Nasib yang Rungkad
Setelah PHK di bulan yang menolak kalah ini
Aku kobarkan lagi modus operandiku:
Memancing
Kalian yang masih bernasib baik senantiasa bersibuklah
Biar aku yang menjaga kali
Biarlah aku menunaikan ritus sebagai khalifah di bumi
Satu, dua, tiga jam akan kutunaikan tanggung jawabku sebagai pria karier
Satu, dua, tiga ikan cukuplah untuk mengganjal kemiskinan
Yang bising dari rumah ia hanyutkan dalam sungai
Dia amini petuah lama bijak itu:
Memancing adalah kiat melatih kesabaran
Di antara jam yang semakin senja dan alpanya ikan-ikan,
Ia lafalkan pisuhan bersama lagu dangdut kesayangan:
Ini nasib memang rungkad
Ini nasib memang entek-entekan
(Kerjo, Mei 2023)
–
Jalan Syukur
Menjejaki jalan pengangguran telah menuntutku menjadi penyair
—di story WhatsApp
Akhirnya seorang kawan mengabari bahwa ada sebuah lowongan
Ah, tentu ini lebih baik dari sekadar ngopi dan genjrengan
Tapi durasi kontrak hanya 3 bulan
Aku yang pernah belajar sejarah lalu menerjemahkan:
Barangkali aku akan tergantikan, generasi yang lebih baik akan datang
Tapi satu bulan awal adalah magang
Aku yang pernah belajar agama lalu menegaskan:
Bukankah belajar dari lahir hingga mati adalah keharusan?
Tapi bulan-bulan depan akan banyak kondangan
Aku yang lajang dan pernah belajar bahasa Indonesia lalu mengartikan:
Ingatlah Chairil, ia jalani kesunyian dalam masing-masing
(Kerjo, 2023)
_
Las Vegas di Matamu
Kita masih di sini
Bersama ruang 3×3 yang kita poles menjadi puisi:
Kamar mandi luar, free wifi, full perabot, dan full keintiman
Di Las Vegas yang kita bayar sendiri ini
Segalanya semakin tembus dipandang
Segalanya: pekerjaan kita, keuangan kita, rahasia kita
“Tapi sampai kapan kita akan terus begini?”
“Kan aku adalah rumahmu.”
Sial, ternyata nasib tak bisa kutipu
Salah betul aku mengimani penyair dan angkringan itu
Baiklah, sebagai lelaki kuturuti permintaanmu
Esok, kita akan menghuni pondok indah mertua
Meninggalkan ibu kos yang selalu menaruh curiga
(Kerjo, 2023)
_
Janur Sudah Menjadi Bubur
Menghitung jari, sudah musim kondangan saja
Ini berarti, kau harus bersiap pura-pura mahamapan lagi mahabahagia
Ia yang berbahagia sebagai lelaki meninggalkanmu sebagai kawan lama
Ia yang berbahagia sebagai perempuan meninggalkanmu sebagai teman masa kecil yang gagal kaunikahi
Tapi janur sudah menjadi bubur
***
Pulanglah kau, seorang bayi akan menangisimu
Tinggalkan aku, kepengecutan memaksaku menangisimu
(Kerjo, 2023)
_
Sebuah Sajak Karang Taruna
: Mereka yang Bersetia di Kampung Halaman
Kamilah garda terdepan rasan-rasan
Bukankah cinta ketika kau memperbincangkan seberang rumah?
Sebab kami tahu betapa menyakitkannya dilupakan
Kamilah garda terdepan sinoman
Bukankah cinta ketika kau merancang kerja dalam sebuah hajatan?
Sebab kami tahu betapa menyakitkannya ditinggalkan
(Kerjo, 2023)
–
Perbincangan Canggung Setahun Sekali
: Mereka yang Perlahan Terlupakan
Kutapaki halaman dengan alang-alang panjang. Tak ada keramaian di sana, kecuali sisa pakan ayam dan masa tua yang gagal ideal. Foto presiden belum diganti, dan kalender yang basi masih bersetia bertengger di dinding keropos itu. Sebelum malam takbiran kemarin, samar-samar kudengar tembang Caping Gunung dari bilik yang dijangkiti debu.
Tersyahdankanlah perbincangan canggung satu tahun sekali dan selera humor yang semakin membentang. Ia yang semakin tua, dan justru aku yang semakin pikun, tergagap-gagap dalam sebuah ramah-tamah. Masih ada wine dalam jubah ilmu pengetahuanku di hari yang seharusnya Fitri. Buku dan budaya urban barangkali telah menumbuhkan opium yang merontokkan cangkangku sebagai manusia rural.
Atas nama Foucault, Gramsci, atau Derrida yang bersikeras melekat, siapa saja nama-nama tetangga yang gagal kuingat?
(Kerjo, Seusai Hari Raya 2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA