Aku terjebak dengan istri orang di rumahku sendiri. Cepat atau lambat barangkali urusannya akan berabe jika terlalu lama membiarkannya menumpang di rumahku. Keluarganya akan mencari dan di saat yang sama keluargaku yang berkunjung akan mempertanyakan siapa perempuan ini. Belum lagi para tetangga sudah mulai melirik tak nyaman saat memandang Elfa. Aku harus mengusir Elfa. Tetapi bagaimana caranya?
Sudah hampir satu bulan Elfa di sini tanpa melakukan kegiatan yang membuatku berpikir untuk lebih lama menerimanya. Kami memandang atap yang mulai rembes oleh tetesan air dari celah genteng. Badai sore ini cukup membuat beberapa lembar genteng di rumahku bergeser dan memaksaku untuk menyebarkan beberapa ember untuk menampungnya.
Elfa menunjuk-nunjuk dengan jarinya tetapi matanya sesekali melipir ke drama Korea di gawainya. Aku tak masalah ia mau berapa abad numpang berak dan molor di rumahku, setidaknya jika ia masih tahu diri. Tingkahnya kerap kali membuatku jengkel.
Pada awal kedatangannya, Elfa bilang akan bersikap baik. Sialnya, itu hanya bertahan beberapa hari saja. Aku sudah mengira keadaannya akan seperti ini. Halnya ketika kejadian genteng terbang itu melanda sepertinya aku harus melakukan sesuatu, misalnya dengan memintanya untuk berhenti bersikap arogan atau aku akan mengusirnya. Tetapi aku tak tega melakukannya.
Aku masih ingat. Siang itu aku sedang asik berbincang dengan Wulan Guritno membahas soal film Soe Hok Gie. Aku menanyakan bagaimana perasaannya kepada Nicolas Saputra. Belum sempat ia menjawab tiba-tiba terdengar ketukan jendela kamar. Sangat keras. Begitu mendengar suara itu aku segera sadar bahwa ada yang telah mengganggu tidur siangku.
Aku bangun, menyumpah sekali, lalu menengok ke jendela. Aku melihat seorang perempuan bergamis, berhijab hitam dengan air muka memerah. Matanya menampung air yang seketika terlihat seperti kubangan di pinggiran jalan. Bukan Wulan Guritno, gerutuku.
Aku perhatikan perempuan itu. Ternyata Elfa. Aku tak sempat memikirkan sejak kapan ia berpenampilan sereligius itu. Aku bergegas membukakan pintu rumah. Ia tertunduk sebentar lalu merengek sambil membuka hijabnya begitu aku mengajaknya masuk. Lalu Elfa berterus terang bahwa ia sedang kabur dari suaminya di Makasar tanpa memberitahu perkaranya apa. Singkatnya ia meminta untuk tinggal di rumahku setidaknya sampai mendapatkan pekerjaan.
Rumah ini kutempati sendirian sejak ibuku meninggal dua tahun yang lalu. Sejak itu pula kekhawatiranku tentang rumah ini tenyata benar. Tak terurus. Aku bahkan jarang membersihkan sarang laba-laba yang menumpuk di pojokan dinding setiap ruangan, jarang menyikat lantai kamar mandi dan tak becus membetulkan genteng bocor. Sebentar lagi rumah ini akan menjadi sarang dedemit. Maka dari itu kedatangan Elfa menjadi sosok penghilang rasa khawatirku pada rumah meski cuma sekejap.
Dua hari berlalu setelah aku mengizinkannya tinggal, sehabis pulang kerja aku memergoki Elfa sedang menyapu ruang tengah. Aku cek dapur dan kamar mandi sudah agak rapi dan bersih meski pojokan dinding masih menjadi tempat nyaman bagi para laba-laba. Aku senang, setidaknya itu awal yang baik.
Kami ngobrol secukupnya lalu masing-masing tidur di kamar terpisah. Namun, pada hari ketiga aku mendapati ia sedang murung di kamarnya. Aku mendekati Elfa yang sedang khusuk mendekap kedua lututnya. Wajahnya tenggelam di sana.
Elfa lalu mengangkat wajahnya lalu tersenyum. Senyum yang memang dibuat untuk menyembunyikan kesedihan. Aku merasa kikuk oleh senyuman itu. Kadarnya terlalu manis untuk orang yang sedang bersedih. Saat itu aku berharap ia sedang membutuhkan sebuah pelukan.
“Aku sangat membenci keadaan seperti ini,” katanya.
“Kamu mau kuajak keluar supaya lebih fresh? Atau kukabari saja teman-temanmu untuk kemari.”
“Gak usah. Aku gak suka orang-orang melihatku dengan iba. Lagipula, aku gak ingin mereka khawatir.”
Aku mengangguk. Aku bilang bersedia mendengarkan ceritanya kapan pun meski aku bukan kawan dekatnya. Ia tampak marah saat aku bicara seperti itu. Sejak hari itu dan hari-hari selanjutnya Elfa mulai bermalas-malasan.
Saat masih kuliah semester enam kami berempat berteman cukup akrab. Awalnya hanya aku dan seorang teman bernama Suci. Kami bertukar pesan setelah mendapatkan jadwal bimbingan skripsi. Setelah beberapa pertemuan, Suci membawa dua kawan lain. Elfa dan Rola.
Hidup di antara perempuan membuatku makin akrab dengan wangi-wangian, sabun cuci muka, perawatan kulit dan pernak-pernik. Aku rasa mereka kerasan karena pembawaanku lebih feminim ketimbang lekaki kebanyakan. Aku mengerti hal itu, tetapi sejauh ini aku masih hetero. Bohong belaka jika aku tak ada keinginan untuk bercumbu dengan mereka. Aku hanya tahu batasan.
