Pengajar Filsafat Pendidikan PSP ISI Yogyakarta

Amoye, Papua dan Nilai Seorang Guru

Roy Simamora

3 min read

Leonardo Madai—lebih dikenal sebagai Amoye—adalah pemuda Papua yang kini jadi pusat perhatian publik. Namanya menyebar di media sosial setelah sebuah video dirinya mengenakan jas almamater merah dari Universitas Pendidikan Muhammadiyah (Unimuda) Sorong. Dalam video itu, ia berdiri di depan kamera, berbicara dengan suara datar, tanpa emosi berlebihan, namun setiap kata yang keluar dari mulutnya memiliki bobot yang tak bisa diabaikan.

Ia tak berbicara tentang ambisi pribadi atau impian muluk-muluk. Dengan kesederhanaan, ia mengungkapkan alasan mengapa ia ingin menjadi seorang guru: di desanya tak ada lagi guru yang tersisa. Tak ada orasi panjang tentang pentingnya pendidikan, tak ada pidato heroik tentang masa depan bangsa. Hanya sebuah kenyataan yang telanjang; mengungkap kegagalan sistem tanpa perlu ia sebutkan secara langsung.

Desanya sudah lama ditinggalkan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab. Pendidikan, jika pernah ada, telah tergerus oleh waktu dan ketidakpedulian. Amoye mungkin memahami hal ini dengan jelas, namun ia tak meminta simpati. Ia tak menyerukan perubahan dari para pemimpin yang duduk jauh di ibukota. Ia hanya bertekad, dengan kesederhanaan yang tak bisa digoyahkan, untuk menjadi guru bagi desanya. Karena, menurutnya, tak ada orang lain yang akan melakukannya.

Dalam kata-kata Amoye, tersembunyi sebuah ironi tajam. Di negeri yang katanya sedang berkembang—pendidikan seharusnya menjadi hak setiap orang—seorang pemuda harus berjuang sendirian untuk mengisi kekosongan yang dibiarkan menganga oleh negara. Apa yang diungkapkannya bukanlah sekadar keinginan pribadi, melainkan sebuah tuntutan moral yang lahir dari kegagalan kolektif.

Apa yang membuat kisah Amoye begitu menyentuh bukanlah dramatisasi, melainkan justru ketenangannya. Tak ada retorika heroik, tak ada permohonan menggugah. Hanya seorang pemuda yang sadar akan nasib yang menantinya dan jika tak ada yang melangkah maju untuk menjadi guru, maka siapa yang akan mengajar dan mendidik anak-anak di desanya? Ini adalah potret dari sebuah profesi yang, meskipun sering dielu-elukan dalam retorika politik para elit, jarang mendapatkan penghargaan sejati di lapangan. Jika direnungkan, seorang guru, bagi Amoye, bukanlah sekadar pendidik, tetapi penyelamat sebuah masyarakat yang diabaikan.

Kisah Amoye seolah membuka tirai dari apa yang sering kita sebut “kemajuan” dan memperlihatkan kesenjangan besar yang menganga di bawah permukaannya. Di kota-kota besar, pendidikan mungkin tampak seperti hal yang lumrah, mudah diakses oleh setiap anak dengan seragam sekolah yang rapi. Namun, di tempat-tempat seperti desa Amoye, sekolah bisa jadi hanya sebuah bangunan kosong, tanpa suara-suara riuh anak-anak yang sedang belajar, karena gurunya sudah lama pergi—mungkin terlalu lelah, mungkin terlalu diabaikan, atau mungkin hanya menyerah karena profesi mereka tidak mendapat apresiasi pemerintah.

Amoye mengajarkan saya tentang nilai sejati seorang guru. Di balik ketiadaan infrastruktur, kekurangan buku, atau bahkan gaji yang tak memadai, guru harus berdiri sebagai penjaga terakhir dari harapan sebuah generasi. Dalam dunia yang diatur oleh kepentingan ekonomi dan kuasa, seorang guru adalah pengecualian yang mencolok. Bukan karena mereka berkuasa atau kaya, tetapi karena mereka tetap bertahan, bahkan ketika segala sesuatu tampak melawan mereka.

