Belakangan, intensitas mendengarkan lagu saya cukup tinggi. Dalam sehari, setidaknya dua sampai empat jam bisa saya gunakan hanya untuk memutar album-album yang enak dan jelas nyaman. Saya bukan pengamat lagu atau penggemar fanatik yang rela memboyong cinderamata dari para artis favorit hingga merogoh kocek demi menonton konser. Saya penikmat lagu. Seorang pendengar. Itu saja.
Di antara banyaknya lagu, yang tak pernah cukup diputar sekali adalah An Invisible Bridge Above the Ocean dan Semayam yang keduanya sama-sama digubah Bin Idris, nama untuk proyek solonya Mohamad Haikal Azizi.
Judul yang disebut pertama memang hanya berupa instrumen, tapi saya dapati bayangan tentang lepas pantai, bau garam, serta matahari tenggelam. Sementara itu, Semayam—meski saya belum menonton film yang menjadikan lagu ini soundtrack—memberi saya pengalaman mendengarkan yang berkelindan dengan spiritualitas. Saya merasakan entitas Tuhan—yang diam, cuek, keji, kejam, serta tidak acuh pada makhluk-makhluk ciptaan-Nya—yang kontras dengan narasi, teks, juga kabar-kabar dari agama yang saya kenali dan ketahui.
Anehnya, merasakan Tuhan ini bukan membuat saya ketakutan atau malah sampai lari terkencing-kencing dan menjadi ateis. Tidak. Yang ada hanyalah tunduk dan kepasrahan sewaktu imajinasi saya mencoba menakar lebih jauh membaui Hari Penebusan. Di sana, Tuhan duduk di atas kursi, persis seperti salam-salaman pas lebaran. Kolot di kursi, para budak menyalami, dan manusia satu per satu datang kepada-Nya. Namun, semuanya berjalan datar, mekanis, dan tanpa senyuman.
Narasi soal Tuhan ini sudah sejak mula ditanamkan kepada saya. Sejak mula pula kesannya selalu paradoks. Semenjak kecil, larangan, perintah, atau apa pun itu sering kali dibarengi embel-embel Tuhan. Jika membelot dan menolak sesuatu dari orang tua, wanti-wanti nanti Tuhan marah akan muncul tanpa diminta sekalipun. Jika saya sedang sehat walafiat, itu rezeki dari Tuhan.
Singkatnya, Dia baik karena memberi rezeki kepada setiap makhluk ciptaan-Nya. Namun, Tuhan pula diidentifikasi dengan kebengisan, Dia akan membalas segala apa yang diperbuat dengan kobaran api neraka.
Melihat Tuhan Telanjang
Sejak zaman jebot, Tuhan selalu menjadi suatu hal yang seksi buat dibicarakan, Dia selalu dipertanyakan keberadaan-Nya. Dia selalu ditafsirkan, diperbaharui konsepnya. Dia selalu dinafi-hadirkan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dia senantiasa diterap-hanguskan hukum-hukum yang dianggap dari-Nya oleh para teolog, filsuf, raja dan bangsawan, hingga masyarakat. Singkatnya, perdebatan selalu hadir di selingkar-Nya.
Tuhan pun eksistensi-Nya selalu dicari manusia. Dalam cerita pencarian Ibrahim akan Tuhan, misalnya. Ibrahim melihat Matahari dan menganggapnya sebagai Tuhan, kemudian tenggelam dan merasa aneh akan peristiwa demikian, maka diganti Tuhan itu dengan yang mengalahkannya, yaitu Bulan. Begitu seterusnya sampai Ibrahim bertemu Tauhid.
Senada dengan itu, Hamka dalam Filsafat Ketuhanan menulis bahwa manusia senantiasa merepresentasikan Tuhan dengan hal-hal yang mudah terbayangkan, dari kepercayaan terhadap pohon, bebatuan, gunung, sampai roh (animisme-dinamisme) yang dikenal sebagai agama bumi. Kemudian, barulah yang tidak kelihatan seperti dalam agama samawi, yang meyakini Yang Maha itu sebagai Tuhan.
