Mengusir Jin

Ilham Maulana

6 min read

Barangkali dua puluh detik, jeda waktu untuk membangunkan seisi rumah. Ketika itu ayam rusuh mengibas-ngibaskan sayapnya. Di samping pergelangan kakiku yang terkilir, genting remuk berkeping-keping. Tiba-tiba lampu ruang tamu menyala. Aku bergeser di depan pot aglonema, meluruskan kaki untuk mengurutnya.

Semua bermula dari percobaan mengusir jin. Aku duduk di atap rumah yang lancip dan memutar Quran di Spotify. Siapa juga yang berharap ketiban sial di jam tahajud seperti ini. Kalaupun aku terjun bebas, bahkan sampai membangunkan orang sekomplek, tak lain hanyalah untuk mengembalikan tidur pulasku yang diambil. Biar kuceritakan sedikit pangkal kekonyolan ini.

Tirai dibuka paksa oleh matahari dan omelan. Cahaya menyorot debu datang bersama lapar yang membangunkan. Di dapur, Ibu bicara tentang dosa orang yang meninggalkan salat. Sedang, setelah Bapak mencakar telapak kaki atau kasar menarikku bangun, ia akan merajuk dan terus-terusan bicara: bangunlah sebelum rezekimu dipatuk ayam.

Mereka tak mengerti ada sesuatu yang mengisi kamarku, apalagi setelah percobaan tidur di kamar lain lebih memungkinkan aku bangun. Ada yang sekuat mungkin meminjam rasa kantuk itu. Seperti ada yang mengendap-ngendap di atas genting tetapi saat aku mengeong memprovokasi, tak ada yang menyahut. Suara juga muncul dari sudut plafon, serupa garukan yang membuatku lama mengulur waktu tidur.

Kesiangan selalu membuatku batal sarapan. Minta makan setelah kesiangan sama halnya menyakiti diri dengan nasihat. Aku pilih diam di kamar, membaca buku dan bermain media sosial. Manusia mestinya hidup dari sekali makan, itu pun hanya agar beras, sayur, dan lauk-pauk di pasar tetap laku. Tak perlulah mengenal istilah sarapan, karena siapa yang melewatkannya tak akan dijangkiti senewen sampai keesokan harinya.

Ibu biasa membereskan apa saja di pagi hari. Baginya memicu emosiku adalah sejenis hiburan di samping menyadari tak ada orang rumah yang cukup prihatin untuk membilas bersih piring-piring, menyiram tumbuhan pada pot gantung atau memberi makan piaraan yang mulai ribut.

Beberapa kali hendak kusetop mulut Ibu yang mengomel. Menekan tombol pause seolah Ibu podcaster Youtube, yang sedang mengobrol dengan narasumber sok tahu. Bukannya aku tak bersalah. Namun, saat kau kerahkan diri untuk tidur awal dan mata jahanammu memilih terus terbuka, tidak banyak hal yang bisa kaulakukan.

Di tengah lapar pagi itu, kugunakan Twitter iseng mencari keributan. Pejabat yang dijadikan bahan lelucon, mural dengan pesan kritis yang kesekian kali dihapus, atau sahabat yang melucu (dan terus gagal) banyak kutemukan. Media sosial bisa menarikku jauh ke masa silam hanya melalui salah satu pemakainya yang pernah sekolah bersamaku tetapi sombong bukan buatan.

Orang sombong berjubel antara percik keinginanmu untuk dikenal dan rasa ria. Sebagian dari mereka terdiri dari teman yang enggan membubuh likes untuk keluh kita di cuitan, padahal lumayan akrab di dunia nyata. Sahabat lama yang terlibat tualang bersama semasa sekolah tetapi gengsi untuk berbalas kangen di direct message juga masuk hitungan.

Aku paham, ada jin yang mengganggu tidurku. Sosok astral itu yang selama ini menghasilkan bunyi orang berjalan atau kucing palsu. Kenangan ini terbersit begitu Qodul, seorang teman lama, berbalas pesan denganku. Tak seperti teman pesantren lainnya yang cuek begitu kutanya. Anak ini akrab berbasa-basi.

Meski dikaruniai tubuh besar, bila perkara lolos dari mata Bidang Kedisiplinan, Qodul lebih lincah dari belut lomba agustusan. Sepulang dari paket malam warnet, ia sering kali menemaniku nongkrong menyaksikan kabut. Pesantren kami cukup dekat dari Ciremai. Bila mengenang banyaknya kabut yang kukibas dan kuhirup, aku selalu ingin Ibu ada di situ, melihat potensi bangun pagi anaknya sebelum iman digerogot gaya hidup.

Aku beli pisang goreng. Duduk di balik pagar yang memisah kelas dan turunan menuju pangkalan ojek. Pangkalan ojek itu seperti loket bagi lapangan sepak bola di belakangnya. Lapangan yang dijuluki Santiago Berbatu itu bertanggung jawab untuk jempol santri yang cantengan berhubung banyak kerikil tidak disingkirkan. Bila hujan angin datang, pucuk-pucuk pohon di sebelah lapang akan berjingkrak. Meniru suporter di tribun yang dalam satu kor meliar, bernyanyi tak henti-hentinya.

