Dalam dunia yang terus berubah, stoikisme menawarkan pandangan tentang cara mengatasi tekanan emosional demi menjaga ketenangan batin. Stoikisme memperkenalkan sebuah konsep yang diberi nama dikotomi kendali. Dikotomi kendali adalah pemahaman untuk memisahkan hal-hal yang bisa dikendalikan dan yang tidak bisa dikendalikan.
Dengan kata lain, konsep ini mengajarkan bahwa ada hal internal dan eksternal yang menyertai pengalaman seseorang. Hal internal adalah sesuatu yang berada di bawah kendali seseorang, sementara hal eksternal adalah sesuatu yang tidak dapat dikendalikan.
Dengan memisahkan hal-hal yang bisa dan tidak bisa dikendalikan, seseorang diharapkan dapat menghindari kekhawatiran yang tidak perlu dan mampu lebih bijaksana dalam merespons situasi. Dengan begitu, akan muncul rasa damai dalam menerima kenyataan hidup, lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, serta mendapatkan kebahagiaan yang tidak tergoyahkan oleh faktor eksternal.
Konsep tersebut terdengar begitu praktis dan sempurna, bukan? Namun, benarkah stoikisme sekuat itu? Atau jangan-jangan, stoikisme hanyalah upaya untuk menekan ragam pengalaman negatif agar selalu merasa positif dan justru menyebabkan penumpukan emosi.
Emosi yang Dipendam
Beberapa waktu lalu, seseorang di forum tanya jawab Quora menyampaikan pengalamannya terkait laku stoik yang telah lama ia amalkan. Orang tersebut menyampaikan bahwa dirinya berubah menjadi sosok yang egois dan hanya peduli pada diri sendiri. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa rasa empatinya terhadap orang lain perlahan memudar.
Baca juga:
Efek dari beragam emosi yang dipendam atas nama pengendalian diri akhirnya menemui titik puncak. Ia mengalami ledakan emosi. Ia marah-marah tanpa bisa dikendalikan.
Berangkat dari isu tersebut, saya mencoba melakukan eksperimen pikiran (thought experiment) melalui fragmen cerita yang tidak terlalu panjang tetapi setidaknya mampu merangkum gambaran keresahan yang disampaikan sebelumnnya.
Alkisah, Maya adalah perempuan yang sudah lama tinggal bersama neneknya. Ada ikatan emosional yang kuat di antara mereka. Selain itu, Maya juga tumbuh dengan nilai-nilai stoikisme yang ia dapati dari buku-buku bacaan, yang mengajarkannya untuk menerima takdir dengan ketenangan.
Ketika neneknya meninggal, Maya mencoba menerapkan prinsip-prinsip stoik dalam menghadapi ketegangan emosinya. Maya berusaha untuk mengendalikan respons emosionalnya, memaksakan diri untuk memadamkan kesedihan dan duka yang dirasakannya.
Ia mencoba menyembunyikan perasaannya dan berpikir bahwa rasa sakit itu tidak penting dan hanya mengganggu keseimbangannya. Ia tidak mengizinkan dirinya untuk menangis atau merasakan kesedihan yang mendalam.
Maya secara tidak langsung mendorong dirinya untuk setengah mati melupakan kenangan bersama neneknya. Mengendalikan emosi seperti yang diajarkan dalam dikotomi kendali tampaknya memaksa Maya untuk menjadi seperti benda mati, tanpa ruang bagi perasaan dan kenangan.
Dalam diri Maya, dikotomi kendali adalah cara untuk mengendalikan diri sendiri demi mencapai ketenangan batin, yang tanpa ia sadari justru menumbuhkan sikap apatis dan abai.
Merujuk dari eksperimen pikiran yang saya lakukan, dapat ditarik benang merah bahwa stoikisme terlalu ketat dalam mengategorikan hal-hal yang menimpa hidup manusia, dengan hanya membaginya menjadi dua kategori. Kemudian ajaran stoik (dikotomi kendali) lupa untuk memahami bahwa emosi dalam diri manusia begitu kompleks.
Nietzsche dan Konsep Kebenaran Perspektif
Di sisi lain, Nietzsche menyampaikan sebuah konsep kebenaran perspektif. Konsep tersebut menekankan bahwa pandangan dan penilaian manusia terkait suatu fenomena dipengaruhi oleh latar belakang budaya, nilai-nilai pribadi, dan interpretasi subjektif. Ia mengajukan bahwa tidak ada kebenaran mutlak, yang ada hanyalah interpretasi dengan berbagai variasi berdasarkan sudut pandang individu.
