Mencari Manfaat Partai Politik di Tengah Kuasa Oligarki

Muhammad Yazid Al-Faizi

3 min read

Meskipun sistem politik di Indonesia bisa dikatakan matang secara prosedural, tingkat kepercayaan dan pemahaman masyarakat terhadap pilar utamanya, partai politik, justru berada di ujung jurang.

Secara normatif, dalam kacamata hukum tata negara, partai politik memiliki mandat yang sakral dan vital, yaitu sebagai fasilitator pendidikan politik bagi warga negara, saluran artikulasi kepentingan rakyat, dan dapur rekrutmen kepemimpinan bangsa yang ideal.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, fakta yang ada justru sebaliknya: masyarakat mendapati partai politik hanya tampil sebagai entitas yang sibuk saat pemilu, terlalu larut dalam drama sengketa internal, dan terkesan seragam dalam perilaku politik yang oportunistik, transaksional, dan elitis.

Kesenjangan besar antara idealitas konstitusional dan realitas empiris inilah yang melahirkan pertanyaan mendasar yang menggantung di benak publik: Untuk siapa sebenarnya partai politik ini bekerja? Dan apa manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari masyarakat?

Gagal Menjadi Pilar Ideologis, Terjebak Menjadi Mesin Kekuasaan

Kebingungan masyarakat Indonesia dalam menemukan manfaat substantif dari partai politik adalah cerminan langsung dari kegagalan partai politik bertransformasi dari sekadar mesin perebutan kekuasaan politik sesaat menjadi pilar demokrasi yang akuntabel, transparan, dan berlandaskan ideologi yang jelas.

Kegagalan fundamental ini tidak berdiri sendiri, melainkan berakar pada tiga penyakit kronis: Pertama, praktik oligarki internal yang masif. Kedua, eksklusivitas politik yang dilegalkan oleh regulasi. Ketiga,  deideologisasi total yang menghilangkan identitas partai politik di hadapan publik.

Tiga Akar Masalah Kebingungan Publik

  1. Kompas Hilang: Parpol Tanpa Identitas dan Visi yang Jelas

Kegagalan paling krusial partai politik adalah hilangnya komitmen ideologis. Ideologi yang seharusnya menjadi kompas yang memandu setiap kebijakan, membedakan satu partai politik dengan yang lain, dan menjadi dasar dialog politik yang cerdas.

Namun, partai politik di Indonesia telah bergeser dari wadah perjuangan nilai-nilai fundamental (apakah itu berbasis nasionalisme atau agamisme) menjadi tenda besar pragmatis yang bisa menampung kepentingan apa pun, asalkan mendukung perolehan kursi.

Program politik partai cenderung seragam dan populis instan menjelang pemilu, membuat pemilih sulit, bahkan mustahil, membedakan platform mana yang benar-benar akan diperjuangkan secara konsisten setelah berkuasa.

Baca juga:

Deideologisasi ini melumpuhkan fungsi Parpol sebagai pendidik politik, karena yang ditawarkan bukan lagi visi perubahan struktural, melainkan hanya citra tokoh, jargon kosong, dan janji-janji yang tak terukur, membuat politik terasa hampa substansi dan tidak relevan bagi pemilih yang rasional.

  1. Kekuatan Elite: Mengapa Pimpinan Lebih Penting dari Rakyat?

Sistem politik Indonesia yang semakin eksklusif diperkuat oleh berbagai regulasi, termasuk ketentuan Presidential Threshold dan Parliamentary Threshold. Ketentuan ambang batas yang tinggi ini, yang sering dipertanyakan legalitasnya dalam tinjauan hukum tata negara, secara de facto melegitimasi kartel politik antar-elite dan membatasi persaingan sehat.

Oligarki internal partai politik pun semakin menguat; mekanisme rekrutmen, penentuan calon, hingga pengambilan keputusan strategis sering didominasi oleh segelintir ketua umum, bukan melalui musyawarah kader. Akibat dari sistem yang tertutup ini adalah produksi “petugas partai” yang loyalitas primernya terletak pada ketua umum atau faksi politik yang mencalonkan, bukan pada konstituen yang seharusnya mereka wakili. Kondisi ini menciptakan hambatan yang hampir tidak mungkin ditembus oleh kader berkualitas non-elit, yang berarti hak masyarakat untuk mendapatkan representasi dan pemimpin terbaik telah direnggut.

