Lahir di Kangean. Sedang belajar berdoa dan mengatur silsilah.

Kue Lanon dan Pulau Nenek Moyang

Syauqi Khaikal Zulkarnain

4 min read

“Mereka sudah kalah! Dengan sebilah parang, kita sudah memilih nenek moyang.”

Demikianlah pulau kecil berdinding lautan ini memilih masa depan. Dari jeritan dan darah yang mengucur deras dari tubuh-tubuh pemberontak yang sekali lagi datang hendak membawa Makkawaru pulang. Tapi Makkawaru sudah lenyap, sebab bagi masyarakatnya kini, ia akrab dipanggil Sangkil. Sebagaimana awal ia berkenalan dengan para tetua di Kangean.

​Tapi ingatan soal perang tak pernah benar-benar hilang. Lebih lagi ketakutan soal kejadian serupa yang sewaktu-waktu dapat lagi terulang. Sejak awal, ini pulau memang riskan untuk diserang. Letaknya di tengah jalur perdagangan raja-raja, sedang sisanya cuma laut saja.

Samudera memang penuh rahasia, tempat bersemayam segala macam hantu laut dan para Lanun paling jahat. Tak ada yang dapat membantu selain diri sendiri. Dan perlawanan, berarti sekali lagi mereka mesti bersiap mengorbankan para lelaki yang sehat jiwa dan raganya untuk terbunuh, atau membunuh.

​Pulau itu sejak awal sudah kesepian memang. Bagaimana sejarah mesti dicatat dengan pena yang tintanya terbuat dari darah pada tubuh-tubuh mayat putih-pucat. Anak-anak yang jadi saksi sejarah belum lagi padam takutnya. Melihat abang-abang mereka dihunus parang, atau yang lain justru memenggal kepala orang.

Masih kuat terdengar suara tangis bayi di tengah malam dan jerit para mama yang takut suaminya pulang hanya untuk dimakamkan. Kejadian malam itu memang sudah jadi gaung yang menghantui pulau, berisik-nyaring. Mengalahkan bunyi laut dan bising angin yang kerap menghancurkan kapal-kapal.

​Malam berlalu begitu saja, menyisakan ketakutan yang entah kapan dapat menguar lalu hilang. Demikianlah sejarah mesti jadi cerita bagi anak-anak yang sebentar nanti akan lahir dan mengerti.

“Bukan sejarah kelam,” kata Sangkil pelan.

Baginya cerita memang mesti dicatat dan dapat tempat. Soal keberanian kelompok masyarakat baru dalam memilih masa depan yang jauh dari gelimang emas dan penghormatan sebagaimana yang sebelumnya mereka dapat di tanah tempat raja-raja berkuasa.

Raja-raja lalim, pengisap keringat rakyat demi hidangan di meja makan, pada kedalaman istana yang megah penuh intan dan permaisuri elok sedap dipandang tubuhnya.

***

​Hari berlalu demikian saja. Masyarakat pulau bertani, ada juga yang berburu. Beberapa yang lain pergi memancing demi mendapat lauk untuk makan besar di kampung.

Sudah lama hujan tak turun. Seolah jadi tanda, mereka telah demikian lama tenggelam dalam peristiwa sejarah. Sudah saatnya mereka berdoa. Di bawah pohon paling besar, di kampung paling tinggi, di tepi hutan paling lebat. Berdoa. Meminta hujan pada kekuatan yang entah ada di mana. Orang-orang tua melingkar di pohon paling renta. Bernyanyi melantunkan puja-puji bagi apa-apa saja yang mereka percaya dapat mengabulkan doa.

​”Tanah-tanah di kampung sudah jadi gersang.” Ujar salah seorang tetua. “Tak ada tumbuh apa-apa yang kami tanam. Kami menanam untuk makan, dan tak ada satu orang dari kami yang wajib menyerahkan hasil tani pada raja-raja yang rakus-serakah. Kami bertanam untuk perut kami sendiri. Bukan untuk mengenyangkan orang yang sejengkal kakinya sama sekali tak pernah menyentuh ladang. Turunkanlah hujan, bagi pulau yang haus-kering ini.”

Waktu beranjak, siang sebentar berubah jadi sore yang teduh. Masakan sudah habis dilahap. Habis-lenyap di perut-perut setiap orang yang ada di sana. Mereka duduk diam berharap-harap cemas menunggu awan berkumpul menjadi gelap.

Ajaib memang makhluk yang bersemayam di batang dan dedaun rimbun pohon raksasa itu, menjelang petang hujan benar datang. Disambut sorak gembira anak-anak kecil dan para mama, sedang para tetua tak henti berdoa memuji makhluk yang berumah di balik pohon renta di tepian kampung tempat orang-orang berdoa.

Hujan turun perlahan, semakin malam semakin deras dan basah. Anak-anak rebah tidur tak sabar menunggu besok hari. Sebab bagi mereka, hujan jadi tanda bahwa ladang akan jadi meriah. Sementara para suami sebentar-sebentar berkedip pada istrinya, jadi tanda bahwa malam dingin sudah jadi waktu yang dinanti sejak lama.

Pulau itu tiba-tiba jadi sepi-senyap. Yang tersisa cuma bunyi hujan dan deru angin. Semua lelap tidur menunggu datang cahaya matahari sebagai pengantar orang-orang untuk lekas pergi ke ladang. Tapi pagi selepas hujan semalam, tak ada yang cerah selain cahaya surya. Sebab sisanya, dari laut jauh tampak kapal-kapal dengan bendera hitam datang mendekat. Mengincar pulau, mengisyaratkan bahaya. Darah dan parang. Pertengkaran dan kematian.

