Sepasang kekasih sedang melihat-lihat desain interior sebuah apartemen di suatu gedung, mengukur ruangnya, dan menerka-nerka barang apa saja yang bisa dimuat di dalamnya: televisi, pemutar VCD, juga speaker. Lung (Hou Hsiao-hsien) dan Chin (Tsai Chin) berencana untuk tinggal seatap karena telah membangun hubungan sejak lama. Chin, yang memakai set blazer dan celana abu-abu muda, lanjut melangkah untuk mengamati ruangan lain ketika Lung tetap berdiam di tempat, tangannya memukul-mukul angin, menirukan gerakan seorang hitter dalam olahraga bisbol. Setelah merasa cukup memeriksa semua sudut dan lekuk apartemen itu, Chin bertanya:
“Bagaimana menurutmu?”
“Tidak buruk,” balas Lung.
***
Adegan di atas merupakan pembuka dari Taipei Story (1985), sebuah film arahan Edward Yang, seorang sineas masyhur asal Taiwan. Film ini mempunyai dua nama. Taipei Story, judul versi bahasa Inggrisnya, agaknya terinspirasi dari salah satu film Yasujirō Ozu yang berjudul Tōkyō Monogatari (Tokyo Story, 1953). Kedua film ini pun mirip, karena sama-sama mengeksplorasi proses transisi suatu bangsa dan kota dari nilai-nilai tradisional yang menghinggapi, menuju modernisasi dan lebih membuka diri. Sedangkan dalam bahasa aslinya, film ini berjudul Qīngméizhúmǎ, yang bila diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi “Green Plum, Bamboo Horse”. Ungkapan itu, yang digubah oleh Li Bai, penyair Cina dari abad ke-8, bermakna “cinta abadi yang berkembang dari permainan masa kanak-kanak yang riang dan tetap mempertahankannya seiring bertambahnya usia”. Dan sudah tentu Yang tidak asal memilih idiom tersebut menjadi judul film ini, karena plotnya cukup berkelindan seputar transisi masyarakat dari kultur lama ke gelombang baru. Walaupun begitu, yang kita dapat bukanlah cerita romansa klise nan manis khas sinema Asia Timur pada tahun ‘80-an, melainkan tragedi tentang pasangan yang teralienasi dan terjebak urban ennui di kota Taipei yang perlahan berubah.
Taiwan yang Baru
Naskah dari Taipei Story ditulis oleh Edward Yang dan dibantu oleh Hou Hsiao-Hsien, yang menjadi pemeran utama film ini (Lung), serta Chu Tien-wen. Ketiga orang tersebut merupakan anggota grup yang menjadi pionir gerakan Taiwanese New Wave (Gelombang Baru Taiwan); satu generasi auteur film asal Taiwan yang berkeinginan untuk membangun identitas budaya tanah airnya melalui sinema dan membagikannya ke dunia.
Penerapan darurat militer di Taiwan pada tahun 1949–1987 oleh rezim Kuomintang membuat pasar sinema di negara tersebut hambar dan stagnan. Film-film yang beredar hanya berkutat pada film seni bela diri (wuxia), adaptasi novel roman dari Chiung Yao nan laris, serta karya-karya film bergenre “healthy realism” yang pembuatannya didukung oleh pemerintah sebagai upaya propaganda, dengan cara mempromosikan nilai-nilai tradisional bangsa Cina untuk “menutupi” westernisasi yang dengan cepat melanda negara tersebut. Oleh karena itu, sekelompok kecil sutradara Taiwan New Cinema berupaya membuat film-film nan menggambarkan Taiwan secara “baru”: Taiwan yang memiliki rasa integritas sosial serta sejarahnya sendiri. Taiwan yang senantiasa berkembang dan Taiwan yang berusaha melepaskan diri dari Cina daratan yang telah lama menganggapnya sebagai gudang dan tempat pembuangan belaka.
Edward Yang lahir di Shanghai, 6 November 1947, tetapi tumbuh besar di Taipei sejak usia dua tahun. Taipei Story menjadi film kedua yang ia buat di Taiwan setelah menghabiskan sebagian besar tahun ’70-an di Amerika, berkuliah di Jurusan Teknik Elektro di Universitas Florida dan kemudian bekerja sebagai insinyur komputer ulung di kota Seattle. Sepulangnya ke tanah air, persepsi “orang luar” yang baru saja ditemukannya setelah kembali ke Taipei menjadi aset berharga dan telah banyak dipuji khalayak dalam perkembangan film melalui gerakan Taiwan New Cinema. Salah satu pujiannya datang dari kolega sekaligus pemeran utama di film ini, Hou Hsiao-hsien.
