Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Memento Mori

Katarina Retno Triwidayati

3 min read

“Jangan sok ngajari kami. Kami ini pintar. Lebih pintar darimu. Dan nasibmu ada di tangan kami!”

Aku menunduk. Kubuka kedua telapak tanganku. Dulu, pada suatu waktu, aku pernah membaca tentang huruf M yang tergambar di kedua telapak tangan. Memento mori, ingatlah akan kematianmu.

Ruangan ini terasa lebih pengap dari sebelumnya. Meski ada empat kipas angin yang bergerak gelisah. Meski di sebelah kananku duduk dua orang yang berlabel pembela-ku. Meski di sebelah kiriku, bangku kosong itu jelas memberi tanda bahwa orang yang mesti melepas ikatan di jemariku itu telah setuju.

Ya, aku di sini untuk melepas ikatan di jemariku. Bukankah menurut orang Romawi, cincin dipandang sebagai tanda kepemilikan? Bukankah orang Yunani dan Romawi mempercayai bahwa jari manis berisi urat nadi khusus yang mengalir langsung ke jantung? Bukankah hal itulah yang menyebabkan cincin pernikahan kemudian disematkan di jari manis?

Aku memutar-mutar cincin itu dengan rasa sedih teramat sangat.  Orang itu tidak hadir sebagai bukti kesetujuannya. Jika semua pertanda itu diabaikan, apa yang membuat mereka marah hanya karena aku bicara tentang kesejajaran dalam sebuah relasi? Di mana letak timpang logikaku?

Aku tadi sudah menjawab pertanyaan perempuan yang mesti kupanggil yang mulia itu. Kujawab apa adanya dengan menjelaskan konteksnya. Tapi, dia marah dan menudingku. Lalu bicara tentang lebih pintar dan tentang nasibku dalam tangannya. Jangan tanya aku hubungan itu semua. Aku tidak tahu.

Aku tak perlu menjelaskan pada ketiga Yang Mulia itu tentang hancurnya perasaanku saat ibuku mesti bersumpah. Anak durhaka macam apa aku membiarkannya bersumpah demi aku meski ia tidak berkata bohong?

“Kenapa kau tidak mati saja? Menulis surat wasiat padahal tidak jadi bunuh diri sama saja meneror keluargamu!” si mulia itu tampaknya mengenakan pakaian dari api. Api itu membuatnya lekas marah. Sialnya, dia tak tahu cara mengendalikan api itu.

Tapi, itu sudah berlalu. Mestinya begitu. Nyalanya merah dan lekas membakar tubuhnya sampai habis. Tinggallah hitam yang kekal.

Meski pada hari biasa aku menggerakkan kaki jika gelisah, kali ini seluruh tubuhku kaku. Mataku semata-mata tertuju pada telapak tanganku. Telapak dengan dua huruf M, Memento Mori.

 

Pikiranku berloncatan. Mulutku mengulang kisah seram. Tentang surat-surat yang rencananya kutinggalkan. Kebiasaan menulis sesuatu kali ini terasa menjebakku. Mestinya kubakar saja surat yang kini dibicarakan itu. Atau mestinya aku benar-benar mati saja hingga surat itu bermanfaat di masa ini.

Tapi mataku melihat dua M itu. Rasa sakit yang kurasakan itu sungguh nyata. Aku telah melewati malam yang begitu buruk. Berkali-kali. Dan kini, setelah satu dasawarsa, aku memberanikan diri datang ke tempat ini. Melepas apa yang disebut sebagai ikatan suci yang mestinya kekal.

Ya, ikatan itu berupa sumpah. Sumpah di depan altar untuk setia dalam untung dan malang, suka dan duka. Tak ada satu nas pun yang berkata untuk bertahan hingga mati dalam penyiksaan lahir dan batin. Ikatan itu mestinya murni, menghidupkan, dan kerja sama saling memahami hingga akhir usia. Jika belum berakhir usiaku tapi aku ada di sini, itu karena aku menyelamatkan diriku. Ya, aku memilih hidup dan bukan kematian seperti isi surat yang tadi dipermasalahkan.

