Pecinta musik generasi milenial pasti tidak asing dengan istilah anak nongkrong. Bukan dalam artian nongkrong di kafe atau pinggir jalan, tapi sebutan itu disematkan pada penonton setia saluran televisi musik internasional MTV. Sejak awal 90-an hingga pertengahan 2000-an, MTV menjadi chanel favorit generasi muda untuk mengikuti perkembangan musik internasional maupun lokal.
MTV menjadi surga bagi muda-mudi generasi Y atau milenial untuk menikmati musik dengan gaya baru. Lagu hits musisi dunia yang biasanya hanya bisa mereka dengar dari radio dan kaset pita muncul lengkap dengan video klipnya di MTV. Dengan adanya video klip, musik tidak lagi dinikmati hanya dari nada, lirik lagunya, irama dan instrumen musiknya. Lebih dari itu, gaya busana yang dikenakan oleh musisi, ragam gaya rambut sesuai genre musik, makanan, minuman, gestur, seluruh ekspresi wajah dan gerak tubuh termasuk di dalamnya. Hal itu juga dilengkapi dengan sinematografi dan efek komputerisasi (yang futuristik pada zamannya) yang membuat sebuah lagu menjadi seperti film pendek yang sangat artistik dan komplit.
Dengan komposisi seperti itu, MTV tidak sebatas menyebarkan musik, tapi juga seluruh aspek budaya. MTV menjadi media massa terbesar dan termasif dalam menyebarkan budaya populer ke seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Untuk menelusuri fenomena budaya ini, Dadang Rusbiantoro menulis buku berjudul Generasi MTV yang diterbitkan oleh Jalasutra pada tahun 2008.
Buku setebal 203 halaman ini dengan sangat komprehensif menelusuri mulai dari awal kemunculan hingga bagaimana MTV menjadi media yang menggurita dan menyebar begitu cepat ke seluruh dunia. Dalam buku ini penulis bahkan menggali peristiwa sosial politik, budaya generasi muda dan akademis di era 60-an, jauh sebelum MTV lahir.
Ikon Budaya
Bab pertama buku ini menjelaskan tentang bagaimana budaya populer terbentuk dan melahirkan ikon atau tokoh idola pada tiap tahapan perkembangannya. Dengan menggunakan banyak sekali rujukan, baik dari literatur ilmiah, buku, dan lagu-lagu populer, Dadang menganyam kejadian demi kejadian yang menyebabkan budaya populer terbentuk dan nantinya akan menciptakan corak atau wajah awal dari MTV.
Dadang juga merunut pergeseran makna ikon dari yang bersifat transenden menjadi milik wilayah profan. Dalam kamus Oxford, ikon diartikan sebagai lukisan, patung, atau mosaik orang suci dan dipandang sebagai suatu yang sakral. Tapi kini istilah ikon lebih diasosiasikan pada gambar yang terdapat di poster, t-shirt, stand figure dan merchandise artis populer dan tokoh-tokoh inspiratif di berbagai bidang. Pergeseran makna itu terjadi ketika sesuatu yang sakral dan religius sudah tidak relevan dengan kondisi zaman dan tidak memberikan manfaat apa pun ketika manusia berada dalam kesulitan dan tekanan hidup. Akhirnya manusia berpaling pada idola-idola populer.
Perkembangan budaya populer sendiri selalu membutuhkan ikon-ikon sebagai acuan atau role model dari aspek-aspek budaya yang terangkum di dalamnya. Ikon bisa terbentuk secara natural karena ketenaran musisi tersebut sejak awal. Namun, ikon juga bisa dilahirkan melalui kontes-kontes pencarian bakat, seperti American Idol, X Factor, The Voice, atau dalam kancah lokal ada Akademi Fantasi Indosiar (AFI) dan Kontes Dangdut Indonesia.
MTV juga melakukan hal serupa dengan memilih Janet Jackson (2001), Aerosmith (2002), Metallica (2003), dan The Cure (2004) sebagai ikon mereka yang diperkenalkan melalui acara spesial yang sangat megah. Dalam acara pentahbisannya, biasanya dihadiri oleh musisi-musisi terkenal yang melakukan tribut dengan menyanyikan versi cover dari lagu-lagu hits ikon MTV tersebut. Ikon tersebut akan menjadi maskot MTV selama satu tahun untuk mendekati pangsa pasarnya yaitu generasi muda.
Akar Budaya Populer
Dadang sendiri menyamakan budaya populer dengan budaya massa, yaitu budaya rakyat (folk cuture) pada masyarakat sebelum industri, atau budaya massa pada masyarakat industri. Lebih lanjut Dadang memperjelas definisi budaya massa sebagai budaya populer yang diproduksi oleh teknik industri dengan produksi massal dan dipasarkan untuk keuntungan konsumen publik massal. Dari sini Dadang ingin memperjelas perbedaan antara budaya massa (mass culture) yang menjadi milik kelas bawah atau orang awam dan budaya tinggi (high culture) yang menjadi milik kelas atas.
Budaya massa sendiri muncul dari budaya tanding yang lahir dari protes sosial. Pada era 60-an pemuda dan akademisi Amerika mempunyai semangat tinggi untuk memberontak budaya konservatif khas barat waktu itu, yang kehidupan sehari-harinya dipenuhi oleh kerja, pencapaian status sosial, uang dan kekuasan. Mereka juga memprotes kebijakan negara yang diskriminatif di dalam negeri dan agresif di luar negeri. Para pemuda menentang penyerangan Amerika ke negara Vietnam.