“Ketika Yang kembali dari AS, setelah belajar di sana begitu lama, dia melihat makna di balik segalanya. Dia memiliki visi yang mendalam tentang makna di balik kota Taipei.” -Hou Hsiao-hsien.
Dalam Taipei Story, Edward Yang berusaha menggambarkan perubahan sosial dan kultural di Taiwan dengan menggunakan Taipei dan penduduknya sebagai latar simbolis. Chin dan Lung merupakan pemuda-pemudi berumur 30-an yang tinggal dan bertumbuh di Taipei. Mereka adalah teman masa kecil yang perlahan berubah menjadi sepasang kekasih yang akhirnya terjebak di persimpangan jalan dalam kehidupan dan hubungan.
Pada awal cerita, Lung baru saja pulang dari rumah kakak iparnya di Amerika Serikat untuk “survei” sebelum beremigrasi ke sana bersama Chin. Mereka menabung bersama agar dapat pindah ke Amerika, berharap menemukan napas dan naungan yang baru. Lung adalah mantan juara bisbol yang hari-hari kejayaannya telah lenyap. Namun, Lung tetap mencoba menangkap kembali perasaan tersebut di masa kini: hari-hari yang penuh gairah, kegembiraan, dan persahabatan. Sehari-hari, Lung menghabiskan waktunya menonton rekaman pertandingan bisbol, menghadiri latihan dari tim bisbol junior yang diajar oleh pelatihnya dulu, dan bahkan membantu mantan rekan satu timnya yang memiliki masalah rumah tangga: istrinya hobi judi, padahal beranak tiga.
Profesi Lung sebagai produsen kain hanya memberinya sedikit kepuasan batin, dan karenanya ia sering berjalan-jalan di Taipei tanpa tujuan. Sebaliknya, Chin kerap menyibukkan diri di Taipei yang modern, bergegas dari satu tempat ke tempat lain — sering kali mengenakan satu setel blazer dan melengkapinya dengan kacamata hitam—untuk mencari peluang, bertemu orang baru, dan berpesta dengan kolega-kolega seperjuangan. Chin telah memantapkan dirinya sebagai eksekutif wanita kelas menengah di perusahaan-perusahaan korporasi yang semakin menjamur di kotanya.
Kebimbangan Antara Kuno dan Kini
Chin dan Lung. Dua kutub yang berbeda tersebut menjadi pusat dari plot Taipei Story. Seperti salah satu masalah yang ada di dalam cerita ini: Lung selalu hidup dengan berkutat di masa lalu. Matanya memandang ke depan, tapi isi kepalanya senantiasa melihat ke belakang, mengenang kembali hari-hari kejayaannya. Selain itu, ia masih terpaku pada nilai-nilai lama dan tradisional, seperti menghormati orangtua dan membantu teman. Sudah jelas, ajaran-ajaran ini tidak lepas dari paham konfusianisme yang sudah melekat di masyarakat Cina sejak zaman dahulu. Dan bila dilihat secara umum, budaya ajaran lama ini memang sangatlah bagus: tidak melupakan asal-muasal, menjunjung tinggi kesopanan, semangat altruisme, dan budaya lainnya. Walaupun begitu, Yang tidak ingin serta-merta meromantisisasi nilai-nilai ini.
Di tengah-tengah cerita, ayah Chin dikejar-kejar oleh rentenir akibat hutang yang tak terbayar. Karena merasa turut bertanggung jawab, akhirnya Lung pun melunasi utang tersebut. Celakanya, uang yang ia gunakan untuk melunasi diambil dari tabungannya bersama Chin yang semula hendak digunakan untuk biaya pindah ke Amerika. Tanpa seizin Chin, Lung asal memberi calon ayah mertuanya uang yang tergolong besar tersebut. Setelah Chin tahu, tentu saja ia marah besar. Ia merasa Lung tidak perlu melunasi utang-utang ayahnya. Memang, Chin tidak menyukai ayahnya yang represif dan adikara di rumah tangga. Melalui situasi tersebut, Yang menggambarkan lagi salah satu sisi negatif generasi kuno yang menganggap laki-laki derajatnya lebih tinggi dari perempuan, sehingga bisa bertindak semena-mena. Oleh sebab itu, Chin berniat melepaskan diri dari cengkraman Ayahnya dengan hijrah ke kota, menjadi seorang karyawati yang sukses di perusahaan kapital, dan menjadi wanita independen, sesuai dengan semangat feminisme di zaman modern.
