Penanam kesan di Work Ti Farm.

Memaknai Ruang Lebih Luas dan Dalam

Tenu Permana

4 min read

Ruang, dalam pandangan filsafat, bukan sekadar bangunan fisik yang kita huni dan hidupi. Bukan hanya sekadar dimensi fisik di mana kita bernafas dan menghitung langkah-langkah kaki. Ruang melampaui hal-hal fisik semata. Ruang adalah tempat yang memberikan makna, simbol, dan identitas. Roland Barthes, si pengingat bahwa the author has died dalam Mitologi (2006), mengemukakan bahwa setiap simbol yang ada di sekitar kita, termasuk ruang-ruang sosial, berfungsi sebagai “mitos” modern yang membentuk persepsi kita terhadap dunia.

Karena ruang memiliki dan mereproduksi makna, otomatis ruang memiliki bahasa, dan seperti semua bahasa, ia penuh dengan simbol-simbol yang disepakati bersama. Ruang—setidaknya seperti, coffeeshop, bar, gigs musik, bahkan pengajian—menjadi medium di mana setiap individu melakukan negosiasi antara diri mereka dan dunia luar.

Semiotika dan hermeneutika, teori yang mempreteli tanda dan makna, dalam hal ini, cukup memberikan kerangka untuk kita dapat menganalisis bagaimana ruang sosial, ternyata tidak hanya menciptakan makna, tetapi juga memperpanjang dan mengubah identitas manusia.

Coffeeshop yang Melekat dalam Setiap Tingkatan dan Harga

Menggunakan mata semiotika, ruang adalah tempat yang berserak tanda serta mempunyai makna yang lebih besar dari sekadar fungsi fisiknya. Coffeehop yang kini menjamur di banyak kota, misalnya, bukan lagi sekadar tempat untuk ngopi, melainkan menjadi sekumpulan tanda untuk menunjukkan makna dari identitas sosial dan budaya. Ferdinand de Saussure, bapak bahasa, dalam salah satu kelasnya, dengan santainya mengatakan bahwa tanda terdiri dari dua bagian: signifier (penanda) dan signified (yang ditandakan), yang bekerja bersama-sama untuk membentuk makna.

Dalam dunia coffeeshop modern, sebutlah Nako, Tuku, atau Bajawa—dengan segala interiornya yang kekontemporeran, playlist indie yang berputar, dan kopi mahal dengan latte art templatnya yang memukau—menjadi penanda yang menyampaikan makna tertentu tentang gaya hidup, status sosial, dan bahkan filosofi hidup si pelanggan. Signified-nya? gaya hidup kelas menengah yang memegang prinsip bahwa tidak ada yang lebih memuaskan ketimbang duduk di kafe dengan Wi-Fi gratis sambil terlihat produktif (meskipun sebenarnya hanya berusaha menghindari dari kehidupan yang bengis).

Coffeshop, seperti yang kita tahu telah menjadi simbol dari “kehidupan urban” yang menjadi bagian keseharian, khususnya untuk mahasiswa dan pekerja kelas tengah. Mereka yang sering berada di coffeeshop yang sama, dengan rasa krasan atau mendaku sebagai pelanggan, dengan sendirinya akan melekatkan coffeshop tersebut dengan bagian dari cerita yang mereka ciptakan.

Tentu dalam reproduksi makna, kita bisa membedakan antara coffeshop dengan setiap segmen dan citra yang dikonstruksikannya. Antara Bacha Coffee, Fore, atau Janji Jiwa kita tahu mana tataran kelas yang membungkusnya. Pada titik inilah ketika kita memilih coffeeshop yang sedang tren, dengan sadar atau tidak, sebenarnya kita sedang memilih citra diri yang ingin kita lekatkan dan stori-kan kepada dunia.

Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1983), menggambarkan fenomena ini sebagai realitas yang telah terbalik. Sebab coffeeshop, pada kiwari ini bukan lagi hanya tempat untuk ngopi, ia sudah menjadi kenyataan itu sendiri—dan, ironisnya, kita terperangkap dalam citra yang kita bangun melalui ruang ini, seolah-olah ruang tersebut adalah realitas yang kita inginkan untuk dilihat sang liyan.

Bar Sekotak Ruang Interogasi dengan atau Tanpa Kesadaran

Lain coffeshop, lain bar. Coffeeshop, kita tahu penuh akan nuansa cozy and chill khas orang kota membuang-buang waktu. Tapi untuk bar? Tak ada demikian. Bar adalah ruang sosial yang bebas, tak karuan dan lebih liar—dalam bar, individu menginterogasi diri mereka melalui interaksi sosial yang kadang tidak terlalu terstruktur.

Setiap interaksi, baik dengan teman lama maupun orang asing, adalah bagian dari proses pembentukan dan penegasan identitas. Setiap percakapan, gesture, dan pilihan perilaku adalah bagian di mana ide-ide tentang kejujuran diri diuji dan diinterupsi oleh diri sendiri. Namun, bar juga seringkali memberi ruang bagi kita untuk bereksperimen dengan identitas, baik dengan cara yang lebih berani, lebih terbuka, atau bahkan lebih tidak terduga. Saat dalam bar kita dimungkinkan untuk “memainkan” identitas dari yang semula kita punya.

Di sana, kita dimungkinkan menciptakan alterego dalam bentuk pertama, dan bukan hanya berdasarkan apa yang kita kenakan atau bagaimana gaya bicara yang kita tuturkan, tetapi juga pada bagaimana kita memilih dengan dunia semacam apa dan jenis manusia apa yang kita ajak kenalan. Dalam ingar bingar bar, kita terpacu mencari makna dalam obrolan acak dengan orang yang tidak kita kenal.