  1. Biaya Mahal: Akuntabilitas yang Dibayar Utang Budi Investor

Persepsi publik bahwa partai politik identik dengan “mahar politik” dan korupsi semakin menjauhkan masyarakat dari manfaatnya. Tingginya biaya politik mengisyaratkan bahwa politik di Indonesia telah berubah dari arena pengabdian menjadi arena investasi.

Pengawasan yang lemah terhadap sumber pendanaan partai politik—termasuk sumbangan dari korporasi dan individu—membuat calon terpilih cenderung mengutamakan modal kembali (return on investment) dan membayar utang budi kepada penyandang dana, alih-alih berfokus pada pelayanan publik.

Transaksionalitas ini adalah puncak kebingungan publik: Ketika partai politik terlihat lebih patuh pada agenda pemilik modal, apakah ia bekerja untuk konstitusi dan rakyat atau untuk kepentingan oligarki?

Baca juga:

Fajlurrahman Jurdi dalam buku Pengantar Hukum Partai Politik (hlm. 139) mengatakan bahwa sejumlah pengaturan dalam AD/ART partai politik memiliki konsensus yang sama untuk membawa masyarakat yang sejahtera. Pertanyaannya, bagaimana partai akan bisa membawa masyarakat menjadi sejahtera jika kadernya sibuk untuk membalas budi kepada penyandang dana?

Jangan Hanya Bangga Pemilu Damai

Beberapa pihak sering berargumen bahwa kritik terhadap partai politik terlalu keras, dengan alasan bahwa partai politik sudah menjalankan tugasnya karena proses pemilu selalu berjalan damai dan partisipasi publik tetap tinggi. Namun, proses pemilu yang damai dan teratur hanyalah standar minimalis dan prosedural dari demokrasi.

Partai politik tidak hanya bertugas melahirkan prosedur, tetapi juga wajib memberikan substansi kebijakan publik yang adil dan berkualitas. Lebih lanjut lagi, tingginya angka partisipasi sering didorong oleh faktor populisme, patronase, dan ketokohan (personalitas), bukan karena pemilih memahami manfaat dan ideologi Parpol.

Selain itu, menyalahkan masyarakat karena tidak aktif berpolitik adalah bentuk blaming the victim. Masyarakat akan sulit berpartisipasi aktif jika saluran aspirasi (partai politik) terasa tertutup, elitis, dan tidak transparan. Partai politik sebagai subjek hukum konstitusional memiliki kewajiban inisiatif untuk membuka diri, bukan menunggu masyarakat yang apatis untuk datang.

Parpol Seharusnya Reformasi Total dan Kembali kepada Mandat Konstitusional

Kebingungan masyarakat adalah alarm bahaya yang harus segera direspon oleh seluruh elite politik. Ini menunjukkan bahwa partai politik telah menyimpang jauh dari mandat konstitusionalnya sebagai pilar utama demokrasi.

Jika kondisi ini berlanjut, dampaknya sangat besar: memburuknya apatisme politik, meningkatnya golput substansial, menurunnya kualitas kebijakan publik, dan yang paling parah menurut penulis adalah ancaman serius terhadap legitimasi sistem demokrasi itu sendiri di mata generasi mendatang.

Oleh karena itu, partai politik seharusnya melakukan reformasi total dan mendasar. Langkah-langkahnya meliputi: demokratisasi internal yang radikal untuk mengakhiri kekuasaan oligarki; penegasan ideologi untuk mengembalikan identitas, arah perjuangan, dan dialog substantif; serta peningkatan akuntabilitas keuangan secara ketat dan transparan.

Hanya dengan mengembalikan idealisme, fungsi substantif, dan menghilangkan kesan transaksional inilah partai politik dapat menjustifikasi keberadaannya dan mengakhiri kebingungan yang telah lama menyelimuti batin masyarakat Indonesia.

 

 

Editor: Prihandini N

Muhammad Yazid Al-Faizi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email