Dongeng Pengantar Kiamat

Aris Rahman P. Putra

5 min read

I. Kehantuan yang Maya Esa

SUATU hari, di sebuah siang yang terik, aku dan Ibuk baru saja turun dari angkot berwarna kuning. Ibuk menyodorkan sejumlah uang kepada sopir. Aku yang saat itu masih bocah, nyelonong begitu saja menyeberang jalan. Dengan berlari. Tanpa menoleh. Nyelonong begitu saja. Sampai kemudian sebuah mobil yang melaju begitu kencang menghajar tubuhku. Aku terhempas beberapa jauh, tapi tak merasakan apa pun. Waktu terasa melambat. Kepala belakangku terantuk aspal. Cahaya putih seketika mengambil alih dunia. Tubuhku kembali bangkit. Mobil berjalan mundur. Aku berjalan mundur menuju Ibuk. Ibuk menarik kembali uangnya. Kami kembali masuk dalam angkot. Angkot berjalan mundur. Seisi dunia berjalan mundur. Seorang teman yang menodongkan belati ke arahku memasukkan kembali belatinya ke dalam saku. Sabu-sabu yang sudah dilarutkan ke dalam air putih lekas melayang masuk kembali ke sebuah plastik bening. Bapak melepas jambakannya dari rambut Ibuk. Darah yang semula mengucur dari pelipis setelah temanku membenturkan kepalaku ke tembok, berangsur masuk kembali ke dalam kepala. Luka telah menutup tanpa bekas. Gir sepeda yang menancap di betis kiriku, terlepas. Tas sekolahku yang dilempar ke kali kembali melayang ke daratan. Air mata Ibuk mengalir masuk ke dalam matanya. Luka sundutan rokok di samping pentilnya lenyap. Lalu dunia dihujani cahaya lampu kelap-kelip. Hampa dan asing. Aku tak lagi punya daya dan kuasa terhadap diriku sendiri. Aku menatap diriku di sebuah kaca toilet. Tanganku tak lagi mengepal. Tanganku tak lagi mengucurkan darah. Cermin yang semula remuk kembali bagus. Juga wajahku. Dan dunia kembali putih total, sebentar. Seorang bayi yang baru saja dilahirkan kembali masuk dalam rahim. Sperma-sperma berenang mundur. Planet-planet menghilang. Seluruhnya tengah dibenamkan oleh kegelapan. Lalu sebuah suara, entah dari mana, memanduku, “Ada sebuah tempat di antara surga dan neraka. Dan kita, sebentar lagi, akan bertemu di sana.”

 

II. Keaasusilaan yang Adil dan Biadab

AKU tak asing dengan tempat ini. Padang lapang boncel-boncel yang diselubungi kesunyian. Rasanya sangat karib, sekarib kematian. Aku tak bisa berjalan cepat di sini. Yang-tak-kasatmata memberatkan langkahku. Dan sedikit membuat tengkukku capek. Apa yang sesungguhnya sedang kulakukan di sini? Aku sudah lupa. Kepalaku ingin memuncratkan sebuah gagasan, tetapi yang-tak-kasatmata membelenggunya. Badai pasir. Batu-batu terbang. Tak banyak yang bisa kulihat selain kekurangan dan kelemahan diri sendiri, juga sebuah kotak televisi. Kotak televisi gelap total. Kotak televisi kemeresek. Kotak televisi menyala. Aku mendekat. Aku memencet serentetan angka secara acak: 12071995. Kenapa tanganku bisa bergerak di luar kendali? Aku bingung. Aku melihat seekor anak berkepala kelinci sedang duduk gemetar: guru ngajinya sedang memarahinya. Sang guru mengenggam gergaji.

“Kamu anak Iblis!”

Sang guru memotong kelingking tangan kiri si anak berkepala kelinci.

“Hatimu membatu!”

Sang guru memotong telunjuk tangan kiri si anak berkepala kelinci.

“Kamu sebaiknya mati!”

Sang guru memotong ibu jari tangan kiri si anak berkepala kelinci.

Aku menangis. Aku terharu. Aku marah. Kubenturkan kepalaku berkali-kali ke televisi. Televisi kemeresek. Televisi gelap total. Televisi pecah, belingnya berhamburan ke udara, berubah menjadi berjuta-juta keping cahaya. Cahaya yang terasa familiar. Rasanya sangat karib, sekarib kehidupan. Dari kejauhan aku melihat segerombol makhluk berjubah hitam kusam. Mereka menoleh ke arahku dan berseru, “Ikutlah bersama kami, bertemu dengan yang-tak-kasat mata!”

