Lelaki Bernama Anjing

Surya Gemilang

5 min read

Anjing: demikian nama lelaki itu—aku serius. Sang ibu yang konon memberinya nama begitu. Seminggu sebelum melahirkan, di sebuah gang sepi kira-kira pukul sepuluh malam, seorang pemalak menempelkan golok ke leher wanita itu, dan seekor anjing liar, yang muncul entah dari mana, mendadak menanamkan gigi-geliginya di selangkangan si pemalak. Kutebak nama Anjing merupakan doa agar sang anak kelak menjadi penyelamat bagi ibunya, atau bagi orang lain—yang jelas wanita itu tak pandai dalam urusan berdoa.

Aku tak pernah bertemu langsung dengan si Anjing; aku tak pernah berkenalan dengannya. Tapi, di beberapa kesempatan, aku pernah bertemu beberapa orang yang sempat berurusan dengannya. Dan jelas berurusan dengan si Anjing sama sekali tak menyenangkan: semua orang yang pernah bertemu dengannya memiliki bekas luka gigitan, entah di pundak atau lengan atau leher, bahkan di daerah yang tak ingin mereka tunjukkan pada siapapun. Untung aku tak pernah bertemu langsung dengan si Anjing.

Molly: dari gadis itu aku pertama kali mendengar tentang si Anjing. Kami pertama bertemu di kafe X, seminggu setelah rutin bertukar pesan di Tinder. Ketika ia mengajakku ke apartemennya dan dia melepas sweter merahnya dan atasan lainnya, terlihat bekas luka gigitan pada pundak kirinya. Aku segera bertanya soal penyebab luka tersebut, dan Molly mulai bercerita padaku.

Molly pernah sekelas dengan si Anjing di SMA, sebelum lelaki yang duduk di bangku tersudut itu ditendang dari sekolah. Di hari pertama sekolah, para murid memperkenalkan nama satu per satu di depan kelas; murid di bangku terdepan mendapat giliran pertama, namun lelaki yang mendapat giliran terakhir itu tak kunjung berdiri dari bangku setelah teman sebangkunya kembali dari depan kelas. Molly dan semua murid menoleh padanya: si Anjing menunduk-diam seakan tak sadar dirinya sedang berada di kelas. Ia baru bergerak ketika Pak Guru berdehem keras; ia seperti melangkah di atas kaca tipis transparan dan awan-awan terlihat di baliknya. Sementara si Anjing bergerak lamban, Pak Guru terus mengernyit menatap daftar kehadiran. Dan ketika lelaki itu sampai di depan kelas, ia berkata: “Halo. Nama saya Anji.”

“Kenapa di sini kau bernama Anjing?” sahut Pak Guru, sembari melihat kembali daftar kehadiran di tangannya.

Molly pun iseng menjulurkan lidah dan bernapas kencang lewat mulutnya, dan seisi kelas terbahak-bahak. Gadis itu tak pernah membayangkan gigi-gigi si Anjing menancap pada pundak kirinya beberapa jam kemudian.

“Omong-omong,” kata Molly, sembari melepas ikat pinggangnya, “hari pertama kami sekolah adalah hari terakhir si Anjing ada di sekolah.”

Di mata pelajaran terakhir, setelah kira-kira enam jam si Anjing menerima ejekan tanpa henti karena namanya, ia mulai bersikap seperti anjing betulan. Molly sedang mencatat rumus phytagoras di buku tulisnya ketika tahu-tahu si Anjing menggigit pundak kirinya: gigi-gigi itu menembus seragam, dan Molly memekik, dan si Anjing pasti akan menggigit para pengejek lainnya jika saja para murid tak segera meringkusnya.

Cerita Molly tentang si Anjing berhenti sampai di situ. Ia ingin berdansa dan aku menurut dan kami tahu-tahu sudah berciuman dan sekitar satu jam kemudian aku meminjam kamar mandinya. Aku kembali bertanya soal si Anjing begitu keluar dari kamar mandi, tapi Molly mengaku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, kecuali lelaki itu dikeluarkan dari sekolah hari itu juga.

Aku tiba-tiba jadi terobsesi untuk mengorek lebih jauh cerita tentang si Anjing. Rencananya akan kutanyakan lebih jauh pada Molly—kami berjanji untuk bertemu lagi minggu depan—namun tak pernah ada pertemuan kedua. Tahu-tahu saja Molly memblokir seluruh kontakku enam hari sejak pertemuan pertama kami, dan aku jadi terlalu malas untuk menghampiri apartemennya.

