Menua dan Kesunyiannya Masing-masing

Lommie Ephing

3 min read

Sama seperti yang dialami tuanku, aku pun menua, ringkih, rabun, dan sama-sama menanggung kehilangan masing-masing. Aku kehilangan ibu dan dua saudariku, sementara tuanku kehilangan istri juga putranya berpuluh-puluh tahun silam.

Aku kehilangan saudara-saudariku ketika menyeberangi jalan raya saat malam pergantian tahun, sekitar tiga tahun silam. Ketiganya mati bersamaan, usai terlindas truk bermuatan sampah. Tubuh mereka gepeng di jalan raya dengan kondisi kepala serta perut pecah, isinya terburai, darah segar mengalir di cerukan aspal. Aku yang seorang diri dan kebingungan kala itu hanya bisa mengeong pilu di pinggir jalan sembari mengawasi jasad ketiganya diselingi pemandangan hilir-mudik kendaraan. Tak berapa lama siluet manusia datang memungut jasad ketiganya lalu dijejalkan ke dalam kardus bekas air mineral gelasan untuk dikuburkan, begitu pikirku, tadinya. Selanjutnya, aku diam-diam membuntutinya berjalan melewati pertokoan, masuk ke gang-gang sempit serta lorong-lorong bercahaya temaram. Udara malam terasa menggigit hingga ke tulang.

Aku ingat betul, tubuh lelaki yang memungut ibu dan dua saudariku kala itu pendek saja. Mengenakan pakaian bertudung sewarna jelaga dan celana pendek warna senada. Salah satu kakinya pincang dan tak beralas kaki, itulah alasan kenapa caranya berjalan terlihat bak diseret-seret. Tanpa ketahuan aku terus berusaha membuntutinya dengan kaki kecilku yang lincah namun rentan goyah karena takut. Setelah lima belas menit berjalan menerobos pekat malam, lelaki bertubuh pendek itu berhenti di sebuah mulut gang, sejenak matanya menengok awas ke kanan lalu ke kiri, barangkali ia bisa merasakan sedang diawasi oleh sepasang mata di kegelapan malam―aku. Tersadar, aku berusaha memaku di sela-sela rumput liar yang merimbun di pinggir jalan. Saat merasa aman, lelaki itu melangkah memasuki sebuah rumah, lalu lenyap di balik daun pintunya. Dua hari berselang baru kuketahui bahwa di sana merupakan tempat penggilingan daging.

Sejak saat itu aku mulai menggelandang di tengah kota, sendirian. Banyak hal yang kutemui, mulai dari hal yang menyenangkan hingga tak mengenakkan. Aku banyak bertemu manusia berhati baik, juga yang berperilaku busuk. Yang baik akan memberiku sepotong roti, atau makanan ringan sisa yang sengaja mereka tinggalkan untuk kunikmati. Sementara yang berperilaku busuk tanpa rasa berdosa langsung menendangku dengan kasar, seakan aku sebuah bola sepak, atau tanpa tanggung langsung melempariku dengan batu, memukulku dengan sepotong kayu, atau apapun yang bisa melukaiku dan bisa membuat mereka tergelak karena senang. Banyak teman-teman seperjalananku mati dengan kondisi mengenaskan diburu dan dibunuh manusia-manusia bedebah itu. Beberapa kutemukan mati kaku bergelantungan dengan leher terjerat tali di salah satu cabang pohon, atau kudapati mayatnya mengambang di sungai tanpa bola mata.

Hidup di jalanan ibu kota memang keras, kawan. Terlebih bagi seekor kucing kampung sepertiku, yang kerap dianggap hama tinimbang lucu oleh sebagian besar manusia. Segala macam insiden berujung kematian bisa saja menghampirimu. Tak pernah terlintas sedikit pun di kepalaku ada manusia berhati mulia seperti Tuanku ini; yang tiba-tiba datang menyelamatkanku dari maut.

Aku sangat beruntung dipungutnya suatu hari dari dalam selokan hitam berbau busuk di pinggir jalan. Aku terjerembap ke dalam selokan penuh lumpur ketika salah satu karyawan restoran bertubuh ceking mengejarku dengan gagang sapu, hanya karena aku kepergok mengorek tempat sampah dengan beberapa kucing lainnya dan tak sengaja menggulingkan tong sampahnya hingga isinya berceceran di jalan. Sialnya, di antara kami bertiga, entah mengapa lelaki ceking itu justru memilih untuk menyasarku. Mungkin, lelaki ceking sialan itu berpikir akulah yang tubuhnya paling kecil sehingga bisa dengan mudah untuk ditangkap olehnya. Dengan segenap tenaga yang kumiliki, aku berlari kocar-kacir menghindari serangan gebukan ujung gagang sapu yang beberapa kali nyaris saja menghantam tempurung kepalaku. Enggan menyerah begitu saja, lelaki ceking tersebut terus mengerahkan seluruh tenaganya yang tersisa untuk memburuku. Dan benar saja, ujung gagang sapu itu tak pelak menghantam tulang punggungku, membuatku tak ayal melompat hingga tercebur ke salah satu parit penuh lumpur bau yang lumayan dalam. Mampus, kau! Lelaki ceking itu melongok dan dengan keji mengutukku, dan meludahiku sebelum akhirnya berlalu pergi.