“Bukankah yang-tak-kasatmata hanya hidup dalam kotak televisi?”

“Itu hanya tipuan, ikutlah dengan kami dan kau akan melihat yang sejati.”

Aku membuntuti mereka dari belakang, tanpa bercakap sepatah katapun. Berjalan saja di padang lapang boncel-boncel berselubung kesunyian, sampai kemudian berhenti di depan sebuah sumur yang begitu lebar menganga. Satu per satu dari mereka meloncat, dengan membuka tudung yang semula menutupi kepala, menampakkan wajah penuh kerelaan. Salah seorang menarik lenganku. Kami meloncat bersama-sama ke dalam sumur yang bergelimpangan cahaya putih total. Cuma putih. Hanya putih. Meluncur dalam ketiadaan. Meluncur dalam kesejatian. Setahun berlalu … lima tahun berlalu … lima belas tahun berlalu … duapuluh lima tahun berlalu … aku begitu penasaran seperti apa ujung pangkal perjalanan ini. Meskipun samar-samar aku mulai mendengar suara setelah duapuluh lima tahun bergumul dengan ketiadaan. Suara itu, kalau tak salah dengar, mirip seperti rengekan seorang bayi.

 

III. Penyatuan Oedipusia

DAUN jatuh. Cahaya keemasan. Apakah ini adalah ujung jalan hidup yang Kau telah tetapkan untukku dan jutaan orang yang lainnya? Apakah ini adalah akhir sebagaimana yang telah Kau janjikan dalam kitab-kitab-Mu? Sungguh begitu sulit untuk menerima kenyataan bahwa, sekeras apa pun aku berusaha, Kau tetap adalah yang Kuasa. Pertarungan ini sangat tak seimbang, dan sejak awal, Kau juga tahu bahwa pertarungan ini tak bakal pernah seimbang. Tapi toh, Kau tetap bersenang-senang terhadap kenyataan tersebut. Seorang bocah di ujung dunia mati karena kelaparan. Seorang bocah di ujung dunia mati terkena peluru nyasar yang ditembakkan seorang tentara bajingan. Dan aku … aku adalah bocah yang sebenarnya sudah mati, bahkan jauh sebelum aku dilahirkan. Kau tahu persis itu. Tapi Kau menghidupkanku kembali. Membuatku terlahir kembali dari rahim seorang perempuan sundal yang tubuhnya hidup tapi jiwanya sudah mati karena tak kuasa menanggung derita tersebab pria brengsek yang hobi membenturkan kepalanya ke tembok rumah dan suka melecuti tubuhnya dengan gesper. Aku tumbuh besar, merangkak dari satu kematian menuju kematian lain. Keluar hidup-hidup dari satu kegelapan menuju kegelapan lain … sebelum akhirnya Kau tenggelamkan aku kembali ke dalam Sungai Ketiadaan … sungai yang kukira awalnya tak memiliki dasar … meskipun ternyata perkiraanku salah total. Rupa-rupanya, jauh di kedalaman Sungai Ketiadaan, terdapat sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga, pohon-pohon, burung-burung … tetapi, di manakah Kau? Telah kuselusuri setiap jengkal taman, menyibak setiap semak juga bunga-bunga, tapi sama sekali tak kutemukan diri-Mu. Apakah Kau belum puas untuk mempermainkanku? Apakah Kau belum puas untuk menyiksaku dan berniat untuk menyesatkan menuju penderitaan tanpa ujung? Daun jatuh. Cahaya keemasan. Mungkin ini adalah ujung dari jalan hidup yang telah Kau tetapkan untukku dan jutaan orang lain. Tapi, tak bisakah Kau menampakkan diri sekali saja untukku sebelum semua ini berakhir? Aku ingin menangis di pundak-Mu. Aku ingin Kau mengusap-usap kepalaku. Aku ingin Kau menepuk-nepuk punggungku. Aku ingin tertidur di samping-Mu saat Kau tengah asyik mendongeng tentang sejarah penciptaan semesta. Aku ingin … Kau menjadi ibu, bukannya menjadi bapak yang hobi membenturkan kepala ke tembok dan melecuti tubuh dengan gesper.

