Di Toko Kelontong
Di toko kelontong itu
ia menaksir kecemasan
yang sedang ramai diperbincangkan
Di lain waktu, saat mas penyair favoritnya
mampir berbelanja, ia jadi suka
bertanya-tanya mengapa kebahagiaan
sulit didapatkan dan langka di pasaran
Di toko kelontong
yang sudah lama
ia kelola dengan cinta
ia sering melayani pembeli
yang lupa buat apa mereka dicipta.
–
Di Bus Antar Kota Antar Provinsi
Yang dinanti-nanti kepulangan
adalah suara syahdu ibu
kecup wangi rindu
tubuh tabah ayah
serta rumah yang ramah.
Tetapi ada jawaban lain menanti.
Tiba-tiba dan tidak kau duga-duga:
Sepasang mata yang sedang berdoa
memanjatkan sepatah dua patah rahasia.
–
Menjelang Magrib di Ruang Keluarga
Menjelang magrib
Ibu bertanya perihal kesepian anak-anaknya.
Anak pertama:
Alhamdulillah, Bu. Meski rungkad,
dilanda berbagai macam cobaan,
kesepian dapat merawat dirinya sendiri.
Anak kedua:
Alhamdulillah, Bu. Di tengah lelah
perjuangan supaya tidak tenggelam
di media sosial macam TikTok dan Instagram,
saya masih dianugerahi sepi dan sunyi.
Anak Ketiga:
Alhamdulillah, atas rahmat Tuhan,
saya masih bisa merasakan kesepian.
Anak Bontot:
Bu, apakah sepi sebenarnya?
Apakah ia puisi yang sering ibu dan kakak baca?
–
Jendela
Dari jendela-jendela
yang menganga di kamar tidur,
ruang kerja, ruang tamu dan
ruang merindu. Ia senang
mengenang.
Ia merasa tenang
setiap kantuk dan suntuk
membersamai ritualnya
di sore-sore yang menyala
merah jingga.
Pada suatu hujan malam yang lebat,
jendela-jendela itu lirih menyanyi,
bersahut-sahutan dengan hujan
dan kesunyian.
Lewat gawainya yang kesepian,
ia mengirim pesan singkat
kepada Instagram, TikTok dan YouTube
yang terhormat .
Tuan-tuan yang dimuliakan netizen
Tolong jangan ganggu saya
Yang sedang berdua
Dengan jendela.
*****