Mulai dari berani menanya nama dan dengan tanpa babibu bisa langsung to the point nanya “pulang ke mana?” dan “dengan siapa?”, atau bisa dengan cerita jujur dari setiap permasalahan ketika mabuk sudah menguasai kesadaran. Atau jika kamu ingin sedikit menggila, kamu bisa memilih untuk langsung mengajak seseorang diskusi tentang Nietzsche, konspirasi alasan manusia ada, AI yang akan menggantikan manusia atau cara menggulingkan rezim yang ada.

Bar dalam pembongkaran maknanya yang utuh, bisa jadi bukan hanya tempat untuk menikmati minuman, tetapi juga ruang di mana kita membangun citra diri yang lebih bebas dan sepadan. Di sana kita tidak merefleksikan lagi “who am i?” tapi “who do i want to become?”, sebab di sana kita bukan hanya menjadi siapa kita; kita menjadi siapa kita dalam menghadapi ketidaktahuan orang lain tentang siapa kita. Di antara teman-teman dan orang asing, kita berperan sebagai karakter dalam pertunjukan sosial yang lebih besar.

Maka tak heran, bar memang menjadi ruang ideal untuk membentuk lapisan identitas tambahan—dengan tanpa terikat oleh norma sosial yang lebih formal. Dan ini adalah contoh dari apa yang disebut oleh Paul Ricoeur dalam Interpretation Theory (2015), sebagai proses interpretasi makna yang tidak pernah selesai.

Gigs sebagai Sebuah Ruang untuk Menghilang dan Menemukan

Namun, ruang yang paling mengguncang identitas diri mungkin adalah gigs musik. Dalam gigs, kita tidak hanya menjadi bagian dari kerumunan—kita menjadi bagian dari sebuah peristiwa. Peristiwa yang mengukir identitas diri kita dengan cara yang lebih ekspresif dan total. Theodor Adorno, dalam Philosophy of Modern Music (2020), memperingatkan bahwa musik tidak sekadar hiburan, tetapi juga sebuah medium yang mampu mengubah cara kita memahami dunia.

Gigs adalah tempat di mana suara, gerakan, dan kerumunan manusia mengubah kita. Ini adalah ruang di mana kita bisa menemukan identitas yang lebih dalam, sebuah identitas yang hanya bisa dibentuk ketika kita membiarkan diri kita terhanyut oleh suasana, oleh musik, dan oleh massa. Senafas dengan Adorno, Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1959), mengatakan bahwa setiap pertunjukan, (dalam hal ini gigs) adalah panggung sosial.

Sebab gigs bukan hanya tentang menikmati musik, tetapi juga merupakan kesempatan untuk menemukan dan menciptakan identitas diri kita yang lebih mendalam. Joyland, Java Jazz, DWP, atau We The Fest barangkali adalah salah empat yang rutin setiap tahun membuktikannya. Di sana, kita bisa memilih untuk berdiri dengan tangan terangkat dan sing along bersama band idola. Atau kita bisa hanya berdiri di pojokan menikmati setiap pertunjukkan. Dan tentu, tidak ada larangan jika kita hanya menari dengan cara yang kita sendiri dan hanya sirkel subkultur kita yang mengerti.

Dengan kerumunan dan kebebasannya, gigs menawarkan ruang untuk berperan, untuk menjadi siapa saja yang kita inginkan. Richard Schechner dalam Performance Studies (2006), menuliskan bahwa seni pertunjukan adalah ruang di mana identitas dipertanyakan, diciptakan, dan dihancurkan.

Gigs sebagai salah satu sub seni pertunjukan, adalah tempat di mana setiap identitas ditangguhkan. Kita dapat mengubah identitas sesuai dengan suasana dan warna musik yang ada. Kita bisa memakai baju hitam saat ke gigs metal, tapi sehari kemudian bisa memakai pernak-pernik beragam warna saat ke gigs musik yang bernuansa elektronika.

Dalam gigs, meski kita tidak saling mengenal, tapi hanya dengan baju berdesain serupa, kita dapat merasa menjadi satu kesatuan.

Dengan setiap lompatan, teriakan, dan sorakan, kita memperpanjang identitas kita ke dalam ruang yang lebih besar. Goffman, masih dalam bukunya yang sama, dengan tegas menyatakan hal semacam ini sebagai “dramaturgi sosial”, di mana setiap orang memainkan peran yang telah mereka pilih sendiri di tengah panggung sosial kehidupan.

Semua yang Memperpanjang Kedirian

Pada akhirnya, dalam dunia konsumtif yang mengedepankan gengsi dan citra, ruang-ruang sosial yang bonafit dengan sendirinya mendapatkan peran yang semakin penting untuk membantu menubuhkan ke-aku-an.

Coffeeshop, bar, dan gigs—meskipun sangat berbeda dalam varian—memiliki luaran mesin produksi yang sama: mereka adalah ruang yang memungkinkan kita untuk terus dalam posisi “becoming”.

Ruang-ruang ini memungkinkan kita untuk bernegosiasi dengan diri sendiri. Membikin versi diri berulang kali. Dengan menciptakan, memperpanjang, dan mengubah identitas kedirian sampai kita benar-benar tamat dan berakhir.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Tenu Permana
Tenu Permana Penanam kesan di Work Ti Farm.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email