Setelah tak memikirkan lagi kisah si Anjing, tiba-tiba aku bertemu seorang lain yang pernah bertemu dengannya, dua hari setelah Molly memblokirku, di kereta bawah tanah. Gerbong begitu sesak dan penuh getaran, rasanya aku dan para penumpang akan tinggal remah-remah begitu kereta berhenti, ketika seorang wanita di depanku mendadak berbalik dan berteriak padaku, “dasar cabul!”

Seisi gerbong sontak hening, hanya tersisa bunyi gesekan roda dengan rel, dan dipandangi banyak orang dalam kesesakan begini sama sekali tak menyenangkan. Mendadak pria di samping wanita itu menjotos wajahku. Aku tumbang dan seseorang di belakang menangkap tubuhku, dan seseorang yang sama melepasku hingga belakang kepalaku menghantam lantai gerbong. Si Pria Penjotos menahan perutku dengan sebelah lututnya, ususku terasa akan terlontar lewat mulut, dan seperti karakter lelaki pencemburu dalam sinetron ia berkata, “jangan sentuh pacarku!” lalu ia mencekik batang leherku. Di momen itulah aku menyadari bekas luka gigitan pada lengan bawahnya. Maka aku berkata, “si Anjing!” dan pria itu membelalak, cekikannya sedikit melonggar, oksigen berebut masuk lewat batang leherku, dan aku lanjut berkata, “kau kenal si Anjing?”

“Kau kenal si Anjing?” ia membeo. “A-aku… ia pernah menggigitku!”

Si Pria Penjotos adalah mantan polisi—ia bilang begitu setelah kereta berhenti, dan ia mengajakku duduk di Starbuck dalam stasiun. Si Pria Penjotos berpisah dengan pacarnya di stasiun itu, sang wanita bersalaman denganku dan kami saling meminta maaf setelah kujelaskan aku tak pernah meremas bokongnya. Si Pria Penjotos mentraktirku Caramel Macchiato sebagai permintaan maaf, dan selagi menunggu kopi ia mulai bercerita tentang si Anjing.

Ia pertama bertemu si Anjing setelah mendapat laporan tentang kasus penggigitan brutal di sebuah sekolah, dan ia ditugaskan menghampiri rumah si Anjing. Sang ibu membukakan pintu untuknya, tatapan wanita itu adalah tatapan seseorang yang seolah sedang menghadapi malaikat maut sendirian. Si Anjing sedang telentang di kasur dan tatapan kosongnya menembak langit-langit kamar. Persis filsuf yang sedang merenungkan akhir dunia. Wajahnya penuh lebam, dan darah masih basah di kerah bajunya. Si Mantan Polisi pun berjongkok di samping kasur si Anjing yang tanpa ranjang, lalu bertanya bagaimana kabarnya.

“Dia tak sekali pun menjawab pertanyaanku,” jelas si Mantan Polisi. “Dan itulah awal mula aku diceraikan mantan istriku.”

Karena tujuh pertanyaan berturut-turut tak dijawab oleh si Anjing, si Mantan Polisi bertanya pada sang ibu yang berdiri di depan pintu kamar, “apa aku boleh membawa anakmu ke kantor?”

Sang ibu langsung menangis—tak mengangguk ataupun menggeleng. Si Mantan Polisi lalu menyelipkan tangan kanannya ke bawah leher si Anjing. Ia hanya bercita-cita membuat si Anjing duduk, dan membantunya berdiri, dan merangkulnya ke kantor polisi—tetapi si Anjing adalah anak yang penuh kejutan: tahu-tahu ia menggigit lengan kanan si Mantan Polisi. Pria itu refleks meninju-ninju wajah si Anjing dengan tinju kirinya, refleks itu tetap bekerja bahkan hingga si Anjing pingsan dan melepas gigitan.

Si Anjing diangkut menuju ambulans dan Atasan si Mantan Polisi datang ke TKP khusus untuk memecatnya. Esoknya ia digugat cerai oleh mantan istrinya—ia menangis tepat ketika pelayan Starbuck memanggil namanya dari balik meja kasir: Caramel Macchiato dan Americano telah disiapkan. Aku bingung antara harus mengambil kedua kopi itu atau menunggunya selesai menangis.

“Mau kopi?” tanyaku.

