Mungkin kita sudah tak kaget lagi melihat reaksi para penggemar yang histeris meneriakkan nama-nama artis yang diidolakannya, bahkan sampai ada yang menangis terharu ketika dapat kesempatan bertemu langsung.
Tak bisa dimungkiri, menyukai seorang figur publik seperti selebritas yang pada level tertentu dianggap sebagai idola merupakan hal yang wajar dan sering kita jumpai terutama di kalangan remaja. Kemunculan kelompok fangirl atau fanboy yang secara alami dibentuk oleh anak remaja dan dewasa muda merupakan salah satu awal mula terjadinya interaksi parasosial.
Baca juga:
Interaksi parasosial merupakan suatu interaksi sosial yang biasanya terjalin antara seorang individu dengan artis maupun tokoh publik. Jika merujuk KBBI, parasosial diartikan dekat secara sosial atau sepihak. Lebih spesifik, Horton dan Wohl (1956) menyebut bahwa parasosial mengacu pada hubungan tidak terbalas (one-sided) yang dirasakan seseorang dengan tokoh fiksi atau tokoh media.
Hubungan parasosial umumnya terjadi dengan selebritas, organisasi, atau komunitas seperti klub olahraga dan idol group hingga bintang televisi. Interaksi semacam ini terjadi karena otak manusia memproses pengalaman melihat melalui media dan seolah-olah merasakan pengalaman langsung secara nyata di depan mereka.
Sihir Media
Hubungan parasosial yang berkembang antara penggemar dan pesohor saat ini sudah menjadi fenomena tersendiri. Dalam aktivitas sehari-hari, kita akan dengan mudah menemukan banyak akun media sosial yang didedikasikan untuk seorang figur publik, mulai dari akun pribadi hingga akun khusus penggemar (fanbase) dan akun yang mempromosikan barang dagangan (merchandise) yang berkaitan dengan sang idola. Ini semua dilakukan oleh para penggemar secara cuma-cuma, bahkan tak peduli jika harus menguras waktu dan materi pribadi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lidwina Mutia Sadasri (2022), mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, disebutkan bahwa para penggemar ini rela menghabiskan sumber daya pribadi untuk mengonsumsi konten selebritas sebagai bahan hiburan. Tak jarang, mereka juga memosisikan selebritas sebagai sosok yang memberi pemenuhan akan perasaan romantis, dalam konteks tidak saja sebagai pasangan, tetapi juga sebagai kakak, adik, maupun teman sebaya.
Sebagian besar penggemar mungkin sadar bahwasanya romantisme semu yang mereka bangun dengan idolanya adalah ilusi yang sengaja diciptakan oleh media. Walaupun begitu, para penggemar tetap mengasumsikan kesan kewajiban personal untuk membantu sang idola berjuang meraih kesuksesan di bidang yang digelutinya. Tak hanya ikut bangga ketika artis idolanya sukses, mereka juga akan menyatakan rasa sedih ketika idolanya terpuruk. Hal ini menandakan adanya relasi emosional yang terbagi antara idola dan penggemarnya.
Mengidentifikasi Diri sebagai Penggemar
Untuk tetap menjaga hubungan parasosial dalam kondisi yang sehat dan tak berdampak merugikan baik secara fisik maupun psikis, sudah semestinya seorang penggemar mampu mengidentifikasi dirinya secara bijak. Sebelum melabeli diri sebagai penggemar, seseorang harus memahami lebih dulu identitasnya secara personal.
Natalie Jeung, seorang terapis berlisensi di Skylight Counseling, Chicago, pernah mengatakan bahwa ada satu pertanyaan penting yang harus ditanyakan oleh seorang penggemar kepada dirinya sendiri: apa arti hubungan ini bagi saya? Tak harus selalu menguntungkan, tetapi sebaiknya interaksi parasosial itu tak sampai merugikan.
Natalie Jeung kemudian merekomendasikan pemeriksaan lebih lanjut mengenai berapa banyak waktu dan investasi emosional yang sudah dilibatkan ke dalam hubungan parasosial tersebut. Misalnya, ketika interaksi parasosial justru menyebabkan pekerjaan utama jadi terganggu, itu sudah jelas merupakan tanda bahaya.
Kita tentu sering mendengar berita buruk tentang penggemar yang kedapatan melakukan pelecehan verbal kepada idolanya, entah itu dilakukan saat menonton konser maupun sesi meet and greet, atau melalui tulisan fanfiction dan alternate universe (AU) dengan narasi yang mengarah pada pelecehan nonverbal.
Ada istilah yang disebut dengan celebrity worship syndrome (CWS), yaitu kondisi ketika seseorang mengagumi idolanya secara berlebihan. Tak hanya mengagumi karyanya, seorang pengidap CWS bahkan berusaha mencari tahu segala informasi pribadi tentang idolanya. Obsesi semacam ini pun cenderung melahirkan dehumanisasi terhadap sang idola. Makanya, seorang selebritas terkenal seringkali kehilangan privasi, bahkan tak bisa bebas menentukan opsi yang disuka, termasuk dalam hal memilih pasangan, misalnya.
Baca juga:
Meski begitu, dampak parasosial sejatinya tidak bisa dilihat dari kacamata hitam dan putih saja. Ibarat seorang dokter, kita tak boleh mendiagnosis suatu penyakit hanya dari simtom-simtom yang sepintas lalu tampak dari luar. Dari bermacam dampak negatif yang berpotensi dapat terjadi, hubungan parasosial juga tak jarang membawa impak yang positif, khususnya bagi komunitas penggemar (fandom).
Komunitas penggemar grup BTS yang dikenal dengan sebutan ARMY pernah berinisiatif melakukan penggalangan dana lebih dari 400 juta untuk korban tragedi di Stadion Kanjuruhan pada 2022 silam. Pada kesempatan lain, mereka juga mengumpulkan donasi untuk mendukung konservasi penyu, proyek taman laut, hingga bantuan sosial kepada warga negara Palestina yang jadi korban genosida. Ajaibnya, semua itu murni mereka lakukan secara sepihak dan sukarela tanpa harus menunggu instruksi maupun izin dari pesohor yang mereka idolakan.
Pada akhirnya, memang diperlukan literasi yang baik untuk melihat batasan-batasan dalam interaksi parasosial. Jika kita masih mendengar ada seorang penggemar yang mengucapkan terima kasih karena buah karya sang idola telah menjadi alasannya “untuk bertahan hidup”, maka seharusnya tak ada yang perlu dikhawatirkan dari hubungan parasosial tersebut. Toh, semua penggemar akan mengalami fase pendewasaannya masing-masing.
Editor: Emma Amelia