Kangean, pulau kecil berdinding lautan, sebentar nanti akan lagi menjaga nenek moyang dengan sebilah parang. Sekali lagi, bau kematian jadi menyeruak di seantero pulau. Menyisakan luka yang belum lagi kering dan perasaan kalut yang belum sepenuh-penuhnya padam.

“Lanun!” Sangkil berteriak mengangkat parang. Pertanda masa bersiap sudah tiba.

Ladang basah karena hujan semalam, tak jadi dijamah. Sebab bagi orang-orang mereka, menjaga tanah dan rumah, sama dengan menjaga sejarah yang sejak lama mereka simpan dengan segala perasaan. Soal darah dan air mata. Tentang orang-orang terusir dari tanah para raja berkuasa. Yang menikmati kelezatan rasa merdeka dari tanah yang menerimanya dengan tangan terbuka. Tanah hidup yang kemudian hingga seterusnya nanti akan menghidupi anak-cucu mereka.

***

Kacau memang persiapan untuk menjemput maut. Kadang kematian juga mesti disiapkan baik-baik. Bukan dengan doa, tapi dengan parang dan perasaan penuh, hendak menjaga tanah, sejarah, dan kehormatan moyangnya. Lelaki-lelaki muda, yang sehat jiwa dan raganya, berdiri teguh di tepian pantai pada pasir-pasir putih dan laut cerah. Barangkali, tanpa perlu menunggu waktu lama, segala pemandangan cuma akan jadi merah.

Lelaki-lelaki muda yang sehat jiwa dan raganya, berdiri teguh dengan parang dan segala bentuk senjata yang mereka buat seadanya, di belakang mereka teguh juga lantunan harap dari para mama agar anak dan suaminya tak terbunuh sia-sia.

Bagi para mama yang tak turun ke medan laga, kematian tetaplah sia-sia, sekalipun hendak menjaga rumah. Karena menjaga rumah, artinya sekali lagi menolak untuk kalah. Menolak untuk takut. Menghampiri bahaya.

Rombongan kapal-kapal besar dengan bendera hitam-hitam semakin dekat juga dengan bibir pantai. Tapi besar persiapan dan perasaan soal hidup dan mati dari orang-orang pulau, mendadak berubah jadi ribuan pertanyaan.

Kapal-kapal itu tak jadi mendekat. Yang ada cuma sebuah sampan dengan tiga hingga empat orang yang merapat ke bibir pulau.

“Hei! Kami Lanun memang! Tapi tak hendak berperang dan merampas harta kekayaan orang-orang yang melawan raja. Kalian, orang-orang Kangean, dan Sangkil bukan kami punya musuh. Kita teman, sebab dari rahim kita timbul semangat sama soal orang-orang serakah yang diagungkan sebagai raja, itulah sebenar-benar musuh kita.” Seorang dari mereka berteriak membelah laut dengan sampan yang lambungnya dihantam gelombang pasang.

Mata orang-orang pulau terbelalak, Sangkil lebih lagi. Aneh benar mendengar segala kata yang baru saja keluar dari seorang lelaki utusan para Lanun itu.

“Mereka menyebut gerombolan kita jahat. Rupanya percakapan ini hari jadi jawaban. Kita baik saja, tak saling menjahati. Kita cuma bermusuh dengan para raja rakus-serakah. Yang tinggal di megah istana karena mengisap keringat rakyatnya.” Dan begitulah Sangkil menjawab mereka.

***

​Rombongan Lanun berlalu. Beberapa lelaki dari orang-orang pulau yang kuat ikut pergi melaut bersama mereka. Sementara beberapa harta rampasan diserahkan kepada Sangkil sebagai hadiah perdamaian dua gerombolan yang sama-sama dibenci para raja.

“Berangkatlah kalian orang-orang pulau yang berani menantang laut dan kapal-kapal kerajaan.” Sangkil berteriak memberi salam perpisahan.

​Hari itu tak ada perang, parang, apalagi darah. Yang ada cuma perasaan tentram-damai. Orang-orang pulau berkumpul di pekarangan. Tak hendak pergi ke ladang. Tapi mengolah ketan, kelapa, dan gula merah. Membikin sebuah makanan yang akan senantiasa dikenang baik oleh orang-orang Kangean hingga bertahun yang akan datang.

Ketan dibalut abu bekas pembakaran padi hingga berwarna legam. Hitam. Dibungkus daun pisang kemudian dimasak di atas tungku panas api. Dibagikan ke seantero pulau. Dengan parutan kelapa dan sedikit gula merah.

“Kita sebut kue ini sebagai kue lanon, yang manis hitam. Seperti para Lanun yang baru saja datang dan rupanya sama sekali tak menyeramkan,” ujar Sangkil mengedarkan pengumuman sembari mengigit kue lanon itu.

​Orang-orang pulau tertawa. “Sejak sekarang kita orang tak lagi punya ketakutan. Esok hari kita pergi ke ladang. Menanam ketan dan membikin kue kenang-kenangan ketika musim panen datang.”

***

Editor: Ghufroni An’ars

Syauqi Khaikal Zulkarnain
Syauqi Khaikal Zulkarnain Lahir di Kangean. Sedang belajar berdoa dan mengatur silsilah.

One Reply to “Kue Lanon dan Pulau Nenek Moyang”

  1. Untukmu syauqi haikal

    Sang penyair, dimanakah kau berlabuh, samudera, pulau, daratan tidak tampak mengayuh,

    pulanglah nak ….
    jangan membawa keluh,
    Buatlah indungmu seperti puyuh.
    ada tapak suci yang harus kau asuh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email