Ia terlalu sibuk menangis, dan aku mengambil kedua kopi itu. Satu kudekatkan padanya. Barangkali menenggak kopi dapat menenangkannya—tetapi pria yang menangis itu tampaknya tak pernah ingin menenggak kopi. Ia menangis selama kira-kira tiga puluh menit: aku terus berpikir tentang film macam apakah yang bisa kubuat dari kisah si Anjing—entah fiksi atau dokumenter; entah film panjang atau pendek atau serial. Dan ketika ia selesai menangis, Caramel Macchiato-ku keburu habis, dan ia berkata, “aku ingin pulang saja.”

Aku menahan lengannya ketika ia berdiri. Aku tak bisa memaksanya lanjut bercerita, tentu saja, jadi kumintai ia alamat rumah si Anjing. Aku butuh kisah si Anjing lebih jauh. Tapi tentu aku tak mengatakan itu padanya ketika ia bertanya untuk apa. Aku hanya bilang, “setelah si Anjing menggigitku, aku memukul wajah ibunya. Aku harus meminta maaf.”

***

Dan aku benar-benar ke rumah si Anjing. Di dalam tasku, kamera dan perekam suara telah bersiap merekam sesuatu yang hebat. Tanganku telah bersiap memegang dinginnya piala di panggung besar. Dari sebuah jalan besar aku berbelok ke Gang Kucing, yang dipenuhi kecoak berebut keluar dari jeruji selokan, lalu aku berbelok ke gang lain dengan nama binatang lain, dan begitu seterusnya, semua gang di sini menggunakan nama binatang.

Sekali aku berhenti dan bertanya tentang arah rumah si Anjing pada wanita tambun berpipi serupa skrotum yang kering. Wanita yang sedang sibuk menghajar kecoak-kecoak di dinding gang berlumut dengan sapu lidi itu berbalik padaku, dengan tatapan seolah aku bertanya jalan mana yang menuju neraka, dan ia menunjuk satu arah serta bercerita tentang kesintingan si Anjing: suatu malam lelaki itu, sepulangnya dari rumah sakit sehabis dihajar si Mantan Polisi, merangkak sendiri melewati rumah sang wanita tambun, dan ia langsung mengusirnya, dan si Anjing langsung menggigitnya. Bekas luka gigitan itu berada di area yang tak ingin ia tunjukkan. Lalu ia menunjuk ke lain arah, ke gang di mana ibunya si Anjing dihampiri pemalak dan diselamatkan seekor anjing. Di gang itu sekarang kulihat seekor anjing tergeletak di tengah jalan, kejang-kejang dengan perut sobek dan jejak ban motor berupa darah memanjang dari tubuhnya—tak ada yang peduli padanya. Kemudian aku mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalananku.

Aku menemukan rumah si Anjing. Pintu depan rumah itu terbuka sedikit, suara pembaca berita di TV menyeruak dari celah pintu, dan aku mengetuk pintu itu. Rumah itu tampak membosankan: tak bertingkat dan berdinding hijau penuh retak dan berbau ikan asin. Ibu si Anjing pasti habis menggoreng ikan asin. Dan ia tak kunjung menyambutku. Maka aku sengaja sedikit menendang pintu dengan ujung kakiku, dan pintu terayun lebih lebar, dan di sanalah terjawab kenapa aku tak kunjung disambut: seorang wanita terkapar di lantai, lehernya koyak, genangan darah pelan-pelan merambat menuju pintu.

Aku tak melihat si Anjing di rumahnya. Aku juga sudah tak terobsesi melihat si Anjing. Entah ia kabur setelah apa-yang-terjadi-pada-ibunya, atau ia sembunyi di dalam rumah. Aku tak ingin tahu.

Pintu rumah para tetangga tertutup. Itu hari yang sepi. Angin tiba-tiba melesat mengentakkan daun pintu rumah si Anjing ke dinding, aku sedikit terlonjak dan langsung menggigil. Aku menutup pintu itu pelan-pelan, seperti maling yang hendak pamit, dan aku segera pulang.

Si Wanita Pemukul Kecoak sudah tak terlihat; dinding gang penuh tubuh kecoak yang hancur; kecoak-kecoak lain merayap dari selokan dan mengelilingi mayat saudara-saudara mereka. Dari titik ini, terlihat anjing sekarat di gang sebelah sana semakin lemah kejangnya—dan seperti tadi: tak ada yang peduli padanya. Aku berjongkok di sampingnya; putih matanya; aku ingin mencekik batang lehernya—kasihan ia.

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

Surya Gemilang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email