Hidupku akan lebih baik jika aku menjadi kucing. Paling tidak bisa menjadi siluman kucing pada saat-saat tertentu. Setelah pukul enam pagi, misalnya. Karena jika setelah pukul enam malam sudah menjadi waktunya makhluk halus-makhluk halus Jawa, jika bulan purnama penuh sudah menjadi miliknya siluman serigala untuk mencari mangsa, dan jika dibutuhkan politikus miskin logika sudah diatributkan kepada hantu PKI. Aku ingin menjadi kucing walau hanya satu jam. Tetapi aku tidak tahu harus menyembah kepada siapa untuk mewujudkannya.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, membuyarkan lamunanku sendiri. Lalu memutar keran, dan hujan dari shower berhenti. Aku mengambil handuk dari gantungan, mengeringkan tubuhku, kemudian mengenakan pakaian. Keluar kamar mandi, aku disambut kucing yang sedang berbaring. Tidak kuusik kemalasan kucing itu.
Masuk ke dalam kamar, aku memutar lagu Heaven Knows I’m Miserable Now dari The Smiths melalui ponselku. Sembari berpakaian, aku memikirkan kesibukanku akhir-akhir ini, kesibukan setelah tamat sarjana. Lantas menyadari, aku tidak memiliki kesibukan selain berusaha mencari kerja. Bagaimanapun keadaannya tidak lebih baik dari kucing yang bermalas-malasan. Rasanya aku ingin menjadi kucing.
Namun, tidak semuanya menjadi buruk setelah lulus kuliah. Malah, aku menjadi semakin kuat setiap harinya. Bagaimana tidak, saat kuliah, aku hanya memiliki waktu istirahat yang sedikit.
Menghabiskan waktu dengan mengikuti kelas, membaca buku di perpustakaan atau kafe di dekat kampus, mengikuti diskusi mengikuti diskusi-diskusi yang tidak berhubungan sama sekali dengan jurusanku, dan nongkrong dari malam sampai dini hari dengan merokok.
Kini, kondisinya sudah jauh berbeda. Semenjak lulus, seperti pagi ini, aku bangun setiap pukul enam. Tanpa terburu-buru seperti ketika masih kuliah, aku mandi lalu sarapan. Bisa mendengarkan musik dengan santai tanpa harus berlari-lari kecil menuju kampus. Setelah makan, berpakaian rapi mengenakan setelan formal yang dulu hampir tidak pernah kulakukan. Lalu, melangkah keluar indekos dengan elegan—agar pakaianku tidak lekas kusut, menuju halte bus. Menunggu bus sambil mendengarkan musik melalui earphone barang tiga sampai lima lagu. Selalu, aku menumpang bus pada jam-jam setelah jam masuk kantor, sehingga tidak terlalu ramai dan mendapatkan tempat duduk. Di dalam bus, aku membuka tas dan memeriksa dokumen. Semuanya aman. Setelah 20 menit, aku turun dari bus dan berjalan sekitar 100 meter masuk ke dalam gedung perkantoran.
Pertama kali melakukannya, hanya dua hari setelah menerima ijazah kelulusan, aku berhenti sejenak di depan pintu masuk perkantoran untuk menenangkan detak jantungku yang berdegap kencang. Ada sedikit kekhawatiran. Namun, setelah melakukannya lebih dari 13 kali, aku tidak pernah berhenti lagi dan langsung masuk begitu saja. Bahkan tanpa menganggukkan kepala sebagai sapaan terhadap satpam yang menjaga pintu.
Pengalaman telah membuatku terbiasa, tetapi sekaligus menjadikanku semakin lemah. Tetapi aku berusaha menjadi seperti kucing, walau tidak dalam wujud siluman. Tampak lemah—tentu saja bukan secara fisik, tetapi saat dilempar atau dicampakkan tetap berdiri kokoh. Mencoba lagi dan terus.
***
Kucing gemuk berbulu putih itu tidur di atas meja. Diam, tidak bergerak. Meski beberapa saat yang lalu aku membuka pintu dan menimbulkan suara serak. Kurasa, kucing merupakan binatang paling tenang, tetapi sekaligus paling perasa yang ada di dunia ini.
