah jalan keluar.
“Ah, iya. Begini saja. Sekarang coba kau ambil cermin, lalu dekatkan ke arah hidungnya. Jika meninggalkan bekas embun, kemungkinan dia hanya pingsan.”
Dia menghela napas panjang—yang dapat didengar oleh suara di ujung telepon. Meski merasa keberatan, tetapi kepalanya tetap menyetujui apa yang dikatakan suara di ujung telepon. Karena jauh di dalam dirinya, dia masih tidak percaya pada apa yang sedang dilihatnya.
“Baik. Tunggu sebentar, jangan kau tutup dulu teleponnya.”
“Ya, cepatlah.”
Untuk yang kesekian kali, dia kembali menggelatakkan gagang telepon di atas meja, dan segera menebarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. Tampak sebuah kerutan disertai bulir-bulir keringat menjulur di keningnya. Kedua matanya mendelik, persis seekor bunglon yang tengah mencari mangsa. Ah, tak ada satu pun cermin yang tergantung di dinding, apakah kawannya tidak pernah bersolek di depan cermin?
Dengan langkah-langkah besar, dia lantas menuju meja kerja yang ada di sudut ruangan. Di bawah meja sebelah kanan terdapat 3 buah laci. Dibuka satu per satu laci itu dengan tangan yang cekatan, persis seorang pencuri yang tengah mencari barang berharga. Setelah menggeratak seisi laci dengan napas yang terdengar saling memburu, dia hanya mendapati alat-alat tulis, serta puluhan lembar kertas dipenuhi kalimat yang diketik dengan cukup rapi.
Tanpa menutup kembali laci itu, dia lantas memasuki kamar mandi. Di sana, dia mendapati sebuah cermin usang berbentuk persegi yang berukuran agak sedang. Di bagian permukaan, terdapat kerak-kerak bekas cipratan air sabun atau pasta gigi yang tak pernah dibersihkan. Untuk sejenak, dia dapat mengembuskan napas dengan lega. Tak ingin membuang-buang waktu, dia segera mencopot cermin yang menggantung di atas wastafel itu.
Dia kembali memasuki kamar dengan mengempit cermin di ketiak kanan. Seperti yang telah diperintahkan, dengan kedua tangan, dia mulai merapatkan cermin ke wajah pria itu, wajah yang tampak pucat seperti seorang penderita anemia. Selama hampir satu menit melakukan perintah itu, dia dapat mengendus keheningan menguasai udara di tiap sudut ruangan. Sebab, hanya suara dengus napas keluar masuk melalui lubang hidungnya yang dapat ditangkap oleh kedua telinganya. Dan, selama itu juga, kedua matanya tak mendapati seberkas embun yang terperangkap di salah satu sudut permukaan cermin yang tengah dipegangnya.
Seketika dia dapat mendengar degup jantungnya berdetak lebih kencang. Buru-buru dia meraih kembali gagang telepon yang ada di atas meja, tanpa mengembalikan cermin itu ke tempatnya semula.
Tanpa menyilakan suara di ujung telepon menyelanya, dia lantas berkata lebih dulu.
“Sudah kuperiksa dengan cermin.”
“Bagaimana hasilnya?”
“Sama sekali tak ada bekas embun.”
“Serius? Sudah kau diamkan sampai lima menit?”
“Tak sampai lima menit, tapi sudah kupastikan tak ada embun yang menempel di permukaan cermin.”
“Waduh!”
“Hah?”
“Gawat!”
“Maksudnya? Sekarang bagaimana?”
“Sekarang kau telepon pihak rumah sakit, aku akan datang ke sana tidak lama lagi.”
“Ya, lekaslah datang kemari.”
Akhirnya, setelah berulang kali digeletakkan, gagang telepon itu kembali ke tempatnya semula. Agak lama dia berdiam diri, lalu menarik napas cukup panjang. Kepalanya terasa berat karena kesulitan mencerna apa yang telah terjadi. Badannya sempat goyah, kalau saja kedua tangannya tak tertopang pada ujung meja. Disekanya keringat yang telah membanjir di keningnya. Kali ini, dia tak langsung menuruti perintah suara di ujung telepon. Untuk beberapa waktu, dia hanya memandangi sosok pria yang sudah dipastikan tak bernyawa itu dengan tatapan yang nanar.
Di dalam kepalanya yang terasa berat, dia merasakan sesuatu yang amat ganjil. Bukan suatu perasaan ngeri, apa lagi sebuah rasa haru. Perasaan ini benar-benar tak dapat diterima oleh nalarnya. Meski di usia senjanya dia telah berulang kali melihat maut datang secara tiba-tiba. Tetapi, baru kali ini dia merasakan suatu penolakan ketika sang maut menimpa sosok pria yang ada di sana—yang bersama-sama dengannya memutuskan untuk turun dari kereta api Trans-Siberia, dan menggelandang di tengah dinginnya udara kota Moskow.
***
Untuk saudara Arip di Jakarta.
Surat ini ditulis bukan untuk mengabarkan sebuah kabar duka, karena aku yakin kau telah lebih dulu mendengarnya melalui kedutaan Soviet di Jakarta. Surat ini sekadar untuk menceritakan hari terakhir saudara Awal, dan sesudah maut datang menjemputnya.
