Tulisan opini berjudul “UU TNI Bukan Dwifungsi ABRI Gaya Baru” yang beberapa waktu lalu tayang sangat menarik sehingga membuat saya tergerak untuk meresponsnya. Dalam ranah akademik—khususnya di ranah sipil yang menjunjung tinggi demokrasi—“balas-membalas” merupakan hal yang lumrah, biasa, dan wajar. Terlebih jika perdebatannya menyangkut masa depan supremasi sipil dan arah reformasi sektor keamanan di negeri ini.
Tulisan tersebut secara umum berusaha menenangkan kekhawatiran publik bahwa revisi Undang-Undang TNI bukanlah bentuk baru dari Dwifungsi ABRI. Namun, sayangnya, narasi yang disampaikan terlalu normatif, dangkal, dan tidak menyinggung persoalan struktural yang lebih dalam. Ia seolah menutup mata terhadap realitas relasi kuasa antara militer dan sipil yang belum pernah benar-benar setara sejak era reformasi.
Reduksi atas Makna Dwifungsi
Penulis menyederhanakan konsep Dwifungsi ABRI hanya sebatas pelibatan militer dalam jabatan legislatif dan eksekutif. Padahal, dalam sejarahnya, dwifungsi adalah paradigma kekuasaan yang melegitimasi dominasi militer di pelbagai aspek kehidupan nasional—politik, ekonomi, hingga sosial-budaya. Militerisme tidak selalu tampil kasar; ia bisa hadir dalam bentuk yang lebih rapi, sistematis, dan dibungkus retorika “penyesuaian zaman.”
Baca juga:
- Dari Dwifungsi ke Multifungsi: Melihat TNI Menari di Atas Kuburan Reformasi
- RUU TNI: Mengembalikan Dwifungsi ABRI dalam Wajah Baru?
Ketika revisi UU TNI membuka ruang penempatan perwira aktif di lembaga-lembaga sipil strategis, kita tidak bisa melihatnya sekadar sebagai “efisiensi” atau “respons atas tantangan keamanan baru.” Ini patut dibaca sebagai proses creeping militarism, istilah yang digunakan oleh Stepan untuk menggambarkan ekspansi bertahap militer ke ranah sipil dengan alasan yang terdengar masuk akal, seperti stabilitas dan profesionalisme.
Apalagi Indonesia belum memiliki sistem pengawasan sipil yang kuat terhadap militer. DPR kerap kompromistis, media mengalami tekanan halus, dan masyarakat sipil yang kritis mulai dicap “anti-negara”, “antek-asing”, “anti-Pancasilais”, dan sejenisnya. Dalam situasi seperti ini, kehadiran militer di ranah sipil bukan soal fungsi semata, melainkan soal kuasa—dan kuasa yang tak diawasi rentan menjadi dominasi.
Profesionalisme Semu dan Supremasi Sipil yang Kosong
Penulis menyebut revisi UU TNI sebagai upaya menyesuaikan diri dengan tantangan baru, seperti kejahatan siber dan ancaman non-konvensional. Namun, pertanyaannya: apakah hanya militer yang bisa menjawab tantangan itu? Mengapa negara tidak justru memperkuat kapasitas sipil untuk menangani sektor-sektor ini?
Huntington (1957) pun menjelaskan pentingnya objective civilian control—yakni menempatkan militer dalam batas-batas profesionalnya agar tidak mencampuri urusan sipil. Sayangnya, revisi ini justru condong ke subjective civilian control, di mana militer ikut menentukan ruang sipil dengan “restu” elite politik. Di balik istilah “profesional,” ada praktik-praktik yang justru menjauh dari prinsip demokrasi.
Klaim bahwa revisi UU TNI tetap menjaga supremasi sipil pun patut dipertanyakan. Supremasi sipil bukan hanya tertulis di dalam hukum (khususnya dalam teks), tetapi harus tampak dalam praktik politik sehari-hari. Apakah presiden atau DPR benar-benar bisa menolak usulan militer soal penempatan perwira aktif di jabatan sipil? Atau justru mereka sudah terseret dalam kompromi yang melemahkan kontrol sipil?