Aku duduk di salah satu kursi dari dua kursi yang menghadap meja. Kursi di sebelahku digunakan tidur oleh kucing itu. Aku berada di sebuah ruangan ber-AC dengan cat warna putih bersih. Ruangan ini sama seperti 43 ruangan yang kumasuki sebelum-sebelumnya. Hanya kehadiran kucing itu yang membuatnya berbeda.
Aku hanya berdua dengan kucing itu. Seorang laki-laki yang tadi mempersilakanku masuk, memintaku menunggu lalu pergi begitu saja. Sudah lebih dari lima menit ia meninggalkanku bersama kucing itu. Walau hanya berdua, aku tetap menjaga sikapku dengan tidak melakukan apa pun. Hanya duduk dengan tenang. Aku takut jika ruangan ini dipantau oleh kamera pengawas dan gerak-gerikku diawasi dan dinilai. Salah sikap saja, aku bisa tidak beruntung dan pulang lebih cepat tanpa sempat mengobrol dengan laki-laki yang seharusnya menguasai ruangan ini.
Dalam kesunyian aku mengamati kucing itu secara cermat. Posisi tidurnya melingkar. Antara kepala dan ekor saling bersentuhan. Bulu-bulunya lebat dan tidak ada warna apa pun selain putih menyeluruh. Kucing itu sepertinya merupakan peliharaan perusahaan, pikirku, yang setiap harinya diberi makan bergizi oleh petugas kebersihan. Kalau tidak, mana mungkin kucing itu ada di sini dan terlihat sehat. Kalau kucing itu bagian dari kehidupan perusahaan, aku memang tidak boleh mengganggunya. Biarkan saja dia tidur sesukanya.
Ketika tengah mengamati kucing itu, tiba-tiba ekornya berdiri. Sesuatu terjadi dengan cepat. Kucing itu bereaksi, tetapi secara kilat melingkarkan ekornya kembali menyentuh hidungnya. Seolah tidak terjadi apa-apa.
***
“Anda tidak perlu bersembunyi di bawah meja.”
Seseorang muncul dari pintu di hadapanku sambil membaca air putih dalam gelas. Air di dalam gelas bergoyang seperti gelombang. Bukan karena tangan seseorang yang memegangnya gemetar. Tapi, karena tubuh orang yang memegangnya memang bergoyang.
“Saya cukup cepat bereaksi dalam situasi darurat,” kataku.
“Gempa seperti ini bakal cepat mereda. Apalagi kita di tempat ini. Semuanya aman.” Ketika orang itu baru mengucapkan setengah dari kalimatnya, guncangan sudah berhenti. Hanya sekitar 10 detik.
“Seperti kata saya,” ucapnya.
“Maafkan jika saya lancang,” kataku. “Saya tidak bermaksud melebih-lebihkan, tapi kucing ini bereaksi terlebih dahulu sebelum gempa terjadi. Hanya beberapa detik, atau bahkan beberapa mili-detik saja sebelum bangunan bergoyang. Dia bisa memprediksinya terlebih dahulu.”
“Kau benar.” Laki-laki itu mengafirmasi omonganku. “Namun, para ilmuan dan pakar juga sudah memprediksinya jauh-jauh hari, kapan gempa terjadi melalui pembacaan terhadap lempeng bumi.”
“Maksud saya, sebagai pengalaman yang saya lihat langsung, kucing ini luar biasa, walau tampak bermalas-malasan.”
“Anda benar.” Laki-laki itu menyetujui perkataanku lagi. Apakah ini pertanda bagus?
“Omong-omong, maafkan saya karena membuat Anda lama menunggu.”
Orang itu duduk di kursi dan berhadapan denganku.
“Lihat, kucing itu tidak terusik oleh gempa.”
Aku menyambungnya, “Saya rasa beberapa mili-detik sebelum gempa, dia sudah merasakan akan terjadi sesuatu, sehingga mengangkat ekornya. Namun, pada mili-detik awal saat Bumi berguncang, dia sudah merapatkan kembali ekornya. Dia seperti tidak terkejut sama sekali. Dia seperti masa bodoh dan sepeti tidak terjadi apa-apa. Meneruskan kemalasannya.”