“Mereka keliling dari satu warnet ke warnet lain, mengabaikan sahabat sendiri yang kabur dari pesantren, merokok di bilik-bilik, lalu pulang untuk memecut betisku.” Qodul memulai cerita sambil mencuri pisang goreng dari kresek. Santri-santri jalan bergerombol memenuhi meja-meja dapur umum yang letaknya tak jauh dari lokasi kami. Antrean mengular terlihat dari tempatku duduk.

“Terus siapa yang menghukum kakak-kakak kelas itu? Bukannya mustahil orang seangkatan saling lapor?” Tanyaku. Mengingat ada beberapa kawan yang diloloskan oleh Bidang Kedisiplinan berhubung saling mengenal dan sungkan.

“Jangankan dihukum, dicatat saja enggak! paling-paling malah ngerokok bareng.”

Topik kesemena-menaan wajar keluar dari mulutnya. Qodul, dan sesekali aku, dalam masa-masa adaptasi di kelas tujuh, termasuk santri yang sering dipecut. Mereka, Bidang Kedisiplinan begitu cepat sampai di asrama. Memukuli tong sampah dengan rotan, begitu terhibur melihat santri berhamburan, terpeleset menenteng sandal.

Ketika santri yang terlambat, berbaris memakai sarung dan peci, kakak-kakak sok berwenang itu memukul betis mereka dengan hanya mengenakan kaus atau jaket belel. Seperti tak berniat pergi ke masjid. Qodul pikir asyik merotan orang yang terlambat pergi ke masjid, akan membuat mereka, suatu saat, mengabaikan azan selepas lulus dari pesantren.

Kami memang terus bersama-sama. Sering bertemu membahas pelanggaran. Seperti cara mengambil kupon makan lebih, menjual sandal santri baru di marketplace, membobol gudang barang-barang haram, atau kabur menyaksikan bioskop melalui tembok di belakang kantin.

Kebersamaan yang pantas diingat sebelum kemalangan tak disangka menyatroni. Nama kami dicatat. Bidang Kedisiplinan mengirim kakak kelas untuk memata-matai kami. Pertama untuk Qodul yang sering terpergok masuk kamar lewat tengah hari. Kedua untukku yang sering kabur dari pengajian masjid.

Ketika antre mandi, seorang kakak kelas menguntitku. Ia menaruh gayung berisi alat-alat mandi di belakang gayungku. Bertanya macam-macam sebelum berkenalan dengan lagak lumayan ramah, sampai-sampai aku luput untuk menganggapnya hanya sandiwara.

Alasan pertama mengapa aku akhirnya sadar ialah mengapa kakak kelas, yang asramanya berjarak lima ratus meter dari asramaku, jauh-jauh menumpang mandi ke sini. Kedua adalah ucapannya yang agak gagap yang bisa kuartikan sebagai kepura-puraan tanpa persiapan.

Sedang Qodul ditipu saat makan siang. Seorang santri makan tepat di depannya. Berdalih menanyakan kegiatan ekskul apa yang sebaiknya ia coba, sebelum mendapat nama dan berjanji akan mencari Qodul ketika membutuhkan saran.

Alasan yang mudah dicurigai itu tetap tak dipikirkan oleh Qodul. Sampai nama kami tercatat dan tinggal menunggu waktu untuk dihukum. Coba membalas perlakuan ini, aku dan Qodul mencari-cari orang yang membocorkan nama kami. Mondar-mandir dari satu asrama ke asrama lain, musuhku akhirnya terlihat di pojok ruang TU, tembok menjorok ke dalam tempat kamar mandi khusus guru.

Tanpa berlama-lama kurenggut kerah santri itu. Membenturkannya ke pintu seng, sampai-sampai bunyi nyaring membuat santri di kamar mandi sebelah, menyembulkan kepala dan mengaduh, akibat telak dijitak Qodul. “Emang hobi Lu, nyari kamar mandi jauh?” Bentakku.

Melihatnya melas tanpa ingin melawan, kulepas cengkramanku di kerah. Menamparnya dua kali di telinga kanan. Meledek sifat “tukang lapor” sebelum menendangnya masuk, terjengkang dia di kamar mandi. Tak ketinggalan, Qodul mengguyurnya dua kali.

“Biar kapok dia!” kata Qodul sebelum kami pergi. Meninggalkan dua kakak kelas lain yang gemetar di dalam kamar mandi. Musuhku itu memang bilang, dia hanya disuruh oleh Bidang Kedisiplinan. Biarpun tahu aku kelewatan mengurusnya, demi memberi sinyal agar jangan seenaknya membocorkan namaku ke tiang hukuman, tetap saja kutampar ia. “Masalahnya, Bidang Kedisiplinan berat sebelah! Emangnya kau lihat, teman seangkatan mereka dihukum karena melanggar?” Balasku sambil menguasai amarah.

Sayangnya musuh Qodul lolos dari kejaran. Pemuda kerempeng itu pelari cepat ternyata. Kami berdua hampir tersandung saat mengimbangi kelihaiannya dalam menembus gang.

