Penyuka Jejepangan. Belajar menulis dari sub-judul film. Cuma seorang fans idol. bagian dari @prodeo.id.

Menjadi Kucing

Izzul Millah

3 min read

Coba kita bayangkan menjadi seekor kucing yang sedang berada di dalam sebuah rumah kecil di suatu kota. Tidak, mungkin akan lebih menarik jika kota itu bernama Jakarta. Kota tanpa kata “hening” di dalam kamusnya. Kota yang selalu sibuk, berisik, dan marah. Kita menjadi kucing di kota itu.

Kita bangun tengah malam, menggeliat, melemaskan otot-otot yang masih kaku setelah tidur selama 3 jam.  Jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Kita memanggil majikan kita dengan mengeong, seperti malam-malam sebelumnya; majikan kita akan menyaut jika kita mengeong meminta jajanan dini hari untuk melanjutkan tidur. Tapi malam itu, tak ada jawaban. Malam tetap hening walau kita kadang kaget dengan suara deru motor di luar rumah.

Meonggg.

Beberapa kali kita mengeong, tetap tak ada jawaban. Dengan malas kita berjalan dengan empat kaki yang kita punya, mencari kamar majikan. Mengendus-endus mencari bau sambil melihat sekeliling. Kita akhirnya mendapatkan pintu yang tidak tertutup dengan rapat seakan memang diperuntukkan untuk kita masuk. Dari situ tercium bau parfum yang manis dan sedikit menyengat.

Meonggg.

Kita memanggilnya dari dekat sambil melihat kamar yang gelap itu dari sudut pintu yang terbuka. Kertas ukuran A4 berserakan di mana-mana. Ada yang tergeletak seperti tak pernah tersentuh, ada juga yang berbentuk bola akibat diremas. Kita hampir saja bermain dengan bola-bola kertas kalau saja tidak terdistraksi oleh lampu merah yang berkedip-kedip di samping ranjang.

Di atas ranjang itu tidur majikan kita. Rambutnya yang panjang tergerai di sisi kasur. tubuhnya yang kurus tak terlihat karena tertutup selimut putih.

Kita naik ke kasur, ingin membangunkan majikan kita. Kita melihat sekitar kasur, jika saja ada yang bisa dijadikan mainan. Tapi nihil, hanya sebuah laptop dengan gambar apel tergigit yang dingin, selembar—lagi-lagi—kertas lusuh di sampingnya, dan gaun berenda bunga yang hampir jatuh ke lantai.

Kamar majikan kita begitu hening, tidak seperti di luar yang penuh dengan bunyi. Hanya bunyi tiktok-tiktok dari jam meja yang berdetak menunjukkan pukul 01.27 dini hari. Semua barang diam, tak ada yang bergerak. Selimut, laptop, kertas, gelas air yang terisi setengah, obat batuk yang sudah kedaluwarsa, dan lampu belajar yang tidak menyala, menambah keheningan. Kamar majikan kita seperti kota mati! Ah tidak, kamar mati lebih tepatnya.

Majikan kita pun tidur dengan nyenyak. Begitu nyenyak sampai tidak terdengar embusan napasnya. Dia tidur begitu nyenyak, menuju alam mimpi begitu dalam. Tidak tahu apakah dia bermimpi atau tidak. Kalaupun bermimpi, kita tidak akan tahu apa yang diimpikannya sampai-sampai majikan kita tidak terdengar napasnya.

Tapi kita tahu—sebagai kucing—bahwa majikan kita masih hidup. Kita mendekat sampai ke perutnya yang naik turun. Kita mendekat lagi ke wajahnya, tapi ada dua tonjolan yang membuat pijakan kita tidak seimbang dan majikan kita menggeliat. Kita turun dari tubuhnya dengan pelan dan duduk di samping wajahnya yang menghadap ke kiri. Karena senang, mengira bahwa majikan kita bangun, kita menggoyangkan ekor ke kiri ke kanan. Sudah 1 menit berjalan tapi majikan kita tetap tidur. Embusan napasnya mengenai wajah kita.

Meonggg.