Dalam konteks ini, Nietzsche beranggapan bahwa usaha untuk hanya mengendalikan pikiran rasional dan mengabaikan sisi irasional serta naluriah merupakan sebentuk ketidakpedulian yang naif. Nietzsche menegaskan bahwa manusia tak ubahnya seorang penyandiwara dan penipu luar biasa, sebab mereka cenderung menciptakan ilusi tentang kendali penuh atas diri sendiri.
Selain itu, Nietzsche berpendapat bahwa kesadaran akan keterbatasan manusia dan pengakuan akan kompleksitas emosi dan dorongan alamiah dapat membuka jalan bagi pemahaman yang lebih jujur dan autentik tentang diri dan dunia.
Ketika Maya memiliki tendensi untuk menekan emosinya saat dihadapkan pada kematian neneknya, pada saat itulah ia menjadi penyandiwara dan menipu dirinya sendiri. Jika merujuk pada apa yang dikatakan Nietzsche, kesedihan, tangis, atau perasaan lain yang dirasakan Maya adalah sesuatu yang naluriahnya. Upaya untuk menekan dan mengendalikannya berarti sama saja dengan tidak menghargai sifat naluriah tersebut.
Ketimbang berusaha menghindari berbagai macam emosi, bukankah seseorang lebih baik berusaha untuk cukup kuat membiarkan dirinya merasakan semua emosinya secara langsung dan meresponsnya dengan tindakan yang etis?
Baca juga:
Pandangan stoikisme terhadap kematian bisa dikatakan cenderung objektif. Kematian dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari logos universal (prinsip fundalmental yang mengatur alam semesta dan memberikan makna pada segala sesuatu) dan manusia diharapkan untuk tidak terlalu terikat pada perasaan sedih atau takut terhadapnya. Pandangan objektif ini mungkin mengabaikan aspek subjektif dan emosional yang terkait dengan kematian.
Kematian, terutama kematian orang yang kita sayangi, sering kali memicu reaksi emosional yang kompleks, seperti kesedihan, kehilangan, atau bahkan kemarahan. Dalam situasi ini, pandangan yang terlalu objektif mungkin tidak sepenuhnya dapat memahami dan menghargai pengalaman emosional individu yang berduka.
Pendekatan stoikisme yang lebih objektif terhadap kematian juga dapat mengabaikan keragaman pengalaman manusia dalam menghadapi kehilangan. Setiap individu memiliki cara dan proses yang berbeda dalam merespons kematian. Pandangan yang terlalu objektif mungkin tidak dapat memperhitungkan perbedaan individual tersebut.
Lewat konsep kebenaran perspektif, Nietzsche menolak ide adanya kebenaran objektif atau realitas absolut yang dapat dipahami oleh manusia secara menyeluruh. Setiap orang memiliki pandangan dan penilaian yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti latar belakang budaya, pengalaman pribadi, nilai-nilai yang mereka anut.
Setiap individu memiliki pengalaman emosional yang unik dan kompleks dalam menghadapi kematian orang yang mereka sayangi. Mereka mungkin merasakan kehilangan yang mendalam, kesedihan yang luar biasa, dan keraguan tentang arti hidup.
Bagi mereka, pengalaman ini sangat personal dan tidak dapat direduksi menjadi prinsip tunggal atau hukum alam yang berlaku untuk semua orang. Perspektivisme mengakui bahwa setiap individu memiliki latar belakang, hubungan, dan ikatan emosional yang berbeda dengan orang yang mereka cintai.
Seperti yang kita ketahui, segala sesuatu di dunia ini tak pernah ada yang sempurna, termasuk upaya manusia untuk mendifiniskan apa itu kebahagiaan dan bagaimana cara mencapainnya.
Berbekal kesadaran akan ketidaksempurnaan, akan lebih bijak bila kita tidak sepenuhnya menggantungkan segala hal yang terjadi pada hidup kita hanya pada satu konsep. Adakalanya kita perlu memastikan apakah sesuatu yang menimpa kita perlu dikendalikan secara ketat atau malah sebenarnya kita tidak terlalu perlu melakukan apa-apa, kita hanya butuh menerima lalu membiarkannya mengalir begitu saja.
Editor: Prihandini N