Upaya untuk mengetahui Tuhan ini juga tidak hanya dalam tatanan konsep belaka, bahkan melebihi itu. Manusia kemudian ingin melihat Tuhan dengan jelas bentuk-Nya. Cerita Musa menjadi salah satu contoh yang selalu menarik bagaimana ketidakpuasan manusia ini membuat Musa di Gunung Sina meminta Tuhan menampakkan diri-Nya. Kemudian, sewaktu diperlihatkan, Musa tak mampu membendungnya hingga ia mati.
Kautsar Azhari Noer membuat tulisan yang menarik terkait ini. Dalam Tasawuf Parenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, Noer berangkat dari diskusinya dengan seorang pegawai di Jakarta pada penghujung 1970-an. Menurutnya, konsep Tuhan dalam Buddha tidaklah jelas. Siddhartha Gautama yang tidak memberikan penjelasan juga doktrin perihal Tuhan telah memberikan efek pada miskinnya Buddhisme mengenai Yang Absolut itu.
Noer mengucapkan apa yang dipikirkannya itu kepada seorang pegawai di Direktorat Urusan Agama Hindu dan Buddha. Pegawai itu membalas balik, katanya malahan orang-orang Muslim yang membuat kesalahan besar dengan pembubuhan Tuhan dengan 20 sifat dan 99 nama. Kaum Muslim, lanjutnya, mengungkapkan Yang Tidak Terbatas itu dengan bahasa dan kata-kata manusia yang teramat terbatas.
Dengan begitu, kesimpulan si pegawai, esensi Tuhan sudah tereduksi dengan bahasa-bahasa manusia, dengan konsep, ide, serta gagasan soal bahwa Tuhan itu “seperti ini” dan “seperti itu”. Padahal, Tuhan adalah misteri yang muskil dipecahkan.
Pada akhirnya, saya kira ada semacam kesengajaan dari Tuhan untuk bikin diri-Nya sendiri bertentangan. Di satu sisi, Tuhan disebut bertempat di Arsy (langit). Di sisi lain, Tuhan disiratkan berada dalam diri manusia. Tuhan lebih dekat dari urat Nadi, begitulah kira-kira. Di satu sisi, Ia adalah Yang Pertama, tapi juga Yang Terakhir di sisi lain. Di satu sisi, Az-Zahir sekaligus juga Al Bathin.
Dengan begitu, Tuhan seolah-olah bilang kepada manusia bahwa Dia adalah entitas yang keluar dari konsep manusia, konsep bahasa, dan konsep-konsep lainnya. Dia di luar pengetahuan manusia. Dia adalah semua itu, tapi bukan pula semua itu.
Sebagaimana ada kata percaya dalam kepercayaan, maka tak ada salahnya perihal Tuhan, agama, dan tetek bengeknya dikembalikan pada masing-masing yang percaya. Yang percaya-percaya aja, YPPA.
Saya tidak peduli apakah Tuhan itu fasis ataupun pengasih, yang jelas Dia adalah Dia, terlepas dari doktrin-doktrin yang mencap diri-Nya. Saya kira melihat Dia dengan mata telanjang adalah urusan nanti setelah mati. Sebagaimana termaktub dalam puisi Rabi’a yang berjudul O My Lord terjemahan Jane Hirshfield dari Women in Praise of the Sacred, bertemu dengan Tuhan itu sendirilah hadiah pasca kehidupan semrawut duniawi ini.
O my Lord,
if I worship you
from fear of hell, burn me in hell.
If I worship you
from hope of Paradise, bar me from its gates.
But if I worship you
for yourself alone, grant me then the beauty of your Face.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Manusia Mata Keranjang yang Selalu Ingin Melihat Tuhan Telanjang”