“Mungkin lain kali, Dul.” Aku menenangkannya, memegang bahu Qodul yang menunduk ngos-ngosan mengambil napas.

Menjelang libur semester. Bidang Kedisiplinan akan merekap jumlah dosa semua santri. Mereka mengumpulkan tiap angkatan di lokasi-lokasi yang jarang dilintasi orang seperti ruangan kelas, gudang, dan bangunan bekas. Mereka mendaftar dosa seperti malaikat, dan mengumumkannya. Sebelum eksekusi dimulai. Hukuman yang dibacakan akan membuat siapapun panik. Kami takut dilindas jadi cumi, disuruh mengitari lapangan basket dengan berjalan bebek, atau berendam di kolam keruh pada pukul dua pagi.

Sebelumnya. Kabar burung menyangkut namaku dan Qodul terus dibicarakan. Beberapa teman menyuruh kami menyerahkan diri berhubung kepalang tak sabar para senior menghukum kami. Perbanyak doa sebelum terpincang-pincang, kata seseorang mengusik.

Enam jam sebelum pengumuman dosa, Qodul mengajakku kabur bersama. Bukan kepengecutan yang membuat kami lari, tetapi khawatir rotan yang dipakai senior untuk memecut betis membekas lama hingga orangtua di rumah ngeri melihatnya. Sebab lima hari lagi libur semester dimulai dan keluarga diperbolehkan menjemput kami.

Kami berangkat pukul dua siang. Santri-santri di tiap kamar disibukkan oleh piket. Menyicil persiapan pulang. Memasukkan pakaian favorit ke dalam ransel atau menyiapkan sandal – yang sebelumnya bebas dipakai siapapun– untuk dibawa ke rumah.

Sore itu kami bergegas, melewati tangga yang dihimpit dua kamar. Menemukan lapang tempat menjemur pakaian. Menunggu azan asar kumandang agar semua santri pergi ke masjid dan tak ada yang menangkap basah. Kepada satu dua santri yang papasan, Qodul dan aku menghanduki lengan dan muka seperti habis berwudu dan hendak salat.

Setelah situasi aman, Qodul menunjukkan mana pegangan yang kuat. Sebuah besi berkarat untuk membantu kami mudah memanjat. Di sekeliling kami hanya pakaian, beberapa baru dijemur dan yang lainnya lecek, berhari-hari dipanasi dan kehujanan karena lupa diambil pemiliknya. Ada guling dengan kapas memburai, kasur basah karena hujan tak tertampung fiber yang pecah.

Qodul mencontohkan bagaimana kokoh tembok menumpu bebannya lalu menarik lenganku untuk bersama-sama meniti kerangka, persis mata-mata meloloskan diri setelah sirine gedung oleh petugas dinyalakan. Kami berhati-hati melangkah. Barangkali berat Qodul akan menarikku jatuh sebelum sampai di luar. Salah injak selangkangan bisa tersangkut di tiang.

Qodul mendarat lebih dulu. Meniban rumput liar. Terdorong ke batang pisang lalu berguling menyebabkan rontok daun muda pepaya. Sedang aku mendarat di pinggiran bata. Terpeleset dan tengkurap untuk beberapa saat.

Kami berada di bawah kanopi. Rapatnya daun mengurangi terang sore. Matahari yang lolos menyoroti bambu-bambu di depan. Berjajar seperti satpam diberi arahan. Buah pisang ranum banyak di sekitar meski kami tak bernyali merampasnya. Rumah berdinding bata muncul tersebar satu dua seperti dibangun secara sembarang.

Qodul melenggang saja ketika aku berhenti untuk mencongkel tanah di celana. Bunyi serangga semakin banyak selagi kami berjalan. Tembok pesantren makin tertinggal. Di depan, benjolan tanah tertutup belukar bergabung jalur setapak ke jalan raya.

“Di sinilah para ustad membuang jin,” jelas Qodul.

Angin mengelus kulit, desir tanda tibanya hujan. Sejuk yang mengitar lamat-lamat meminggirkan daun kering dan menyapu sampah. Qodul terus bercerita. Tentang kegelapan yang pernah mengurung rombongannya juga celana yang sobek saat pertama kali memanjat.

Kubiarkan Qodul mengoceh soal sorot senter yang memburu rombongannya, teriakan satpam, dan sulitnya mencari pijakan pada bata yang rompal. Sebab segores luka yang memerih di lenganku memunculkan bayang kuburan. Kuburan keluarga yang kusingkap dari rumputan liar begitu terjatuh dan salah mendarat.

Ketika Qodul selesai bercerita, bulu-bulu kecil di lenganku berdiri bersamaan.

Begitulah bagaimana aku bertemu sesosok mahluk astral yang kini menghuni plafon di atas kamar. Ia berasal dari kuburan yang dulu tak sengaja kuinjak. Ia mau membalasku yang sembrono. Mengirim bunyi-bunyian yang membuatku terjaga semalaman. Pertemuan dengan Qodul di medsos memicu ingatan ini. Pertemuan yang kubutuhkan. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan. Sebab aku tak tahu pasti cara memulangkan jin ke tempat asal.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Ilham Maulana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email