Namun, semua yang baru pun bukan berarti seutuhnya baik. Taipei yang pelan-pelan melangkah menuju globalisasi dan menerima pengaruh dari luar, menimbulkan kegamangan di hati para penduduknya. Dan sudah jelas, modernisasi selalu datang dengan perubahan, baik itu kemajuan industri, teknologi, dan banyak hal lainnya. Taipei diserbu tanpa ampun oleh budaya Amerika Serikat, seperti yang dilambangkan dengan gedung pencakar langit, siaran TV berbahasa Inggris, serta musik Michael Jackson dan Kenny Loggins. Juga pengaruh Jepang, dengan penggambaran papan iklan Fuji Film raksasa, dan lampu-lampu neon yang bersinar terang pada malam hari, bertebaran mengenalkan nama toko di sepanjang jalan.
Taipei perlahan kehilangan identitasnya, begitu pula orang-orang di dalamnya. Komunikasi dan hiburan jadi mudah tercapai berkat adanya televisi, radio, telepon, dan teknologi lainnya. Namun, semua sebab punya akibatnya. Teknologi mengaburkan perasaan kita yang sebenarnya, dan dapat mengusik keharmonisan psikologi dan emosional manusia. Oleh karena itu, di sepanjang film ada rasa mengganggu yang muncul terus-menerus: perasaan bahwa karakter-karakter dalam cerita tidak benar-benar mengenali diri mereka sendiri. Chin dan Lung tidak dapat mengemukakan ekspresi yang tepat untuk apa yang sebenarnya mereka inginkan. Wajah mereka selalu datar; mereka jarang berdiri berdekatan satu sama lain. Paling-paling, mereka hanya sekilas bertukar pandang, yang tampak melankolis dan penuh hening. Hubungan antara Lung dan Chin yang memilukan berhasil mendeskripsikan efek dehumanisasi dari proses pembaruan peradaban.
Yang sebagai Arsitek
Melalui lensa Yang, kita bisa melihat wajah kota Taipei yang tampak berubah dari waktu ke waktu, guna mengilustrasikan sudut pandangnya. Ia kerap menunjukkan pemandangan Taipei dengan menggunakan metode wide-shot: dari ramainya jalanan Taipei, malam hari yang penuh sinar neon, hingga gedung-gedung yang nampak seragam. Yang melihat Taipei berada dalam kegelisahan antara ketetapan tradisi dan modernitas yang menyerbu. Sementara Lung dan Chin diposisikan sebagai generasi yang berada di antaranya. The lost generation; the one who doesn’t belong anywhere.
Mereka kebingungan berada dalam lingkungan yang semakin terpolarisasi. Chin berada di tengah-tengah antara orangtuanya, yang memegang teguh nilai-nilai konservatif, dan adiknya, yang hidup bebas dengan semangat libertine-nya. Edward Yang memproyeksikan pandangannya melalui karakter-karakter ini, yang terbelah antara ikatan keluarga, tanggung jawab ekonomi, dan krisis eksistensial yang mengganggu, ke dalam tatanan dan desain kota yang perlahan runtuh, dan kembali tumbuh.
Film ini diakhiri dengan shot yang menampilkan sebuah dinding kaca suatu bangunan yang merefleksikan sekaligus mendistorsi pantulan jalan raya dan mobil-mobil yang berjalan melewatinya. Potret adegan ini menjadi sebuah koda simbolis tentang semua hal yang terjadi: proses pergeseran realitas, ekonomi, dan sosial yang melanda Taipei pada masa itu. Pergeseran suatu kota yang membuat warganya terpecah, gelisah, dan merasa kehilangan. Taipei Story berhasil menjadi sebuah monumen untuk mewakili semua hal yang telah hilang dan ditinggalkan, demi proses pembentukan identitas baru yang datang tanpa ampun dan tak terelakkan.
***
Editor: Ghufroni An’ars