Ibuku seorang pelacur. Tapi ia tak mau disebut demikian. Katanya, panggil aku nona manis atau cukup Ibu saja, Nak. Aku tidak mengerti mengapa Ibu tidak mau disebut pelacur, pedahal jelas itu adalah pekerjaan barunya setelah memutuskan berhenti menjadi buruh pabrik. Waktu kutanya kenapa Ibu berhenti bekerja di pabrik dan memilih menjadi pelacur saja, Ibu hanya menjawab kalau ia ingin mencoba jadi manusia kelelawar. Sepanjang siang Ibu akan tidur terus dan menjelang sore ia sibuk dengan urusan dapur dan dandan. Lalu, ketika malam turun Ibu akan disibukkan dengan ponsel. Seakan-akan ponsel itu adalah anak Ibu.
Ibu juga menambahkan bahwa untuk hidup di dunia, manusia perlu realistis. Apalagi belakangan ini, semua harga sembako meningkat tajam sementara gaji Ibu sebagai buruh pabrik udang tidak pernah mengalami peningkatan tiap tahunnya.
“Belum lagi biaya kamu sekolah dan sewa kontrakan. Kita butuh uang untuk bisa hidup tenang, Nak.”
Tapi menurutku, tidak semua hal di dunia ini bisa ditukar dengan uang, misalnya adalah kehadiran Ibu. Selagi ada Ibu, kurasa dunia akan baik-baik saja. Ibu senang karena aku puji meski tidak bertahan lama, karena setelahnya ia kembali mengomel perihal hidup di dunia yang tak pernah ramah ini.
Katanya, Ibu lelah jika harus terus bekerja dari pagi ke malam sementara upah yang diterima selalu bertahan di bawah rata-rata. Bahkan jauh dan tidak bisa dibilang cukup, karena nyatanya kami selalu kekurangan. Ibu juga sudah letih jika setiap satu bulan sekali, kadang dua minggu sekali, harus mendengar makian dan cacian dari Mbak Sami karena kami selalu terlambat membayar sewa kontrakan.
“Belum lagi surat cinta dari sekolahmu yang minta ibu buat melunasi biaya SPP yang menggunung. Ibu tidak mau mati konyol karena ditagih tunggakan terus,” terangnya.
Terhitung sudah tiga minggu berjalan sejak Ibu memutuskan untuk jadi pelacur, kehidupan kami berubah drastis. Kepala Sekolah tidak lagi memandangku sinis. Seragam sekolahku pun tidak lusuh lagi. Ibu menggantikannya dengan yang baru. Pun sepatuku, bagian depannya tidak lagi menganga. Di samping itu, sekarang aku juga punya kasur motif robot yang dulu selalu kuinginkan dan ada televisi. Kata Ibu, aku tidak perlu lagi main ke rumah teman kalau ingin menonton serial kartun kesukaanku.
Semenjak Ibu jadi pelacur, arus kehidupan kami semakin lancar saja.
Pernah ada orang tua temanku yang bertanya tentang asal usul rezeki yang diterima oleh keluargaku. “Setahuku, belum ada satu bulan sejak ibumu mengundurkan diri dari pabrik udang, dari mana ibu kamu dapatkan uang yang banyak untuk memfasilitasi kamu, Nak?”
Dengan polosnya kujawab, “sekarang Ibu jadi pelacur.”
Orang tua temanku terlihat kaget. Mukanya yang semula berwarna kemerahan kini pucat, seakan-akan ia baru saja kemasukan angin.
“Ibumu pelacur?” tanyanya lagi. Aku mengangguk sembari tersenyum bangga. Menurutku pekerjaan Ibu kali ini keren sekali. “Aku bangga Ibuku jadi pelacur,” seruku dengan riang. Tapi kulihat, orang tua temanku justru menggelengkan kepalanya. Ia sepertinya kehabisan kata-kata setelah mendengar jawabanku.
Peristiwa itu aku ceritakan kepada Ibu yang baru saja pulang bekerja. Respon Ibu hanya gelak tawa yang menggelegar ke segala penjuru ruang kontrakan kami. Setelahnya, ia bergegas merapikan barang bawaan dan pergi mandi.
Jujur saja aku tidak mengerti di mana letak lucunya cerita yang kusampaikan pada Ibu. Pun demikian dengan reaksi orang tua temanku, yang menurutku berlebihan. Aku sampai berpikir, apakah jadi pelacur itu salah? Pedahal menurutku dia adalah sejenis pekerjaan yang keren. Buktinya, belum lama alih profesi jadi pelacur, Ibu selalu pulang dengan tangan yang sesak oleh makanan dan baju baru. Sangat berbeda dengan ketika Ibu masih bekerja di pabrik udang milik orang Cina. Ibu selalu pulang dengan wajah kusut disertai aroma busuk. Air muka bahagia Ibu baru akan nampak ketika menjelang akhir bulan.
Koleksi baju Ibu jadi bertambah banyak dan beraneka ragam bentuk serta motifnya. Demikian dengan tubuh Ibu yang pelan-pelan berubah jadi putih bersih. Waktu kerja Ibu juga jadi lebih singkat. Ibu hanya akan berangkat apabila ponsel yang belum lama dibelinya itu berdering. Akibat mengambil pekerjaan yang seringnya dilakukan pada malam hari itu, Ibu jadi tidak perlu repot-repot berangkat pagi ke tempat kerja. Aku juga senang karena akhirnya bisa merasakan rasanya diantar sekolah oleh Ibu. Begitu pun dengan Ibu.
Kurasa Ibu telah menemukan kebahagiaannya hanya dengan menjadi pelacur. Namun rupanya aku keliru, karena pada saat perempuan yang telah melahirkan dan membesarkanku seorang diri, memilih menjadi pelacur, saat itu usiaku baru sepuluh tahun. Aku belum mengerti arti pelacur, dan tidak tahu jika orang dewasa senang menipu anak di bawah umur.
Kini, setelah tujuh belas tahun berlalu, dan kelas sosialku dan Ibu melesat, segalanya telah kuhayati dengan baik dan saksama. Lalu sebagai bentuk balas budi untuk segala kebaikan yang telah dilakukan Ibu padaku di masa lalu, aku memutuskan untuk melanjutkan langkahnya. Tapi Ibu menginginkan aku melampaui apa yang telah dilaluinya. Maka kuputuskan untuk menjadi seorang germo saja. Ibu sebagai pemilik perusahaan yang bergerak di dunia malam.
*****
Editor: Moch Aldy MA