Menjadi bahagia di masa tua adalah impian setiap manusia. Namun tak semua orang bisa merasakannya. Potret hari tua seringkali digambarkan dengan penuh nestapa kesendirian. Dengan alasan ini jugalah, banyak orang yang memilih tidak punya anak (childfree) untuk mengejar kebahagiaannya sendiri.
Film Thailand How to Make Millions Before Grandma Dies (2024) mengangkat pembahasan itu dengan epik. Konfliknya sederhana, melekat dengan banyak kehidupan keluarga. Tentang seorang anak yang sudah mempunyai kehidupan baru, mereka sibuk hingga tak lagi memperhatikan orang tuanya.
Pedahal kebahagiaan utama orang tua yang bertransformasi menjadi kakek-nenek hanyalah kebersamaan dengan anak-cucu mereka. Ini menjadi pesan utama yang disampaikan dalam film ini.
“Kau tahu apa yang diinginkan oleh kaum lansia (orang tua), tapi tak pernah didapat dari anak mereka? Jawabannya adalah waktu”, kata Mui salah satu karakter dalam film berdurasi dua jam tersebut.
Kekuatan film ini bukan terletak pada alurnya yang tak terduga. Bukan juga dengan kemapanan sinematografi kameranya. Kelebihan film ini berasal dari kisahnya yang emosional. Tidak banyak kutipan yang dihadirkan, tetapi dari gerak dan mimik pemainnya, menghadirkan pesan yang mendalam.
Kita seolah melihat relasi nenek dan cucu yang kian sulit didapatkan hari ini. Karenanya film ini menghadirkan dua sudut pandang sekaligus, yaitu seorang nenek dengan cara pandang mistis-tradisional dan generasi milenial yang cenderung modern-rasional dalam melihat dunia.
Selama ini ada pendapat bahwa pandangan konvensional orang tua tak dapat duduk bersanding dengan gaya hidup anak muda yang serba modern. Sayangnya pendapat tersebut dipatahkan film ini. Faktanya, bukan tidak bisa disatukan, tetapi sering kali generasi baby boomers ini tidak punya kesempatan untuk berbagi ruang dengan Generasi Z dan Alpha.
Sebab relasi antar manusia itu berbeda dengan relasi instruksional. Mekanisme robot memang rigid dan kaku. Namun manusia bukan robot. Relasi sesama manusia itu fleksibel, lentur, dan berfokus pada kalbu. Manusia bisa beradaptasi dan menyesuaikan dengan lingkungan. Di sinilah penonton bisa melihat, bagaimana sang nenek dapat menikmati filter instagram dan sang cucu dapat memahami falsafah hidup sederhana yang terinspirasi dari sosok dewa.
Selain pandangan dikotomis antara generasi old dan new tersebut, konflik yang sering terjadi dalam keluarga juga berasal dari harta. Oleh karenanya, lirik lagu “harta yang paling berharga adalah keluarga” bisa diubah menjadi “harta yang paling berharga adalah harta itu sendiri”. Atau bisa juga dipahami bahwa sesama keluarga akan membangun cara untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya. Sebagaimana potret kehidupan politik di Indonesia saat ini.
Apa pun itu, pada akhirnya, uang menentukan rasa sayang. Bahkan dalam relasi terkecil kehidupan bermasyarakat, yaitu keluarga. Puncak sengketa harta dalam bahtera rumah tangga adalah saat pembagian harta warisan. Ketika semua merasa berhak mendapat lebih dari yang lain. Di sinilah sumber malapetaka. Bakti anak kepada orang tua hanya demi dapat harta yang berlimpah. Jika dulu kita diceramahkan dengan mitos Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu karena tak berbakti; maka orang modern hari ini berbakti untuk mendapat balas budi.
Film ini mencoba mengoreksi bahwa berbakti itu bukan soal untung rugi. Berbakti adalah tanda seorang anak-cucu yang mempertahankan laku sesuai hati nurani. Kalau pun tak mendapat harta warisan, ada rasa kebahagiaan yang tak dapat dibeli tatkala seorang anak mampu mengantarkan orang tuanya ke tempat peristirahatan terakhir.
Bagi generasi muda, film How to Make Millions Before Grandma Dies memberikan pesan kuat tentang arti penting keluarga dan bagaimana kita mendesain hari tua yang didambakan. Bukan sebatas dengan mendaftarkan diri pada program pemerintah “Jaminan Hari Tua”. Sebab hari tua tidak cukup hanya dengan terjamin secara finansial, tetapi juga bersama siapa kita menghabiskan waktu di usia senja.
Bukan pula dengan mendesain rumah yang mewah atau menyicil KPR sejak muda. Secara artifisial boleh jadi rumahnya tampak megah, tetapi maknanya tak menggugah. Sebagaimana lirik lagu Sal Priadi, “Kamu boleh namai itu rumah, selama ada mereka yang kamu cinta”.
Dengan segala hiruk-pikuk kondisi negara saat ini, anak muda banyak yang cemas dengan masa depannya. Dari film ini kita diajarkan satu narasi, “apa yang ditanam, itulah yang dituai”. Langkah hidup apa yang dipilih di masa muda, itulah cerminan masa depan di hari tua.
*****
Editor: Moch Aldy MA