Mahasiswa Sastra Indonesia di salah satu kampus swasta di kota Padang

Mabuk dan Puisi Lainnya

Alfarizi Andrianaldi

2 min read

Mustika (5)

Kenapa kulakukan itu? Kau mengetahuinya? Maafkan aku. Aku berusaha mencabut paku-paku yang selama ini carut-marut di kepalanya. Aku merasakan apa yang ia rasakan. Ia sama sepertiku, menanti seseorang yang tak akan pernah bisa dimiliki. Kami sama-sama membakar diri.

Kukisahkan tentang kucing-kucing lucu yang berkeliaran di matamu kepada para tetamu yang menjengukmu di rumah sakit bahasa. Mereka tak menyangka ular yang terlelap di gua kepalaku mematuk jantungmu.

Perihkah? Ah! Ular itu melata ke arahku. Kucing-kucingmu kini kabur entah ke mana. Apakah kau melihat keberadaan mereka? Sudahlah. Kapan lagi kita akan bersua?Berdua? Anganku tergali cukup dalam, hingga tak lagi kutemukan timbunan tanah.

Kau pasti tahu banyak tentangnya? Dan aku hampir saja tumpahkan segelas tangis sebabmu, sebab kebodohku yang menganggap engkau menerimaku. Buku apa yang ingin kau pinjam dariku? Maukah kau membaca buku yang tokoh utamanya adalah aku yang anjing, yang babi, yang monyet, yang cacar, yang kudis, yang kurap, yang muntah, yang nanah, yang retak, yang patah?

(2023)

Kaktus

Sudah kuberitahu sedari dulu bahwa perih akan menyapamu tiap hari. Kini kau bertetangga dengannya. Aku ada di sampingmu, namun kenapa tak pernah kau sapa diriku? Kumerasa saat kau melihatku, kau serasa melihat sesosok hantu, besar dan menakutkan.

Kenapa tak beritahuku bahwa kau akan lakukan semua kegilaan yang datangkan ngiau ambulans di kepalamu. Sakitmu adalah batu yang tak sanggup kuangkat.

(2023)

Api/Kayu

Aku yang kini masih mengkhayal tentangmu di kasurku yang tak lagi empuk, memandang putih awan virtual yang semakin memudar. Aku menjelma menjadi api yang membakar aku, menjadi asap yang mengepul menyatu dengan angin hingga lenyap tak berjejak.

(2023)

Mabuk

Malam ini, aku melihat bintang dicomot segerombolan babi hutan, mereka panik tak karuan setelah ketahuan menyeruduk botol-botol di atas meja makanku. Pecah, yang diciptakan beling-beling kekacauan di dalam kepalaku berserakan di lantai jantungmu.

Aduh! Tubuhku menganga menghadap cahaya bulan. Mataku meredup hingga tiba kunang-kunang datang menjemput, mereka menjilati permen kapas di langit-langit mulutku, lalu terbang membawaku ke lembah kegelapan ‘tuk lenyapkan rupa tubuhmu.

Mayat kesadaranku tergeletak di toilet, terkurung sejak meneguk ucapanmu yang bau pesing, tengik yang menusuk telinga. Kurasa perih yang menyemak di dadanya tak dapat lagi ditolong.

Aku terdampar cukup jauh dan dipukul tiga pagi ribuan kali tanpa henti. Ikan-ikan berenang di pikiranku, mereka beberapa kali berubah bentuk. Terbang, menjadi awan. Jatuh menjadi aku. Diam, menjadi dendam. Aku masih tak dapat membuka mata, ikan-ikan bertelur di sana, menghadang gerakan kelopak mata kala saksikan mentari pagi menyala.

Kau berikanku nasihat agar esok hari tak lagi datangi tempat itu, kau nyatakan padaku bahwa itu adalah tempat menangisnya para segerombolan putus asa yang menenggak pisau ‘tuk robekkan kain lambung.

Kau mengecewakanku? Aku mengecewakanmu? Kini aku tersesat di dalam rimba kebimbangan. Tak baik kumenuduhmu begitu, namun kau boleh menuduhku sesukamu. Burukku memang begitu, sekarang kau telah mengenal hewan-hewan yang kurawat dengan baik di tubuhku.

Kau perintahkanku agar gunakan senjata paling mutakhir ‘tuk lenyapkan kekecewaan di jantungmu. Kurasa akulah yang pantas rasakan peluru penglenyapan itu. Kau, tinggal pergi ke jantung berduri yang lain, tanam sebibit mawar hingga kau lupa apa yang telah terjadi padamu, sebab bahagia telah menghujani peluk hangat seseorang di tubuhmu.

Mata terbelalak, silau memukul mataku saat termenung menatap kesendirian. Kejadian semalam telah lenyap dimakan segerombolan hiena yang berupa pagi. Beling-beling kekacauan dari botol-botol semalam kau berikan kepada semut ‘tuk jadi bahan tambahan membangun sebuah rumah. Itu tepat berada di kepalaku, berisi kau yang tengah memotong kakimu agar tak dapat lari dari pelukan seorang lelaki yang bukan aku.

(2023)

Tak Ingin Tumbuh

Kau lepaskan anjing dari mulutmu, mematuk telingaku hingga berlubang. Tak heran ayam yang mengeram di tubuhku tetaskan telurnya lebih cepat dari yang dijadwalkan, sehingga lendirnya mengalir deras dari kedua bola mataku. Meninggal bau amis di hidung anjingmu.

Katamu, kau tak ingin dimiliki siapapun, kau tak ingin tumbuh di tubuh siapapun. Mengapa kenapa kau biarkan aku dan aku lainnya mengerang tak tahu arah, sebab aku dan aku lainnya mengetahui kau dan dia menghantam aku dan aku lainnya bagai petir dan bagai badai mengazab seorang durhaka.

(2023)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Alfarizi Andrianaldi
Alfarizi Andrianaldi Mahasiswa Sastra Indonesia di salah satu kampus swasta di kota Padang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email