Baca juga:
- Perluasan Cakupan Militer Dalam RUU TNI: Dilema Perwira Nonjob?
- Senjakala Supremasi Sipil di Indonesia
Cottey, Edmunds, & Forster (2002) menyebut situasi seperti ini sebagai post-authoritarian civilian control—yang mana sipil tampak memegang kendali, tetapi militer tetap punya pengaruh informal yang besar. Dalam hal ini, hukum kerap menjadi alat legitimasi, bukan pembatas kekuasaan.
Delegitimasi Hak Sipil
Ajakan agar masyarakat tidak “terpancing” dan tidak melakukan demonstrasi adalah bentuk delegitimasi halus terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul—hak yang dijamin oleh konstitusi dan hukum HAM internasional. Menyamakan demonstrasi dengan anarki mencerminkan logika kekuasaan yang curiga terhadap warganya sendiri, khas rezim otoriter. Padahal, demonstrasi adalah bagian sah dari ekspresi politik warga, dan pernah menjadi penopang penting reformasi, termasuk reformasi militer.
Sementara itu, mendorong masyarakat hanya menempuh jalur Mahkamah Konstitusi terdengar ideal, tetapi kerap bersifat simbolik. Ketika proses legislasi tertutup dan minim partisipasi, MK tidak bisa menjadi pelarian atas kegagalan politik yang lebih besar. Menjadikan MK sebagai “keranjang keluhan” justru mengalihkan tanggung jawab untuk membuka ruang deliberasi publik yang sejati dan demokratis.
Negara yang Mengandalkan Tentara Tidak Akan Maju
Ketergantungan negara pada militer untuk menyelesaikan persoalan di luar fungsi pertahanan mencerminkan kegagalan dalam membangun sektor sipil yang kuat. Dalam wawancaranya dengan Tempo, Agus Widjojo menegaskan bahwa di banyak negara berkembang, tentara kerap dijadikan solusi atas semua masalah—dari logistik pangan hingga birokrasi. Bukannya menyejahterakan rakyat, langkah ini justru memperlemah partisipasi sipil dan membuat negara mandek di bawah bayang-bayang kekuasaan militer.
Pengangkatan prajurit aktif sebagai Sekretaris Kabinet dan kenaikan pangkat di luar mekanisme lazim menunjukkan bagaimana revisi UU TNI dapat menjadi alat legitimasi penyimpangan. Ketika hukum lebih melayani kekuasaan ketimbang membatasinya, ia kehilangan makna demokratis. Seperti ditegaskan Agus Widjojo, negara yang terlalu mengandalkan militer justru sulit maju. Revisi ini berisiko menghadirkan militerisme gaya baru—bukan dengan senjata, tapi lewat celah legal yang dirancang rapi.
Masalah utama bukan hanya isi pasalnya, tetapi logika kuasa yang mendasarinya. Hukum yang memperluas ruang militer di ranah sipil tanpa pengawasan kuat akan melemahkan supremasi sipil. Dalam situasi seperti ini, kita butuh lebih banyak figur seperti Agus Widjojo—militer yang sadar batas, berpihak pada demokrasi, dan paham bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk menahan diri.
Tulisan ini dibuat bukan sebagai bentuk penolakan terhadap militer, apalagi kebencian. Justru sebaliknya—sebagai bentuk kecintaan saya pada negeri ini, termasuk terhadap institusi TNI yang seharusnya tetap kuat, profesional, dan dihormati karena menjalankan fungsinya secara proporsional.
Kritik ini lahir dari harapan agar kita tidak mengulangi kesalahan sejarah, dan agar reformasi yang diperjuangkan dengan susah payah tidak kembali dikikis secara perlahan lewat regulasi yang tampak sah, tetapi mengancam fondasi demokrasi. Sebab, mencintai negeri ini pun berarti berani mengingatkan kekuasaan agar tidak melewati batas. (*)
Editor: Kukuh Basuki