Ingin bersahabat dengan beruang kutub 🐻‍❄️ Penulis cilik yang sudah tidak cilik lagi, tapi masih piyik 🐣

Kura-Kura Tua di Tepi Pantai Sepi

Nathania Luvena Lais

3 min read

Ada kura-kura raksasa yang sudah renta. Walau semua anak pada mulanya akan merasa takut melihat ukurannya yang besar, sesungguhnya ia adalah kura-kura tua yang baik hati. Pertemuanku dengan Pak Kura-Kura Tua bermula ketika dinginnya angin pantai mulai membuatku menggigil. Jaket yang kukenakan sudah basah oleh keringat, cipratan ombak, air mata dan ingus yang kuseka sebab tak henti-hentinya mengalir, sementara Ayah dan Ibu tak juga kembali.

***

Ketika aku merebahkan diri di pasir pantai, bayangan besar menghalau sinar matahari. Aku tidak membuka mata, memilih tidur sembari terus berharap semua yang terjadi adalah mimpi buruk. Namun, saat terbangun, aku masih di pantai yang sama dan sepi. Saat itulah pertama kali aku melihat Pak Kura-Kura Tua.

Ia renta tetapi begitu besar dan kokoh. Cangkangnya berkilau terkena pantulan cahaya matahari. Ketika melihatku terbangun, kepalanya menunduk dan mengendus-endus badanku.

“Aroma masam,” ujarnya, “dan kesedihan, dan takut, dan bingung. Biar aku tebak, kau tersesat atau ditinggal sendiri? Hmmm…, semakin banyak saja orangtua yang tahu letak tempat ini. Mereka pun menamai tempat ini seenak jidat. Katanya ini Pantai Seram dan mengarang cerita bahwa ada monster berbahaya yang mengambil anak-anak mereka.”

Aku tidak tahu saat Pak Kura-Kura Tua berbicara apa. Aku tidak mengerti mengapa Pak Kura-Kura Tua bisa berbicara bahasa manusia, tetapi mendengar perkataannya, membuatku teringat pada beberapa waktu yang lalu saat aku begitu gembira sebab Ayah dan Ibu mengajakku liburan.

Untuk pertama kali kami pergi liburan jauh sekali, tak henti-henti aku riang sejak perjalanan hingga sampai di pantai yang aneh, sepi sekali tak ada yang berkunjung. Walau begitu aku tetap bahagia, setidaknya hingga Ayah dan Ibu menyuruhku membuat istana pasir sembari menunggu mereka mengambil baju ganti.

Sedari mereka berjanji kembali hingga aku bertemu kura-kura besar aneh yang bisa berbicara, Ayah dan Ibu tidak juga datang membawa baju ganti.

***

Aku tidak menjawab sebab takut dan bingung melihat tubuh Pak Kura-Kura Tua yang amat besar dan dia dapat berbicara. Aku sama sekali tak beranjak dari tempat awal menunggu Ayah dan Ibu. Sampai hujan turun dan hawa dingin menusuk kulit leher sampai kakiku.

“Masuk ke bawah sana. Kau tidak akan kedinginan. Jangan pasang wajah takut seolah aku akan menimpamu sewaktu-waktu.”

Meski ragu, aku tetap merangkak ke bawah kolong badan Pak Kura-Kura Tua. Di bawah sana, aku bertemu dengan anak-anak lainnya. Mereka menyambutku dengan hangat dan kami saling bertukar cerita, tentang lama mereka tinggal di pantai itu dan selalu mengikuti perjalanan Pak Kura-Kura Tua ke mana pun ia pergi. Beberapa teman mereka katanya telah dijemput oleh orangtua atau sanak keluarganya. Sisanya, tak pernah ada tanda-tanda ada yang akan menemukan mereka.

Setiap ada yang berkunjung ke pantai ini, mereka tidak dapat melihat Pak Kura-Kura Tua dan anak-anak yang tinggal di kolong cangkang besarnya.

“Kecuali aku mau menampakkan diri, mereka tak akan dapat melihatku dan anak-anak yang tinggal bersamaku,” cerita Pak Kura-Kura Tua.

Katanya, anak-anak di bawah cangkang Pak Kura-Kura Tua itu tadi sempat melambai-lambai dan berteriak padaku untuk tidak membiarkan orangtuaku pergi. Aku mengingat-ingat kembali, dan merasa tidak mendengar dan melihat apa pun tadi.

