Malam yang Tertinggal di Trotoar
Malam belum benar-benar pulang,
meski matahari sudah mengintip dari balik gedung-gedung sombong.
Di trotoar, seorang anak kecil
menggambar lingkaran dengan kapur.
Ia bilang,
“Inilah dunia,
tempat Tuhan tinggal sementara.”
Di halte penuh debu,
seorang perempuan duduk memeluk kantong plastik.
Isinya, mungkin doa-doa yang terlambat diucapkan,
atau remah-remah keadilan
yang disapu dari meja rapat tengah malam.
Ia menatap spanduk besar di depannya:
“Satu Suara untuk Masa Depan.”
Ia tertawa kecil, getir,
mungkin teringat masa depan
yang sudah lama dicuri.
Di ujung jalan,
sebuah masjid berdiri diapit papan reklame:
satu menawarkan diskon gadget,
satu lagi janji perbaikan moral bangsa.
Suara azan bercampur iklan detergen,
mengalir seperti sungai
yang lupa arah pulangnya.
Di gereja,
Yesus turun dari salib,
membeli sepotong roti dari penjual keliling.
Ia duduk di bangku kayu,
menyeka peluh, lalu berkata kepada si penjual:
“Apakah surga masih dijual hari ini?”
Penjual itu hanya tersenyum,
“Surga terlalu mahal, Tuan.
Tapi kalau Bapak mau,
kami punya promosi;
seikat maaf, gratis satu janji.”
Di alun-alun, patung pahlawan ditutup kain hitam.
“Pemugaran untuk masa depan bangsa,” kata tulisan kecil di bawahnya.
Tapi seseorang berbisik:
“Mungkin ia malu,
melihat namanya dipakai untuk jalan tol
dan konferensi pers.”
Langit mulai memerah.
Di sudut kota,
anak kecil tadi masih di sana, menggambar lingkaran baru.
“Tapi kenapa sekarang lebih kecil?”
tanya seorang lelaki tua.
Sang anak menjawab:
“Karena dunia kita makin sempit.
Tuhan tak butuh tempat yang besar,
tapi manusia semakin serakah
memaksanya pergi.”
Malam itu,
ada satu suara kecil bertanya:
“Kalau doa tak lagi naik ke langit,
apakah ia bisa kembali ke tanah
dan tumbuh jadi keadilan?”
–
Malaikat Maut Meminjam Kursi Plastik
Malaikat maut meminjam kursi plastik
di depan rumah nenek tua.
Ia duduk, tangan kanannya menaruh koper kecil berisi formulir kematian.
“Aku hanya singgah sebentar, Nek,” kata malaikat.
“Tugas ini cepat saja, tanda tangan di sini,
lalu kita pergi. Kau tak perlu membawa apa-apa.”
Nenek terkekeh,
suara tawanya seperti pecahan gelas di lantai dapur.
“Tidak semudah itu, Nak.
Aku belum ingin mati.
Aku belum pernah bahagia.
Kau tahu? Di negeri ini,
bahagia itu seperti antre sembako—
panjang, penuh dorongan,
dan sering kali palsu.”
Malaikat maut membuka buku catatan yang penuh coretan manusia:
“Korupsi, pembagian bansos,
suara rakyat yang dipelintir jadi angka statistik.
Apa yang bisa kukatakan?
Keadilan sedang cuti panjang.”
Nenek menghela napas,
mengusap pipi keriputnya yang penuh debu,
debunya bukan dari tanah,
tapi dari janji kampanye yang mengering dan jatuh berserakan.
“Aku tak pernah meminta banyak,
hanya ingin sekali saja melihat anak-anakku
tidak berjalan pulang dengan tangan kosong,
dan cucuku tidak bertanya,
‘Nek, kapan kita makan nasi yang tidak terasa seperti air mata?”
Malaikat maut mulai gelisah.
Ia membuka kopernya,
mengambil sehelai kertas bersimbol Tuhan.
“Nek, waktu kita sudah habis.
Jadwalnya ketat. Setelah ini,
aku harus menjemput seorang direktur di kantor mewahnya.”
Nenek tersenyum tipis,
“Ambil saja dia lebih dulu, Nak.
Mungkin ia lebih pantas pergi,
karena yang ditinggalkan cuma rekening besar
dan meja kerja kosong.”
Malaikat maut tertawa.
“Nek, kau ini cerdik sekali.”
“Aku bukan cerdik,
aku hanya terlalu lama hidup
di negeri yang membuat orang kecil
jadi ahli bertahan tanpa alasan.”
Langit di atas mereka memerah,
seperti luka yang belum sempat sembuh.
Di kejauhan, suara azan terdengar,
tapi samar-samar,
karena bercampur deru ekskavator
yang merobohkan rumah-rumah warga.
“Nek,” malaikat maut akhirnya berkata,
“kau tahu, tugasku ini adil,
tapi aku tak bisa menjanjikan apapun setelahnya.”
Nenek menatap tajam,
matanya seperti kaca yang sudah buram.
“Kalau begitu, biarkan aku hidup satu hari lagi.
Aku ingin memeluk cucuku,
mengajarinya bahwa meskipun dunia ini palsu,
senyum tak pernah bohong.”
Malaikat maut berdiri,
merapikan jubah-Nya yang terlihat lelah.
Ia berbisik pada malaikat maut,
“Baiklah, Nek. Kau punya satu hari lagi.”
Dan nenek itu tetap di sana,
di kursinya yang reyot,
memandang langit yang penuh warna,
bertanya pada dirinya sendiri:
“Jika Tuhan selalu mendengar,
mengapa suara-suara kecil
harus bersaing dengan suara uang?”
–
Liturgi Perut Kosong
Ibu menggenggam kupon sembako
seperti doa yang tak pernah sampai.
“Bu, cukupkah ini untuk besok?”
Anak kecil bertanya.
Ia diam,
karena tahu Tuhan
terlalu sibuk untuk orang sepertinya.
–
Doa untuk Wajah Tak Berdosa
Ia tersenyum dari layar kaca,
seperti nabi yang lupa pulang ke surga.
“Rakyatku, aku mencintaimu,” katanya,
dan kita pun mengangguk,
sambil menahan lapar yang tak punya kata.
Di ruang sidang,
tangannya yang putih menekan cap pengampunan.
Di luar,
sepasang tangan kecil mencuri roti basi
di bawah mata kamera pengawas.
“Kenapa wajahnya selalu cerah?”
tanya seorang anak kepada ibunya.
Karena keadilan, Nak,
adalah lampu yang selalu diarahkan
ke tempat yang salah.
–
Sang Petani
Ia menanam benih di tanah yang hilang,
meski tahu hujan tak pernah diundang.
Di atas sana, tangan-tangan besar
meraup langit, menjual sisa-sisa terang.
Benih itu tetap ia tanam,
meski tak pernah tumbuh,
meski tak pernah dimaknai.
Keadilan, pikirnya,
mungkin hanya gulma
yang terus dicabut tanpa sebab.
*****
Editor: Moch Aldy MA