Dalam bayang-bayang keakraban dengan mereka sebagai perempuan, aku tak berniat memacari siapapun dari ketiga orang ini. Bukan karena mereka tak menarik dan menggairahkan, tetapi karena mereka bertiga perempuan yang cukup populer.
Pada semester delapan Elfa lulus dan itu merupakan awal dari drama percintaan kami berdua. Elfa memulainya. Ia mengucapkan kata-kata muluk kepadaku. Dia bilang, aku seperti pegasus yang terbang di pegunungan Alpen. Sejujurnya aku tak mengerti apa maksudnya. Membayangkannya hanya menghabiskan waktu yang sia-sia. Tetapi yang jelas ada kalimat lain yang tersambung dengan kalimat itu.
“Aku suka kamu,” katanya.
Aku menolaknya. Aku tak begitu ingat persoalannya apa, tetapi Elfa bilang kalau aku lelaki brengsek.
Maka hubungan kami berempat mulai canggung. Bahkan aku tidak nyaman dengan perkawanan kami lagi. Kemudian kami jarang bertemu. Lalu aku mendapat kabar dari kawan yang lain bahwa Elfa telah pulang ke Makasar. Aku dan Elfa hilang kontak. Disusul Suci dan Rola.
Sekarang di rumahku tidak ada hari yang baik di antara kami. Terkadang supaya suasana lebih cair aku mengajaknya bicara, tetapi Elfa selalu menjawab pertanyaanku dengan ketus. Aku lelah mencobanya dan akhirnya berhenti bertanya. Akhirnya kami saling diam seolah tak ada siapapun di rumah.
Begitulah. Kini kami memandangi tetesan atap yang bocor bersama. Duduk mematung tanpa menghiraukan satu sama lain.
Aku pikir ini waktu yang tepat untuk mengatakan yang sejujurnya. Namun, Elfa lebih dulu bertanya tanpa memalingkan wajahnya ke arahku. “Kamu mulai jengkel kepadaku?”
“Bagaimana menjelaskannya, ya. Begini. Kamu numpang tidur dan makan di rumah ini tanpa bicara apa pun. Tanpa meminta pertolongan apapun, tanpa aku tahu persoalan apapun tentangmu. Menurutku itu hal ganjil untuk orang yang tinggal di rumah yang sama,” kataku.
“Kalau kamu sudah berkeluarga, menyimpan rahasia sendirian akan menjadi hal yang biasa saja. Lumrah.” Kali ini Elfa menyimpan gawainya. Ia menatapku sangat dalam.
Aku ingin membalasnya tetapi Elfa malah mulai bercerita. Ia bilang setelah kembali ke Makasar kehidupannya tidak berjalan mulus. Orangtuanya terlilit utang. Ia harus segera mendapatkan uang dengan bekerja atau menikah dengan orang kaya. Tentu ia tidak tertarik dengan pilihan kedua.
Saat mencari pekerjaan ia malah terjerumus ke lingkungan yang tak terduga. Awalnya ia berkenalan dengan seorang rekan yang sama-sama sedang mencari peruntungan dengan mengirimkan seperangkat lamaran pekerjaan dari satu kantor ke kantor yang lain.
Suatu ketika rekan senasibnya itu menawari sebuah pekerjaan, yaitu menjadi kurir LSD. Elfa terima pekerjaan itu tanpa pikir panjang. Perlahan ia lunasi utang orangtuanya. Mereka berterima kasih tanpa menaruh curiga kepada Elfa.
Di saat yang sama ibunya telah menjodohkan Elfa dengan seorang laki-laki kaya, berjanggut lebat, gagah dan alim, tetapi umurnya terpaut jauh dengan dirinya. Demi penghidupan di masa depan akhirnya Elfa menerima tawaran orangtuanya.
Karena pekerjaannya begitu terikat dengannya, bos penjualan barang haram tersebut tidak merelakan Elfa untuk berhenti. Ancamannya tidak main-main. Elfa akan dihilangkan jika nekat berhenti atau kabur. Tanpa memikirkan pilihan lain, transaksi barang haram masih ia lakukan meski sudah menikah.
Berbulan-bulan kemudian Elfa mendengar kabar bahwa bisnis bosnya telah terendus karena kasus penyelundupan narkoba yang melibatkan seorang Jendral. Ia mulai gelisah dan sejak saat itu ia berhenti beroperasi dan berhenti berbicara kepada suaminya. Siapa sangka, mungkin diam-diam suaminya mulai curiga. Elfa mulai merasakan hal-hal ganjil seperti mulai ada orang yang tak dikenalinya mondar-mandir di depan rumahnya sehingga ia memutuskan untuk pergi tanpa pesan.
Bertenggernya Elfa di rumahku sudah ia rencanakan sejak di Makasar. Mendengar cerita itu aku hanya melongok tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tanganku bergetar ketika ceritanya selesai.
Sesaat kemudian ada yang mengetuk pintu rumahku. Elfa mempersilakanku untuk membukanya. Aku menoleh ke jendela untuk melihat siapa yang datang di saat tegang seperti ini. Dua orang pria tak kukenal sedang menunggu pintu dibuka.
Kemudian aku memandang Elfa. Ia sedang mendekap lututnya, sambil mengembangkan senyumnya kepadaku.
Karawang, 2023
***
Editor: Ghufroni An’ars