“ITB membuat kebijakan kepada seluruh mahasiswa ITB yang menerima beasiswa UKT, yaitu beasiswa dalam bentuk pengurangan UKT, diwajibkan melakukan kerja paruh waktu untuk ITB. Kebijakan ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa penerima beasiswa UKT, berkontribusi kepada ITB.” Demikian surat resmi dari kampus ITB kepada sekitar 5.500 mahasiswa.
ITB mewajibkan kerja paruh waktu untuk semua mahasiswa yang menerima keringanan UKT, tanpa terkecuali. Mereka yang enggan memenuhi kewajiban ini diancam atas pencabutan status “beasiswa UKT” dan dipaksa membayar penuh tak peduli nasib finansialnya. Kebijakan tersebut disodorkan kepada kami, para mahasiswa, sekonyong-konyong tanpa diskusi terbuka, sosialisasi, dan proses fafifu lainnya. Bayangkan, suatu institut yang disebut-sebut sebagai Institut Terbaik Bangsa, yang seharusnya menjadi poros intelektual serta riset dunia, justru menciptakan kebijakan yang tak mencerminkan corak akademisnya sama sekali.
Kondisi paradoksal di atas memicu satu pertanyaan introspektif: apakah kampus kami memang layak menyandang predikat Institut Terbaik Bangsa, ketika proses demokrasi serta intelektualitas dicederai sedemikian rupa oleh petinggi-petingginya sendiri?
Kami, selaku putra-putrinya, sungguh enggan mengakui predikat tersebut. Lempar saja predikat itu untuk kampus lainnya; institut kami sibuk menghegemoni mahasiswa demi kepentingan institusional. Jika tidak berpikir demikian, kami merasa tak sanggup menanggung konsekuensi bahwa wajah terbaik Bangsa, dalam fasad paling akademis sekali pun, telah dipenuhi koreng-koreng otoritarianisme dan anti-demokrasi.
Keangkuhan Rektorat dan Penyakit Kampus
Per hari Rabu (25/9/2024), Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB—representasi mahasiswa ITB di ranah rektorat—melakukan audiensi dan advokasi kepada pihak kampus. Hasil advokasinya berupa 3 lembar HVS memuat 12 poin utama, dapat diakses secara terbuka di laman Instagram @km.itb, yang jika dibaca saksama oleh mahasiswa (maupun mantan mahasiswa) berakal mana pun, akan membuatnya mengernyitkan dahi.
Poin pertama, latar belakang pihak kampus mengeluarkan kebijakan tersebut tanpa sosialisasi karena pihaknya menganggap, pimpinan kampus berhak memutuskan kebijakan tanpa melibatkan mahasiswa sama sekali. Terdengar familier, bukan?
Tak ayal, kampus merupakan miniatur negara. Ia merepresentasikan bagaimana polah tingkah pemerintah yang hobi menciptakan kebijakan tanpa partisipasi publik, bahkan berani mengebutnya dalam beberapa malam jika terdapat kepentingan politik tertentu. Suka atau tidak suka, rektorat kampus telah menjelma sebentuk pemerintah. Ia mempertahankan keangkuhannya sebagai pemegang otoritas hingga, tanpa sadar, terjebak dalam ilusi kekuasaannya sendiri. Apakah rektorat itu mengganggap bahwa mereka berkuasa atas kehidupan mahasiswa?
Prinsipnya sama seperti relasi antara pemerintah-rakyat; pemerintah melayani kebutuhan rakyat, sementara rakyat mendelegasikan otoritas kepada pemerintah. Namun, peran tersebut tampaknya terbolak-balik dewasa ini. Apakah jajaran pemerintah sekarang merupakan representasi suara rakyat yang keluar dari corong demokrasi? Atau, apakah mereka sudi mewakili kepentingan rakyat di atas tataran kepentingan kelompok politiknya? Begitu pun yang terjadi pada kasus rektorat-mahasiswa.
Rektorat mengukuhkan dirinya sebagai patron, yang dengan demikian, berhak menghegemoni mahasiswa sebagai klien. Contoh konkret relasi kuasa ini telah diakui sendiri oleh pihak rektorat: mereka merasa berhak sebebas-bebasnya menentukan kebijakan kampus, sekali pun itu berhubungan dengan hajat hidup ribuan mahasiswa. Bahkan, mereka menyatakan hal tersebut secara literal tanpa tedeng aling-aling.
Penyakit kronis tersebut, saya yakin, tidak hanya menjangkiti kampus saya. Sebab, faktor risiko penyakit “waham kekuasaan” hampir pasti ditemukan dalam lingkar otoritas mana pun. Cukup dengan memadukan keserakahan dan kekuasaan, maka voila! Terciptalah sistem pemerintahan kampus yang telah kehilangan nilai-nilai keluhurannya setelah diberangus oleh sikap otoritarian.
Politik (UKT) Balas Budi dan Eksploitasi Mahasiswa
Setelah hampir satu abad praktik politik etis berakhir, ia memutuskan hidup kembali dalam wujud yang baru; merasuk dan merusak relung-relung kehidupan kampus kami. Petinggi kampus menganggap bahwa diversifikasi nominal (keringanan) UKT, yang teregulasi dalam Permendikbud No. 2 Tahun 2024, setara dengan “beasiswa UKT”. Anggapan tersebut tak ubahnya bentuk kecacatan nalar yang serius.
Sejak kapan diversifikasi nominal UKT berdasarkan status ekonomi keluarga, yang sejatinya merupakan hak esensial mahasiswa menurut undang-undang, dipelintir sedemikian rupa menjadi “beasiswa” yang mengharamkan penerimanya untuk taken for granted? Diksi “beasiswa UKT” yang dilontarkan pihak kampus pun sedari awal sudah problematik.
Bahkan, dengan dasar yang begitu cacat nalar, pihak kampus masih bersikukuh agar mahasiswa memberikan timbal balik kepada kampusnya. Timbal balik tersebut berkisar penugasan administratif, yang kurang mampu mengembangkan kapabilitas intelektual mahasiswa, selain untuk bekerja di bawah tekanan dan—mungkin—di luar jam kerja.
Kejanggalan tidak berhenti sampai di situ. Ketika pihak kampus mengklaim bahwa jumlah jam kerja maksimal adalah 2 jam/minggu, dan klaim tersebut hendak diverifikasi, mereka justru menolak untuk memberikan surat perjanjian kerja. Dalihnya adalah kebijakan timbal balik merupakan moral diri mahasiswa yang telah dibantu oleh pihak kampus. Namun, tanpa dokumen resmi, apakah kampus bisa menjamin bahwa mahasiswa dapat bekerja hanya sesuai jam kerjanya?
Polah tingkah ini persis seperti manuver politik yang meliuk-liuk, mencari celah terkecil dalam lubang hukum, lalu berupaya mengeksploitasinya demi kepentingan kelompok patron. Kritik yang sekarang merebak adalah peringatan keras untuk petinggi kampus kami, pun bagi kampus-kampus lainnya, supaya tidak menganggap mahasiswa sebagai objek eksploitasi dan coba-coba kebijakan. (*)