Kita bersiap untuk membangunkan majikan kita. Menjilat kaki kanan depan kita, lalu mendekati wajah majikan kita. Wajahnya yang tidur begitu cantik. Jika majikan kita mati, kita yakin bahwa orang yang melayat dan melihat wajahnya tidak akan percaya bahwa majikan kita itu mati karena saking cantiknya! Keyakinan seekor kucing lebih bisa dipercaya daripada manusia, bukan?

Meonggg.

Kita menepuk wajah majikan kita dengan telapak kaki yang lembut. Cakar kita sembunyikan karena kita tidak ingin bertengkar; seperti yang terjadi jika ada kucing tetangga yang ingin menginvasi rumah dengan mengambil makanan di dapur.

Meonggg.

Kita mengeong sambil menepuk wajah majikan kita, berharap dia bangun dengan cepat.

“Ehmmm.”

Kita mendengar suaranya! Senang dengan sahutan suara tersebut, kita semakin bersemangat membangunkan majikan kita.

Meong meong meonggg!

“Ehm? Kau terbangun, Kafka?”

Mata majikan kita terbuka seperempat, melawan kantuknya dengan berbicara dengan kita, kucing peliharaannya.

Kafka, nama pemberian majikan saat kita masih kecil. Majikan menemukan kita di samping rumahnya yang kecil ini. Kurus kering tanpa makan berhari-hari. Dibawanya kita ke dalam rumahnya, dimandikan, dan diberi makan. Senang sekali kita waktu itu. Hingga setelah beberapa hari di rumahnya, kita diberi nama olehnya.

“Kafka? Bagaimana kalau Kafka?”

Meongg!

“Kau suka? Baiklah, aku kasih nama Kafka,” sambil menggendong kita tinggi-tinggi. Kita mengeong ketakutan karena tidak biasa dengan tempat tinggi. “Tidak apa-apa, Kafka. Aku tidak akan menjatuhkanmu.” Majikan kita tertawa bahagia. Tawa manusia pertama yang kita dengar.

Meonggg.

Majikan kita bangun dari tempat tidurnya. Mengusap wajahnya dan berjalan keluar dari kamar sambil menggendong kita.

Kita ditaruh di kursi ruang tamu. Di luar ternyata gerimis. Suara air berjatuhan di atas genteng. Majikan menuju dapur, mengambil makanan. Suara makanan kucing yang renyah membuat kita menyusul majikan ke dapur.

Meongg.

”Tunggu sebentar. Sekalian aku bikin teh.” Dia menatap kita dengan lembut sambil tersenyum.

Dibawanya wadah berisi makanan kucing di tangan kiri dan segelas teh di tangan kanan. Di taruhnya di meja. Kita melahapnya dengan cepat. Kucing memang sering lapar di malam hari. Majikan kita menyesap tehnya yang masih panas sambil melihat kita makan. Saat kita sedang makan, dia berbicara.

“Besok ayahku akan kemari. Kau baik-baik di sini, ya. Aku tidak tahu apakah aku akan tetap di sini atau pulang ke kampung halaman. Aku juga tidak tahu apakah lebih baik kau di sini atau ikut aku. Aku sudah lama di sini dan belum menghasilkan apa-apa.” Lalu dia menyesap tehnya lagi.

Kita melihatnya yang sedang sedih. Walaupun kita tidak paham apa yang dibicarakannya, kita tahu majikan kita sedang sedih. Entah kenapa, kita tahu. Tidak ada alasan kita untuk tidak paham bahwa majikan kita sedang sedih. Kita cukupkan jajanan malamnya dan duduk di atas paha majikan kita. Menggeliat, ingin dimanja. Dielus-elusnya leher dan kepala kita. Kita suka jika dielus-elus begitu.

Meonggg.

Majikan kita berdiri, berjalan menuju kamarnya lagi. Sepertinya ingin melanjutkan tidurnya yang belum selesai. Kita melanjutkan makan kita yang belum habis. Melanjutkan hidupnya masing-masing.

Rabat, 19 Februari 2023

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

Izzul Millah
Izzul Millah Penyuka Jejepangan. Belajar menulis dari sub-judul film. Cuma seorang fans idol. bagian dari @prodeo.id.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email