Aku pertama kali mendengar kabar kematiannya dari saudara Alan Budiman. Seminggu sepulangnya Awal dari rumah sakit, seperti biasa, Alan selalu berkunjung ke kediamannya untuk menemaninya dan memastikan kesehatannya. Tetapi hari itu, waktu dia membuka pintu flat, dia terlonjak karena menemukan Awal terbaring di lantai dengan wajah yang tampak pucat, sepucat mayat. Dia berusaha untuk membangunkannya dengan mengguncang-guncang tubuhnya, namun tak ada reaksi. Kemudian dia berteriak di samping telinganya, namun tak ada jawaban.
Setelah itu, dia lantas menelepon ke rumahku, kebetulan waktu itu aku tidak sedang mengajar di universitas. Di ujung telepon, dia mencoba untuk menjelaskan apa yang baru saja terjadi pada Awal. Kepalaku dapat mengendus semacam firasat buruk dari tutur katanya yang disertai dengus napas memburu. Namun, aku tak bisa ikut-ikutan kalut, meski firasat buruk itu telah menggumpal menjadi awan hitam yang tengah berusaha menyelimuti pikiranku. Lantas, kusuruh Alan mengecek kembali keadaannya dengan cara-cara yang kuanjurkan, kukatakan kepadanya mungkin Awal hanya sedang pingsan.
Sambil menunggu Alan mengecek keadaan Awal, kepalaku terasa dihantam oleh puluhan palu, mungkin karena aku sendiri tak yakin pada apa yang baru saja kukatakan kepadanya. Seperti seekor merpati, dia kembali membawa pesan setelah melakukan perintahku. Tetapi aku malah mengaduh untuk yang kedua kalinya, karena hasil nihil yang didapatkan oleh Alan. Kusuruh dia segera menelepon pihak rumah sakit. Sedang aku menghubungi pejabat yang berwenang untuk meminta kedutaan Soviet di Jakarta mengirimkan kabar secepatnya ke keluarganya. Sembari menunggu kabar dari kedutaan, aku bergegas pergi ke flat untuk menyusul Alan. Tetapi, sesampainya aku di sana, bukannya menelepon pihak rumah sakit, dia hanya terdiam di samping meja telepon dengan tatapan kosong.
Dia sempat tersentak ketika aku memanggil namanya. Lantas, dia langsung meraih gagang telepon di sebelahnya, dan menelepon pihak rumah sakit. Tak lama kemudian, dari arah luar terdengar deru ambulan berhenti tepat di depan flat. Buru-buru aku dan Alan membantu pihak rumah sakit untuk mengangkat jasad Awal ke dalam ambulan itu. Ketika kembali lagi ke dalam flat untuk memastikan keadaan, kutemukan secarik kertas di bawah lantai, persis di bekas tempat Awal berbaring. Kuambil kertas itu, dan aku langsung mengetahui kalau itu adalah sebuah surat darimu. Sebab, kutemui namamu tertulis di pojok kanan bawah kertas itu. Aku yakin, di sisa-sisa waktunya, dia berharap bisa menghadap maut dengan membawa surat itu.
Di rumah sakit, aku mendapat kabar dari pihak kedutaan kalau keluarga Awal tengah berusaha meminta izin untuk membawa pulang jasadnya dan menguburkannya di sana. Tetapi, hari sudah menjelang sore, menurut Alan yang pada hari-hari akhir sering menemaninya, Awal pernah mengutarakan kepadanya, meski saya tak yakin Awal masih memeluk agama, tetapi dia ingin dikuburkan sesuai dengan syariat Islam. Karena menurut syariat Islam, jasad seseorang yang telah meninggal harus sesegera mungkin dimakamkan. Maka, tanpa menunggu kabar dari keluarga di Jakarta, aku kembali menghubungi pejabat berwenang untuk meminta izin memakamkan jasadnya di sebuah komplek pemakaman Islam di Mitino.
Pemakaman yang sederhana itu akhirnya terlaksana, diiringi dengan beberapa puluh orang yang terdiri dari: rekan senasibnya, beberapa lantas datang dari berbagai kota setelah mendengar kabar dari rumah sakit; rekan sejawatnya di universitas; serta kawan-kawan pengarang Soviet. Selesai mengubur jasadnya, Alan lantas—maju ke depan—ambil bagian untuk menceritakan tentang kisah hidup Awal yang cukup menyayat hati tiap orang yang mendengarnya. Selepas berbicara, aku melihat kaca matanya memantulkan kilau cahaya, sebab air mata yang mulai merembes di kedua matanya.
Sayang, rencana kita untuk mempertemukan Awal dengan keluarganya tak mungkin terwujud. Padahal dia telah lama menunggu saat-saat itu. Aku sangat prihatin karena jasadnya bahkan tak bisa kembali ke negara asalnya. Karena belakangan aku mendengar dari keluarganya di Jakarta, bahwa pemerintah di sana telah mengecap Awal sebagai seorang pemberontak.
Sehubungan dengan itu, saya telah melampirkan beberapa lembar naskah hasil tulis tangannya. Sebagai salah satu rekan mengajarnya, saya yakin Awal lebih suka naskahnya dibaca oleh kalangan orang banyak, daripada mendekam di dalam laci flatnya. Saya memutuskan untuk mengirimkannya kepadamu, sebab saya takut jika memberikannya ke pihak KBRI, naskah itu tidak akan pernah bertemu dengan pembacanya, kalau tak mau dikatakan dimusnahkan. Bagaimanapun, kau adalah salah satu kawan lamanya yang berhasil membuat matanya yang tak pernah tersenyum tampak menjadi berbinar-binar. Saya juga berharap naskah beliau bisa berguna untuk dunia kesusastraan di negaramu. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Salam,
Villen Sikorsky.
***
Editor: Ghufroni An’ars