Banyak pembaca menanti terbitnya novel ini karena status yang disandangnya sebagai juara 1 Sayembara Novel DKJ 2021. Kereta Semar Lembu terbit pada 2022, setahun setelah gelar tersebut dianugerahkan. Novel dengan ketebalan 320 halaman ini bercerita tentang bagaimana Semar Lembu, yang juga bercerita, tentang sejarah hidupnya yang aneh.
Pembaca akan menghela napas panjang mengikuti kisah tersebut. Dikatakan sebagai sejarah hidup juga bukan tanpa alasan. Berdasarkan lini masa kehidupannya, hidup Semar Lembu sejalan dengan beberapa rangkaian sejarah perkembangan bangsa Indonesia yang sudah akrab dan umum diketahui.
Sejak lahir, si tokoh utama dalam novel ini sudah dilimpahi keanehan. Lahir bersama sebuah kerincing dari rahim seorang pelacur di zaman penjajahan Belanda, di samping rel kereta pertama di tanah Jawa yang masih dalam proses pembangunan.
Apa bisa dibayangkan memiliki saudara kembar sebuah kerincing dari rahim seorang pelacur? Bagaimana rasanya lahir dan disaksikan para buruh cangkul rel kereta api pertama di tanah Jawa? Ya! Aneh. Dan kasihan.
Tidak sampai di situ saja, keanehan dan keganjilan terus berlanjut hingga ia dewasa, bahkan setelah ia mati pun hal ajaib masih menguntitnya. Untung saja sebagian besar orang di sekitar Lembu, mulai dari para pelacur hingga buruh pembangunan rel kereta, memiliki watak yang wajar—untuk tidak mengatakan jahanam.
Setidaknya, orang-orang itu masih menganggap Lembu ada sebagai bocah, serta sudi bermain-main dengannya.
Kerasnya pekerjaan mereka, membuat beberapa hal tabu menjadi remeh, sehingga wajar dilakukan di depan mata makhluk lain. Seperti bacok-membacok, judi-berjudi, hingga tubuh-bersetubuh.
Namun, selama hidupnya, ada hal yang menarik dan patut disyukuri dari perjalanan hidup Lembu; ia diasuh oleh para Punakawan.
“Urusan takdir memang bukan untuk dicerna, tapi untuk diterima.” Begitu kata Mbah Gareng kepada Semar Lembu pada suatu ketika.
Ucapan itu seolah menjadi tulang dari tubuh kehidupannya. Membuatnya kuat dalam keputusasaan atas apa yang harus ia hadapi sepanjang masa hidup dan matinya.
Suratan takdir sering kali membuatnya jengkel. Tapi apa boleh buat? Toh, di balik yang menjengkelkan-menjengkelkan itu dikenal hal yang biasa disebut dengan hikmah. Salah satu hikmah yang Lembu dapat dari kekampretan takdirnya adalah seperangkat Punakawan yang selalu membayanginya.
Kehadiran Punakawan membuat warna cerita lebih meriah. Tak cuma menemani tokoh utama, pada tataran cerita keseluruhan, disertakan pula kisah-kisah pendukung untuk menguatkan peran para Punakawan, serta apa yang membuat mereka menjelma hikmah atas takdir Semar Lembu.
Peran dan kehadiran Punakawan hampir hanya menjadi pemanis belaka jika tak ada kisah-kisah “sampingan” itu. Di samping itu, meskipun beberapa cerita menunjukkan latar kejawaan, novel ini memiliki tingkat keterbacaan yang cukup untuk pembaca non-Jawa. Begitupun terkait dengan Punakawan atau tokoh pewayangan. Akan sangat merepotkan jika pembaca tak memiliki bekal pembacaan yang cukup untuk benar-benar hanyut dalam cerita.
Namun, novel ini seolah mempertimbangkan keterbacaannya pada pembaca awam, meski tak semuanya dapat dijangkau.
Novel ini mengusung tema yang mulai jarang dibahas. Sudah lama rasanya jebolan Sayembara Novel DKJ tak menyentuh ranah realisme magis. Dari tema ini pula Kereta Semar Lembu tampak mencolok dibanding karya-karya seangkatannya atau bahkan yang lebih tua.
Saat yang lain masih dalam usaha mengelaborasi unsur kebudayaan lokal, novel ini mengambil jalan lain. Unsur magis terbaca sejak awal bagian cerita. Bagaimana lembu dan kawan-kawannya terjebak di “dunia antara”. Antara alam dunia dan alam baka. Antara sudah mati dan masih hidup. Mau dibilang sudah modar, masih di dunia dan terus menua. Mau dianggap masih hidup, enggak masuk akal.
Dari awal, pembaca seolah diminta untuk mengendurkan standar-standar logis dalam kehidupan nyata dengan cara menjejalkan rangkaian hal yang tak lazim. Namun, keanehan-keanehan yang ditampilkan juga menempel pada realitas yang terjadi pada dunia normal.
Antara yang normal dan yang ajaib dirangkai saling menyusun menjadi kesatuan yang padu. Meskipun pada satu-dua bagian tak luput membuat pembaca menciptakan kerut di kening, senyum skeptis, dan sebuah apa iya?
Setidaknya ada dua hal menarik sekaligus berpotensi menjadi sandungan pembaca untuk mengikuti kisah Semar Lembu. Pertama, soal latar kejawaan dan pewayangannya. Bukan berarti non-Jawa pasti tak ada pengetahuan sama sekali soal wayang dan Jawa, bahkan untuk orang Jawa saja, kisah wayang—berikut dengan tokoh-tokohnya—belum tentu menjadi sesuatu yang diakrabi.
Kedua, cerita yang di luar nalar. Pembaca harus melepas sejenak perangkat logika berpikir ilmiah ketika menyimak kisah Lembu. Jika tidak, mungkin pembaca akan sulit mengkhatamkan novel ini. Pun kalau khatam, pembaca akan selesai dengan tanda tanya-tanda tanya yang mengapung di atas kepala. Namun, penganggitan setiap unsur cerita dan kebaruan yang dihadirkan dalam Kereta Semar Lembu oleh Zaky Yamani menunjukkan keberanian mengambil jalan lain dan menjadi beda, sekaligus membuktikan kemahiran pengarang untuk mengelaborasi cerita.
***
Editor: Ghufroni An’ars