Amoye, dengan keputusannya untuk menjadi guru kelak, tak hanya memutuskan untuk menjalani sebuah profesi, tetapi ia mengambil tanggung jawab untuk menghidupkan kembali desanya, untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari mimpi-mimpi yang telah terkikis oleh ketidakadilan. Dengan caranya yang tenang, ia menunjukkan kepada saya sesuatu yang mendasar, sesuatu yang sering kita lupakan di tengah jargon-jargon kebijakan pendidikan yang muluk-muluk: bahwa tanpa guru, tak ada masa depan.

Dalam masyarakat modern hari ini, guru sering kali direduksi menjadi bagian dari mesin besar yang disebut “sistem pendidikan”. Mereka digaji rendah, dibebani tugas administratif yang tak ada habisnya, dan dikritik karena hasil-hasil yang tak sesuai harapan. Namun, di balik itu semua, mereka adalah orang-orang mulia yang berada di garis depan dalam perang melawan ketidaktahuan, ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan. Bukan dengan senjata atau kekuasaan, tetapi dengan kapur tulis dan buku catatan. Mereka berdiri di antara generasi muda dan kegelapan masa depan.

Amoye mengingatkan saya bahwa seorang guru tak hanya mentransmisikan pengetahuan, tetapi juga harapan. Di desanya, di mana guru-guru tak ada, harapan itu nyaris padam. Namun, Amoye, dengan kesederhanaan dan tekadnya, memilih untuk menyalakan kembali api itu. Ia merajut mimpi. Sekolah ke perguruan tinggi. Ia mungkin tak menunggu bantuan dari pemerintah pusat, atau hibah dari organisasi internasional. Ia melangkah sendiri, dengan keyakinan besar bahwa jika ia tak bertindak, maka tak ada orang yang akan melakukannya. Sekali lagi, ia hanya ingin menjadi guru sebab tak ada guru yang tersisa di desanya.

Bagi saya, kesaksian Amoye dalam video itu adalah kritik terhadap sistem pendidikan kita. Membongkar kebohongan besar yang dibiarkan hidup oleh sistem: gagasan bahwa kemajuan teknologi atau kebijakan ekonomi saja dapat menyelamatkan masyarakat. Namun, di akar peradaban kita, terdapat seorang guru. Tanpa mereka, apa yang disebut kemajuan hanyalah omong kosong. Tanpa mereka, masyarakat kita akan runtuh ke dalam kebodohan dan ketidakadilan.

Kisah Amoye yang viral adalah peringatan. Peringatan tentang apa yang hilang ketika kita mengabaikan pendidikan. Kisahnya adalah seruan bagi kita semua untuk melihat kembali nilai sejati seorang guru, bukan sebagai roda kecil dalam mesin yang lebih besar, tetapi sebagai penjaga peradaban. Masyarakat yang gagal menghormati dan mendukung guru-gurunya adalah masyarakat yang menggali kuburannya sendiri.

Namun, kisah ini juga adalah harapan, meski kelam. Jika satu orang seperti Amoye dapat berdiri dan mengatakan, “Kelak, saya akan menjadi guru dan mengajar demi anak-anak di desa saya,” maka mungkin masih ada harapan untuk kita semua, untuk masa depan yang lebih baik. Di tengah segala ketidakpedulian dan kekacauan, masih ada mereka yang percaya bahwa pengetahuan adalah kekuatan, dan bahwa tugas seorang guru adalah memberikan kekuatan itu kepada mereka yang paling membutuhkannya.

Dan mungkin, suatu hari nanti, kita akan belajar menghargai mereka seperti yang seharusnya.(*)

Roy Simamora
Roy Simamora Pengajar Filsafat Pendidikan PSP ISI Yogyakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email