“Anda banyak tahu tentang kucing?”
“Tidak,” jawabku. “Tidak sama sekali. Saya hanya melihatnya langsung tadi, dan mencoba memahami apa yang terjadi.”
Orang itu meneguk air putih dalam gelas yang sedari tadi tidak dilepaskannya. Percakapan kami terputus sebentar. Tetapi, aku segera bertanya, “Apakah kucing ini milik perusahaan?”
“Iya,” jawabnya. “Kau benar. Awalnya dia sering bermain ke kantor ini. Saat itu kami tidak ingin binatang apa pun ada di kantor kami, bahkan cecak sekalipun. Jadi, kami ingin mengusir kucing itu.”
Orang itu berhenti sebentar. “Tapi, setiap kali petugas kebersihan kami membuangnya, dia selalu kembali. Bahkan petugas kebersihan sampai dimarahi karena dianggap tidak becus bekerja. Namun, kami salah. Kucing itu memiliki kemampuan yang berguna. Suatu hari, kucing itu datang ke kantor di lantai satu dan selama seharian dia terus mengeong sepanjang hari. Kami tidak tahu maksudnya apa. Setiap kali merasa terganggu, seorang karyawan akan menangkap kucing itu dan mengeluarkannya. Tetapi, kucing itu masuk lagi dan lagi. Karena lelah, para karyawan di lantai itu memutuskan pindah kerja sementara di ruang rapat lantai dua. Kebetulan juga, ruangan rapat hari itu tidak digunakan. Keesokan harinya, terjadi banjir besar karena hujan deras semalaman yang menyebabkan sungai meluap. Lantai satu penuh dengan air. Para karyawan mau tidak mau bekerja di ruang rapat lantai dua. Mereka akhirnya menyadari pertanda dari kucing itu.”
“Cerita yang luar biasa.” Aku menanggapi. “Kalian seharusnya memberi gaji pada kucing ini.”
Orang itu tertawa sedikit. “Ide yang bagus,” katanya. “Tapi, kita tidak akan menghabiskan sesi wawancara Anda dengan mengobrolkan kucing itu bukan? Jadi, mari kita lihat berkas-berkas Anda.”
Aku mengeluarkan dokumen yang sudah kusiapkan dan menyerahkan padanya.
***
Tepat ketika aku mengangkat telepon, suara kucing itu terdengar lirih.
“Selamat siang,” sapaku.
Orang di seberang membalas salamku. Aku mengendali suaranya. Dia lalu menyebutkan identitas serta nama perusahaan tempatnya bekerja. Perusahaan tempatku wawancara minggu yang lalu.
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Kami ingin menginformasikan bahwa, dengan berat hati ….”
Aku tidak mendengar terusan kalimat itu. Aku sudah hafal kelanjutannya. Namun, bukan karena itu aku tidak mendengarnya. Perhatianku tersita oleh suara kucing mengeong yang semakin keras. Apakah kucing perusahaan itu ada di dekat orang yang meneleponku?
“Halo Bapak, apakah masih tersambung?”
Aku terhenyak dengan suara yang agak tinggi itu. “Ya masih, Bapak. Terima kasih atas informasinya.”
Lalu suara orang di seberang telepon lenyap digantikan secara penuh oleh suara kucing.
“Meong… meong… meong….”
Aku mendengarkannya secara seksama. Tidak buru-buru mengakhiri panggilan, siapa tahu laki-laki itu sedang pergi dan meninggalkan ponselnya di meja.
“Meong… meong… meong….”
Suara kucing itu terus terdengar. Apakah mengeong dengan calon pegawai yang ditolak melalui sambungan telepon merupakan salah satu tugasnya? Untuk menenangkanku?
“Meong… meong… meong….”
Lama-lama aku merasa kucing di seberang telepon itu seperti berkata, “Kau ditolak.”
“Meong… meong… meong….”
“Dan, aku tahu, saat ini kau menderita!”
*****
Editor: Moch Aldy MA