Ada dua kekuatan besar yang muncul secara organik sebagai budaya perlawanan kaum muda. Yang pertama adalah gerakan Hippies. Mereka melakukan perlawanan terhadap materialisme barat yang mereka anggap kaku dengan mengangkat kesadaran spiritualitas timur. Mereka menciptakan budaya cinta perdamaian, menggondrongkan rambut, memakai warna-warna bunga, melepas sepatu, dan memakai pernak-pernik sebagai antitesis dari gaya pengusaha muda yang kaku dengan setelan jas, dasi, dan sepatu pantofel.
Sedangkan kekuatan kedua adalah gerakan kiri baru (new left) yang memisahkan diri dari gerakan kiri konvensional. Mereka tidak lagi mengadopsi teks-teks Marxis dan mereformasi gerakan kelas pekerja yang semakin tumpul perlawanannya. Mereka mengorganisir kekuatan di kampus-kampus besar Amerika dan sangat menentang kebijakan perang Vietnam. Dengan membuat gerakan kiri radikal Student for a Democratic Society (SDS), mereka menggalang demonstrasi besar-besaran menentang kebijakan perang Vietnam. Mereka mempunyai slogan terkenal make love-not war.
Dua kekuatan besar itu sangat mempengaruhi pemikiran generasi muda Amerika untuk membuat budaya tandingan, budaya perlawanan yang kelak berkembang menjadi budaya populer. Budaya inilah yang dimanfaatkan oleh MTV untuk membangun coraknya pada saat awal mengudara. MTV secara masif menyebarkan budaya anak muda melalui tayangan video klip musik dari artis dan grup musik idola kawula muda.
Televisi dan MTV
Kemunculan MTV tidak jauh dari perkembangan media televisi yang semakin murah dan mudah dijangkau oleh hampir semua lapisan masyarakat. Hampir setiap rumah telah memiliki televisi sebagai barang primer yang melengkapi perabotan rumah lainnya. Televisi menjadi media penyiaran populer menggeser posisi radio yang di era sebelumnya sangat berjaya.
Pada tahun 1977, Warner Amex Cable (perusahaan patungan antara Warner Communications dan American Express) meluncurkan TV kabel interaktif dua jalur Bernama QUBE yang hanya beroperasi di sekitar Columbus, Ohio.
Sistem QUBE menawarkan beberapa saluran TV program khusus seperti saluran TV anak Pin Wheel (sekarang menjadi Nicklodeon) dan Sight on Sound yang mengkhususkan pada musik dan konser musik. Kepopuleran sistem QUBE membuatnya dipasarkan secara nasional. Pada tanggal 1 Agustus 1981 segmen musik di dalam QUBE berubah nama menjadi MTV (Music Television) dan berpusat di New York. Rentetan berikutnya adalah diresmikannya MTV Eropa (1987), MTV Asia (1991), dan MTV Latino (1993).
Di Indonesia sendiri MTV diresmikan pada tahun 1995 yang masih bergabung dengan saluran ANTV. Karena kesuksesannya, pada tahun 2002 MTV Asia bergabung dengan Global Televisi untuk meluncurkan MTV Indonesia 24 jam. Segmen-segmen acara mereka antara lain MTV Ampuh, MTV Land, MTV 100% Indonesia, MTV Wow, MTV Getar Cinta, MTV Salam Dangdut dan masih banyak lagi acara MTV yang sangat disesuaikan dengan pemirsa Indonesia.
Komersialisasi Budaya Pop
Seiring berkembangnya popularitas MTV di seluruh dunia, membuat media tersebut semakin berorientasi pada komersialisasi budaya. Aspek-aspek budaya perlawanan yang awalnya menjadi senjata generasi muda untuk memberontak pada budaya konvensional kini berubah menjadi komoditas yang oleh MTV ‘dijual’ kepada seluruh anak muda di seluruh dunia.
Pengguna atribut budaya perlawanan tidak lagi menghiraukan substansi di dalamnya. Mereka memakai suatu atribut budaya, misalnya pakaian dan gaya rambut, hanya karena ingin meniru idolanya, tanpa harus mengetahui makna filosofis apa yang terkandung di dalamnya.
Ikon pop dijadikan MTV sebagai ladang komoditas yang dapat menarik iklan, mendongkrak rating, dan mengikat penonton setia. Selain memutar video klip ikon pop secara berulang-ulang, MTV juga mempunyai rubrik acara MTV Cribs yang mempertontonkan gaya hidup ikon pop. Selain itu ada juga segmen acara MTV Fanatic, sebuah reality show yang mempertemukan fans dengan idola yang disukainya.
MTV di Era Digital
Walaupun ditulis tahun 2008, uraian dalam buku ini masih sangat relevan digunakan hingga masa sekarang. Penulis berhasil memotret fragmen perkembangan suatu generasi yang sangat lekat dengan MTV. Hal ini sangat penting sebagai arsip kajian budaya perkembangan budaya anak muda dalam menikmati musik.
Di era digital yang melahirkan platform-platform baru dalam menikmati video, MTV bukan lagi media tunggal penguasa pangsa anak muda dalam memasarkan konten video. YouTube dan Vimeo telah menjadi primadona baru bagi generasi muda dalam mengonsumsi musik. Penikmat musik tidak lagi disetir secara satu arah oleh media, namun bisa memilih sendiri video musik apa yang ingin dinikmatinya sesuka hati.
Uniknya, dalam perkembangan teknologi dan perubahan mode penyiaran itu, MTV masih bisa eksis dan menyesuaikan diri. Pada tanggal 29 Agustus 2022 acara penganugerahan Video Music Award (VMA) MTV digelar secara megah, dimeriahkan oleh penampilan musisi-musisi papan atas dunia dan menjadi trending topic di Twitter. Hal itu menunjukkan bahwa di era digital ini, MTV masih menjadi ikon budaya dan gaya hidup generasi anak nongkrong dalam menikmati musik.
***
Editor: Ghufroni An’ars