Pengkampanye isu lingkungan hidup di salah satu NGO lingkungan tertua

Ketika Rob Mengungkap Rapuhnya Tata Ruang Pesisir

Wahyu Eka Styawan

2 min read

Banjir rob yang kembali menghantam Jakarta, Semarang, dan Surabaya bukanlah peristiwa alam yang datang tiba-tiba. Ia adalah akumulasi panjang dari kegagalan negara dalam membaca krisis iklim dan menata ruang secara adil dan berkelanjutan. Ketika air laut naik dan daratan perlahan tenggelam, yang sesungguhnya runtuh bukan hanya kampung pesisir, melainkan cara berpikir pembangunan kita.

Desember 2025 menjadi penanda penting. Puncak fenomena pasang anomali 18,6 tahunan yang dalam literatur oseanografi dikenal sebagai highest astronomical tide, membuat rob datang lebih tinggi, lebih lama, dan lebih merusak. Namun, sebagaimana ditegaskan IPCC (2023) dalam AR6 Synthesis Report: Climate Change 2023, bahwa kenaikan muka laut hanya akan menjadi bencana jika bertemu dengan kerentanan sosial-ekologis yang diciptakan manusia. Dan di Pantai Utara Jawa, kerentanan itu diproduksi secara sistematis.

Jakarta adalah contoh paling telanjang. Sebagian wilayah pesisirnya kini berada lebih dari satu meter di bawah permukaan laut. Penurunan muka tanah akibat ekstraksi air tanah yang masif mencapai belasan sentimeter per tahun telah lama diperingatkan para peneliti.

Pada 6 Desember 2025, sedikitnya 16 RT di Jakarta Utara dan 11 RT di sejumlah pulau terdampak genangan setinggi 10–60 cm. Di Pluit, Marunda, dan kawasan sekitar Jalan RE Martadinata, air laut melimpas ke daratan dengan ketinggian 1 hingga 1,5 meter di bawah permukaan laut. Kejadian tersebut telah menunjukkan bagaimana dampak rob begitu mengkhawatirkan. Namun pembangunan tetap berjalan, reklamasi dilegalkan, dan tanggul terus ditinggikan seolah-olah daratan bisa dipaksa berhenti turun.

Baca juga:

Semarang menghadapi krisis yang lebih ekstrem. Studi-studi geodesi menunjukkan kota ini mengalami salah satu laju subsiden tercepat di dunia, hingga 100-120 milimeter per tahun jika merujuk riset Aditya dan Ito (2023) berjudul: Present-day land subsidence over Semarang revealed by time series InSAR new small baseline subset technique. Rob tidak lagi sekadar genangan sesaat, melainkan perubahan permanen bentang alam. Garis pantai mundur kilometer demi kilometer, sementara kebijakan tata ruang justru mengukuhkan kawasan yang tenggelam sebagai ruang terbangun.

Surabaya menyusul di jalur yang sama. Menurut Pamungkas dan Chiang (2021) dalam risetnya: Monitoring land subsidence induced by groundwater change using satellite gravimetry and radar interferometry measurements. Case study: Surabaya city, Indonesia. Terdapat penurunan tanah sekitar 40 milimeter per tahun mulai berkelindan dengan pasang laut yang semakin tinggi.

Kampung-kampung nelayan di sepanjang Selat Madura kini hidup dalam ancaman rob yang semakin sering. Ini bukan anomali lokal, melainkan gejala sistemik dari kegagalan mengelola wilayah pesisir sebagai ruang hidup, bukan sekadar ruang investasi.

Sayangnya, respons negara masih terjebak pada solusi teknokratik. Pemerintah pusat merekomendasikan percepatan pembangunan tanggul, normalisasi sungai, hingga proyek giant sea wall. Pendekatan ini mencerminkan apa yang dikritik oleh Scott (1998) dalam bukunya Seeing Like a State sebagai high-modernist planning, yakni sebuah keyakinan berlebihan bahwa krisis kompleks dapat diselesaikan dengan infrastruktur raksasa, sambil mengabaikan relasi sosial dan ekologi.

Kegagalan membaca akar persoalan ini tercermin jelas dalam Perda RTRW Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Regulasi tersebut lebih sibuk mengatur kawasan rawan rob ketimbang membongkar penyebabnya. Krisis iklim nyaris tak disentuh. Penurunan muka tanah diperlakukan sebagai fakta teknis, bukan konsekuensi kebijakan. Perlindungan dan pemulihan ekosistem pesisir seperti mangrove dan kawasan resapan, dipandang hanya sekadar pelengkap, bukan fondasi.

Baca juga:

Padahal, berbagai kajian telah menunjukkan bahwa pendekatan berbasis ekosistem jauh lebih efektif dan berkelanjutan dalam menghadapi kenaikan muka laut. Mangrove, rawa pesisir, dan pembatasan ekstraksi air tanah terbukti menurunkan risiko banjir rob sekaligus memperkuat ketahanan sosial. Namun, pendekatan ini sulit berkembang ketika tata ruang disentralisasi dan dipercepat melalui rezim perizinan seperti UU Cipta Kerja.

Rob yang berulang di Pantai Utara Jawa seharusnya menjadi peringatan keras. Negara perlu berhenti memproduksi ilusi bahwa beton bisa mengalahkan laut. Revisi rencana tata ruang harus menempatkan perlindungan dan pemulihan kawasan sebagai inti, bukan tambahan.

Pengendalian air tanah mesti ditegakkan secara serius. Reklamasi dan rencana proyek giant sea wall perlu dihentikan sebelum memperdalam krisis. Jika tidak, rob akan terus datang, bukan sebagai bencana alam, melainkan sebagai pengingat bahwa kita sedang hidup di atas tata ruang yang gagal dan negara yang terlalu lama menolak belajar dari kesalahan.

 

 

Editor: Prihandini N

Wahyu Eka Styawan
Wahyu Eka Styawan Pengkampanye isu lingkungan hidup di salah satu NGO lingkungan tertua

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email