Kota selalu hadir sebagai ruang kompleks, tempat realita dan pengalaman hidup saling berkelindan. Secara objektif, kota dilukiskan melalui angka; jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, persentase kemiskinan, kepadatan kendaraan bermotor, dan lainnya.
Semua itu adalah bentuk realitas yang nyata dan dapat diukur. Data dari Council on Tall Buildings and Urban tahun 2024 menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi 9 sebagai negara dengan gedung pencakar langit terbanyak di dunia.
Indonesia tercatat memiliki 136 gedung pencakar langit setinggi 150 meter, 50 gedung setinggi 200 meter, dan 2 gedung setinggi 300 meter. Kemudian, Indonesia menduduki posisi ke-2 di antara negara Asia Tenggara dengan gedung pencakar langit terbanyak di dunia. ini menunjukkan betapa kota-kota di indonesia cenderung dinamis mengikuti perkembangan zaman. Namun, apakah gedung-gedung menjulang tinggi bisa dijadikan tolok ukur kesejahteraan Masyarakat?
Kota adalah organisme hidup yang berdenyut dengan makna, dihidupi oleh pengalaman, dan interpretasi yang tak pernah tunggal.
Pengetahuan kita tentang kota, dalam perspektif ini, selalu bersifat tentatif dan parsial. Ia membuka ruang bagi dimensi subjektif, karena di balik data statistik selalu ada kisah manusia yang tak tercatat.
Alienasi Kota
Kota yang dicatat sebagai “pusat pertumbuhan ekonomi” bisa sekaligus menjadi “ruang keterasingan” bagi warganya. Jika kita meminjam Konsep alienasi dari Karl Marx, Pusat perekonomian laksana “taman bermain” bagi kapitalisme. Sistem inilah yang menciptakan keterasingan.
Kapitalisme mendorong kompetisi (persaingan) alih-alih komunitas (kebersamaan). Warga kota melihat satu sama lain sebagai pesaing, baik untuk mendapatkan pekerjaan, perumahan, atau status sekali pun. Hubungan sosial menjadi transaksional, didasarkan pada “apa yang bisa saya dapatkan dari Anda?”
Baca juga:
Mari kita ambil contoh Kota Makassar, Kota terbesar di Indonesia Timur ini dikenal sebagai kota dengan mobilitas tinggi. Namun di jalan-jalan kecilnya, pekerja informal mengayuh becak dengan tubuh renta, dan mahasiswa baru melangkah gugup mencari arah ke kampusnya.
Di malam hari, lampu-lampu kota berkilau dan tampak begitu indah. data akan menyebutnya sebagai indikator perkembangan infrastruktur. Namun di sisi lain, sebagian warga memandang cahaya itu adalah ironi, karena gang sempit tempat mereka tinggal tetap terperangkap dalam kegelapan yang menyembunyikan eksistensi mereka.
Kota di Bawah Ancaman Kapitalis
Henri Lefebvre (1901-1991), sosiolog kelahiran Prancis pun melihat bahwa kota sungguh berada dalam ancaman industrialisasi oleh kapitalis. Kota dimaknai sebagai objek yang diciptakan oleh tindakan manusia dan dipahami sejauh relasi antara aspek ekonomi, sosial, dan budaya dalam setiap tingkatan masyarakat.
Di balik denyut perkotaan yang dinamis, selalu ada pertarungan kepentingan antara kapital yang mendorong pembangunan gedung-gedung tinggi dengan kebutuhan warga akan ruang hidup yang layak.
Fenomena gentrifikasi, misalnya, kerap membuat ruang-ruang lama yang penuh memori harus bergeser demi wajah kota yang dianggap lebih modern. Akibatnya, yang tersisa bukan hanya bangunan-bangunan baru, melainkan juga lapisan keterasingan bagi mereka yang terpaksa tersingkir dari ruang yang sebelumnya mereka miliki. Seperti inilah kekejaman dari “dehumanisasi” di mana wilayah yang awalnya kaya akan makna, menjadi layaknya kue yang diperebutkan golongan kapitalis.
Kota, dengan demikian, tidak pernah netral; ia adalah arena kuasa ekonomi, politik, dan budaya saling berlomba menentukan siapa yang berhak terlihat dan siapa yang harus tersembunyi di balik gemerlap lampu.
Di sinilah kita merefleksikan kota secara tentatif yang menuntun kita menemukan relevansinya. Realitas kota memang ada, tetapi pemahaman kita atasnya selalu dipengaruhi oleh sudut pandang.
Laporan statistik, catatan etnografi, dan pengalaman personal hanyalah serpihan-serpihan yang membentuk gambaran lebih utuh. Setiap serpihan membawa kebenaran, namun tidak pernah sepenuhnya final.
Memaknai Kota secara Politis
Dengan refleksi demikian, kota bukan hanya ruang fisik melainkan juga ruang makna. Ia adalah teks yang terus ditulis ulang oleh para penghuninya. Dari pekerja pasar tradisional hingga pengguna media sosial di kafe modern, semua memberi warna pada realitas kota itu sendiri.
Baca juga:
Seperti contoh ketika kita berkunjung ke taman kota, ada orang yang sedang piknik, bermain sepatu roda dan ngobrol seru mengenai keseharian maupun kesibukan mereka, serta berbagai tindakan-tindakan unik manusia yang lain terekam jelas dalam ruang yang dibentuk singgasana perkotaan. Keadaan seperti ini diibaratkan “bunga dalam taman berduri”, sisi humanis manusia bisa terekspos dalam ruang tertentu.
Kota adalah sebuah laboratorium sosial sekaligus panggung reflektif. Di satu sisi, ia bisa dihitung, dipetakan, dan diukur. Di sisi lain, ia juga harus dipahami sebagai narasi manusiawi yang penuh emosi, harapan, dan keterasingan.
Kita bisa menempatkan kota dalam konteks yang lebih luas, bahwa setiap angka menyembunyikan kisah, dan setiap kisah memperkaya pemahaman tentang angka. Dengan cara inilah membaca kota berarti juga membaca diri kita sendiri: makhluk yang mencari kebenaran, namun sadar bahwa kebenaran itu tidak pernah absolut. Dan mungkin, justru dalam keterbatasan itulah, pengetahuan tentang kota menjadi lebih hidup, lebih jujur, dan lebih manusiawi.
Kehidupan perkotaan bukan hanya “detak jantung beton yang tak pernah tidur”. Ia adalah perayaan atas ketahanan manusia sekaligus pengingat akan paradoks yang terus berlangsung: gedung-gedung menjulang tinggi, sementara lorong-lorong gelap tetap tersembunyi.
Di titik inilah pertanyaan mendasar harus diajukan: untuk siapa sebenarnya kota dibangun?
Editor: Prihandini N

 
                                 
					 
                     
                    