“Kalau aku sudah bahagia tinggal di sini,” ucap seorang anak perempuan yang paling besar di antara semuanya. “Pak Kura-Kura Tua sama baiknya seperti orangtua teman-teman sekolahku. Berbeda dengan Ibu dan Bapak yang selalu marah tiap saat padaku di rumah. Kupikir karena aku anak yang berbeda. Kita di sini karena berbeda dibanding anak-anak lain yang dirawat dengan baik oleh orangtua mereka.”

Berbeda? Apakah ibu dan ayah juga meninggalkan aku karena aku berbeda? Tapi mengapa mereka tidak mau menerima perbedaan? Mengapa manusia tidak mau menerima perbedaan? Kepalaku tak mampu menemukan jawaban atas segala pertanyaan yang kupikirkan.

***

Hari demi hari berganti, aku mulai tak merasa sedih atau mengharap seseorang atau Ayah atau Ibu datang kembali.

Aku dan anak-anak di kolong cangkang banyak menghabiskan waktu bersama dengan mengikuti Pak Kura-Kura Tua. Waktu favoritku adalah ketika Pak Kura-Kura Tua memperbolehkan anak-anak untuk naik ke atas punggung cangkangnya. Pak Kura-Kura Tua akan mengajak kami berjalan-jalan dan ajaibnya dia bisa terbang!

Kami bernyanyi bersama-sama di atas punggung Pak Kura-Kura Tua dan terkadang burung-burung ikut menimpali dengan kicauan merdu mereka. Kadang kami juga diajak ke laut dan bertemu dengan kawan-kawan airnya yang juga sudah tua.

Dari punggungnya, tumbuh rumput dan pohon-pohon kecil dan buah-buahan yang rasanya manis. Kami suka memanjat dan memetik buah dan melamun di atas punggung Pak Kura-Kura Tua.

Pak Kura-Kura Tua punya banyak pengalaman. Tidak heran, karena usianya mungkin sudah seratus kali lipat umurku dan kawan-kawanku di sini. Ia banyak menceritakan kisah-kisah seru pada kami. Tak melulu kisah menyenangkan. Kisah yang sedih dan ajaib ia ceritakan juga.

Satu kali ia bercerita tentang asal usul pelangi yang lahir dari panci seekor peri. Kali lain, ia bercerita tentang asal usul badai yang lahir dari amarah para dewa.

Sebagai imbalan karena kami sudah dibolehkan menaiki cangkang dan bermain-main di atasnya, Pak Kura-Kura Tua menyuruh untuk membersihkan cangkangnya agar tetap berkilau. Kami pun membersihkan cangkang Pak Kura-Kura Tua dengan senang hati dan tetap bernyanyi. Meski kadang capek juga, sih.

Namun, seiring waktu Pak Kura-Kura Tua menjadi semakin renta. Jalannya semakin lambat dan tak bisa lama-lama terbang. Pernah seharian ia hanya meringkuk di dalam goa dan tertidur pulas. Kami pun tak lagi sering bermain di bawah kolong badannya atau naik ke atas cangkangnya.

Hingga suatu waktu, Pak Kura-Kura Tua berkata pada kami dengan suaranya yang serak. “Anak-anak, kalian harus tetap membersihkan cangkang tuaku. Kalau tubuh lembekku ini luruh, kalian harus tetap menjaga cangkangku. Saat waktu itu tiba, kalian boleh menjadikan cangkangku sebagai rumah kalian. Cangkangku cukup besar untuk kalian semua, tapi berdoalah supaya tak ada anak lain yang terjebak di sini. Cukup kalian saja, semoga tidak ada yang bernasib sama.”

Malam itu kami tertidur dan memeluk Pak Kura-Kura Tua dengan perasaan begitu sedih. Lalu saat kami terbangun, kami sudah berada di dalam cangkang. Pak Kura-Kura Tua telah luruh meninggalkan cangkangnya.

Sayang sekali harapan utama Pak Kura-Kura Tua tak terkabul, sebab semakin banyak manusia yang suka membuang anak ke sini. Anak-anak itu, mereka yang ditinggal di pantai sepi ini kemudian menjadi anggota baru keluarga kami.

Kami anak-anak yang berbeda tetapi saling menjaga satu sama lain. Di dalam cangkang ini, perbedaan bukan lagi masalah yang harus diselesaikan dengan cara saling meninggalkan. Kami adalah keluarga kecil yang bahagia, tinggal dalam cangkang kura-kura yang telah mati di tepi pantai sepi.

***

Nathania Luvena Lais
Nathania Luvena Lais Ingin bersahabat dengan beruang kutub 🐻‍❄️ Penulis cilik yang sudah tidak cilik lagi, tapi masih piyik 🐣

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email