Tuanku ini, bertubuh ringkih. Orang-orang yang berpapasan dengannya di jalan menyebutnya Pak Mus. Mus dari kata Musri. Lelaki renta ini membawaku pulang ke gubuknya yang berlokasi di pinggiran kota. Aku dimandikan laiknya anak sendiri, disabuni menggunakan sabun colek beraroma jeruk nipis, lalu dikeringkan dengan kain lap seadanya. Dia memberiku nama, Nak.

Tak jauh dari gubuk Tuanku terdapat setapak tanah kecil dengan serumpun ilalang yang tinggi dan lebat. Hampir setiap malam banyak pasangan kekasih yang datang kemari, mengendap-endap melewati gubuk Tuanku bermodalkan cahaya senter dari ponsel. Lelaki dan perempuan, lelaki dan lelaki, perempuan dan perempuan. Aku selalu berhasil mengintip mereka dari balik semak belukar tanpa risiko ketahuan. Mereka berciuman, memagut bibir masing-masing, saling menggerayangi, saling melucuti pakaian masing-masing, saling bergantian mengulum dan menjilati kemaluan masing-masing, dan kemudian saling tindih seperti halnya saat kami kawin di musim kawin.

Gubuk Tuanku sendiri sama reyotnya dengan tubuhnya. Bisa kupastikan tak ada barang berharga di dalamnya selain karpet usang yang terlihat tidak pernah dicuci bertahun-tahun, serta lembaran-lembaran kardus yang ditumpuk sembarang di sudut ruangan. Satu-satunya barang berharga mungkin hanyalah secarik potret perempuan yang beberapa sisinya telah lapuk dimakan usia. Meski begitu, tuanku hampir selalu memandangnya menjelang tidur malam sambil menghabiskan tembakaunya. Kadangkala ia terbangun di sepertiga malam dan hanya bengong menatap potret tua di ujung jemarinya.

Aku sendiri tidak tahu kehilangan seperti apa yang tuanku tanggung selama ini. Dia tidak banyak bercerita sejauh ini pada siapa pun, bahkan padaku yang sudah tentu bakal dengan setia mendengarkan semua kisah perjalanan hidupnya, tak peduli sepahit apapun itu. Aku tak punya apa-apa untuk membalas kebaikannya hingga kapan pun. Tapi aku punya banyak waktu seumur hidupku untuk menemani Tuanku, mendengarkannya berkeluh kesah. Sayangnya, Tuanku ini lebih banyak memendam semuanya di balik dadanya yang kurus.

Hingga suatu malam, Tuanku pulang dengan sebungkus nasi di tangannya. Namun, Tuanku tidak datang sendiri, melainkan bersama seorang perempuan tua seumuran dengannya. Dari tubuh sang perempuan menguar bau amis yang menyengat hidungku. Aku dan Tuanku lantas disuruh makan bersama hingga tuntas, sementara perempuan itu hanya menonton kami makan dengan lahap. Setelah selesai aku dipeluknya lalu dibawa ke pangkuan sang perempuan. Kudapati sepasang mata tuanya berpijar. Dan di detik itulah aku kemudian sadar kalau wajah perempuan tua itu mirip sekali dengan di foto yang saban malam ditatap oleh Tuanku menjelang tidur.

Tuanku tiba-tiba rebah begitu saja. Sekujur tubuhnya kejang-kejang disusul cairan putih semacam busa meleleh di sudut mulutnya. “Mampus!” gumam perempuan itu keji.

Hal serupa yang dialami Tuanku pun menjangkitiku kemudian. Lantas, sebelum semuanya berubah gelap, samar-samar aku mendengar perempuan itu bergumam pada sosok lelaki berkaki pincang yang muncul tiba-tiba dari kegelapan malam, “Cepat penggal tubuh Bapakmu, lalu bawa dengan segera ke tempat penggilingan daging!”

Lommie Ephing

One Reply to “Menua dan Kesunyiannya Masing-masing”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email