Perempuan yang duduk di tengah, dia salah satu dari yang mulia itu, memandangku. Kurasa dia mencoba mencari celah kebohonganku. Sial baginya. Aku bercerita apa adanya.

“Kenapa nunggu satu dasawarsa?” ketiga orang itu, yang mulia, berpandangan. Mereka bertukar senyum. Meski salah satunya nyaris tidak mengubah bentuk bibirnya. Si muka datar, begitu aku menamainya.

Aku bingung dengan maksud pertanyaan itu. Bukankah sangat jelas bahwa aku butuh mengumpulkan keberanian?

“Karena ini adalah dosa, dan aku baru berani menanggungnya sekarang,” kataku.

“Apa bedanya dulu dan sekarang? Kamu pun tetap berdosa!” lelaki tua, dia juga yang mulia, memandangku.  Mukanya kecil dengan bibir mencuat seperti mulut tikus. Tapi, yang menggangguku hanyalah matanya. Matanya bulat besar seolah bukan komposisi yang tepat untuk keseluruhan wajahnya.

Dosa. Apakah manusia telah naik kasta menjadi Yang Maha Esa? Lalu mengapa mesti ada dua huruf M di telapak tangannya? Bagaimana mereka berani melakukan itu tanpa ingat pada dua huruf M itu? Memento mori, ingatlah akan kematianmu.

“Sudah kukatakan aku baru berani menanggungnya sekarang. Lagipula apa bedanya aku dengan kalian yang merasa menggenggam hidupku di tangan kalian? Bukankah pertanyaan mengejek yang kalian ajukan itu hanya cara pembuka buat kalian memeras rupiah dari air mataku?” tanyaku.

Aku mulai membayangkan huruf M di kedua telapak tanganku berubah menjadi sebilah pisau. Aku akan memperbaiki mata si muka tikus. Oh bukan, baiknya kuperbaiki moncongnya yang berkata kasar. Bagaimana dengan sayatan ke kanan dan kiri? Ah, ya, itu akan sempurna.

Tapi, luka sayatan mungkin sedikit menyakitkan untuknya. Aku tak akan tega melakukan itu. Ah, ya, maafkan. Aku bukan tak tega. Aku takut. Takut pada kematian itu sendiri. Bukankah itu termasuk kematianku juga? Memento mori.

Aku kembali memandangi kedua telapak tanganku. Memento mori, ingatlah akan kematianmu. Apa pun yang aku lakukan mestinya aku ingat pada kematianku sendiri. Bukan pada caraku membuat kematian yang lain.

Sialnya, saat kuamati telapak tanganku, rasanya sepuluh jemariku telah melesat seperti anak panah. Lepas begitu saja menuju ketiga yang mulia itu. Tiga menancap pada si muka tikus, empat pada si perempuan karena dia ada di tengah-tengah, dan tiga sisanya pada si muka datar.

Aku terkejut. Lekas kuamati wajah tiga yang mulia itu. Sayangnya, ketiganya masih saja menatapku tanpa berkedip. Mungkin itu yang disebut wajah membeku. Entahlah.

Aku mengangkat tangan dan meraba wajahku. Mungkin mereka terkejut karena wajahku berubah. Semula seperti kucing yang secara malang masuk ke dalam ember berisi air. Lalu kini berubah menjadi sebatang pohon karet. Pohon yang langsing dan mengeluarkan getah. Getah itu menetes sedikit demi sedikit dalam batok kelapa. Sayangnya, batok kelapa itu lebih kerap berisi air hujan dibanding tetes getah kecut seperti campuran bau kotoran hewan dan ketiak yang tak dibersihkan. Itu menyebabkan kesedihan bagi para penderes.

Tapi tidak. Tidak ada yang berubah dari diriku. Dan aku balas menatap wajah-wajah beku itu.

Mereka menatapku. Diam. Seperti tengah berhadapan dengan kematiannya sendiri. Apakah malaikat berdiri di sebelahku dan membawa kain pucat bertuliskan: Memento mori, ingatlah akan kematianmu? Kalau benar demikian, itukah yang membuat mereka kelu karena merasa menggenggam nasibku di tangan mereka yang mulia? Entahlah. Aku tidak tahu.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Katarina Retno Triwidayati
Katarina Retno Triwidayati Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email