 

IV. Kenyataan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebejatan dalam Permusyawaratan Kematian

AKU tidur, meletakkan kepala, menarik selimut, dan bermimpi mengenai sebuah lorong panjang yang ada di Bulan. Aku berjalan di lorong gelap tersebut dari ujung ke ujung sampai kemudian sebuah cahaya berpendar dan aku tiba-tiba berada dalam mimpi yang lain, mimpi yang menjadikanku sebagai tentara yang kebelet kencing di medan pertempuran. Di medan pertempuran tersebut aku sempat bertemu seorang wanita gembrot dan menyetubuhinya di sebuah toilet kecil; meremas payudaranya, memberinya beberapa tusukan di bagian yang sudah sama-sama kita ketahui, lalu segera berlari karena tentara musuh rupanya sedang mengejarku. Aku berlari, masuk ke gang-gang sempit, meloncati dinding, masuk ke dalam kos-kosan, bersembunyi di ruang keluarga sambil menonton tv. Dalam tv tersebut aku melihat sebuah film pembunuhan. Si tokoh utama ditembak tangannya. Kulihat tanganku jadi ikut berdarah. Si tokoh utama ditembak perutnya. Perutku jadi ikut berdarah. Si tokoh utama mampus. Aku menangis dan menangis seperti seorang bayi yang baru lahir dan ditinggal mati ibunya dalam proses persalinan (ada yang aneh dengan kalimatku?). Semuanya tiba-tiba bergerak melambat. Tubuhku ambruk dengan lambat, dengan lambat, dengan lambat. Tubuhku ambruk tapi tak kunjung nyungsrep ke tanah. Di saat itulah aku menangis dan berdoa kepada Tuhan agar diberi kesempatan hidup sekali lagi untuk berbuat baik.

 

V. Kebatilan Si Sial Bagi Seluruh Hikayat Kesunyian

MUNGKIN ini adalah akhirnya. Telah kudengar bunyi lonceng bergemerincing. Sinar matahari berangsur memelukku dengan segala kehangatannya, menjalankan sekelumit tugasnya sebagai bagian dari daur hidup semesta, mengangkat jiwaku dengan segenap kelemah-lembutan. Tak pernah kubayangkan pada akhirnya aku akan merasakan yang semacam ini. Perasaan purna yang sukar untuk dideskripsikan secara spesifik. Melayang dengan kecepatan yang konstan, dengan kenangan masa lalu yang silih berganti berkelebatan. Pintu langit terbuka. Menembus awan yang lembut bagai gumpalan permen kapas. Ibu, tak kurasakan lagi ketakutan, kesedihan, mimpi buruk, kemarahan, bahagia, cemas, panik, benci, dendam … Seluruhnya telah luruh, menjadikan perjalanan ini begitu ringan tanpa beban. Samar-samar, di antara gugusan bintang yang bertebaran di langit tak ubahnya biji wijen, aku dapat melihat raut wajah Ibu. Raut wajah yang tenang dan hangat. Tidak sedih. Tidak marah. Tidak bahagia. Hanya tenang dan hangat. Setenang dan sehangat permukaan danau di siang hari dengan helai-helai daun berguguran. Lonceng bergemerincing lagi … mula-mula dengan ritme yang pelan dan terukur, lantas berubah semakin cepat dengan ritme makin kacau. Kenangan masa lalu kembali berkelebatan. Aku melihat diriku yang lampau menangis. Aku melihat diriku yang lampau tertawa. Aku melihat diriku yang lampau marah. Lalu di antara kehampaan langit, muncul sebuah terowongan. Terowongan yang dilimpahi cahaya gemerlapan. Cahaya gemerlapan yang berleleran di setiap sisi terowongan, mirip besi yang sedang dipanaskan. Tubuhku terhisap ke dalamnya. Membawaku menuju ruang hampa waktu. Bunyi lonceng bergemerincingan dalam ritme yang sangat kacau. Tubuhku bergetar hebat seolah disengat dengan beribu gelombang kejut. Lalu hampa. Lalu hening. Lalu sunyi. Sebuah telapak tangan meraihku. Dan seperti yang kusangka, ini benar-benar merupakan akhirnya … aku telah tuntas menanggalkan seluruh tubuh dan nama … aku sudah selesai. Selamat tinggal dunia! Sampai jumpa lagi! []

 

-cerita buat Gus TF Sakai

Aris Rahman P. Putra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email