Aku tergeragap melihat orang-orang di sekelilingku telah menumpuk buku Yasin dan mulai melafalkan amin. Dalam kecemasan luar biasa, aku mulai mengingat-ingat lagi urutan bumbu-bumbu di dapur.
Persis, kecap tak ada di sana. Dalam bising amin, sayup-sayup terdengar denting piring. Ah, entahlah, mungkin juga mangkuk. Tak urusan. Yang jelas, apa isinya? Aku mulai merasai Mbah Uti ada di sampingku, melihat cucunya mengaji untuknya. Tetapi aku membayangkan hal lain, sesuatu di balik denting itu.
***
Bagi seseorang, berurusan dengan waktu mungkin begitu menyenangkan. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, nimbrung dari satu perayaan ke perayaan lainnya. Berbeda dengan Mbah Uti. Hampir tak ada yang berubah selama setahun ini. Waktu menjadi urusan yang paling menyukarkan baginya. Tempat-tempat kesukaannya hanya bisa dijejakinya lewat mimpi, lewat kata-kata yang diucapnya penuh kepayahan. Ia mesti sabar sebab hanya itulah yang bisa dilakukannya, bertahan di bangsal itu selagi mampu, merawat harapan, menjaganya agar tetap bermekaran di hati anak-cucunya.
Saat itu, usianya belum terlalu tua, masih perlu lima belas tahun lagi agar genap tiga perempat abad. Belum lagi, uban di rambut panjangnya selalu ia semir hitam saban Jumat Kliwon sehingga membuatnya tampak tetap segar, dan selalu tampak lebih berdaya setelah Mbah Kung—suaminya yang 17 tahun lebih tua darinya—meninggal karena sakit.
Mbah Uti begitu terampil dan cekatan mengurusi banyak hal, terutama dapur. Lengannya yang besar, badannya yang bongsor, juga pinggulnya yang lebar tak membuatnya kehilangan ketangkasan untuk berpindah dari sisi meja satu ke sisi lainnya. Kalau tak salah ingat, di meja itu, aku dapat melihat rumpun bawang dan cabe dalam keranjang besek di posisi paling utara. Setelahnya, ada stoples garam, gula, ketumbar, merica bubuk, dan jahe yang disusun dalam satu rak besar. Agak menggantung di atasnya, beberapa helai serai, daun jeruk, serta daun salam membaur dalam plastik bening. Dalam posisi terbalik, dapat terlihat botol saus setengah terisi. Tapi, tak ada kecap di sana. Ia tak pernah menyukainya.
***
“Nang. Mbah Uti tindhak.”
Pagi datang terlambat. Matahari telah tinggi saat kabar itu riuh rendah. Aku yang sangat mencintai tidur pagi mendadak membencinya dengan amat sangat. Betapa aku melewatkan masa yang luar biasa, yang orang-orang sebut sebagai sakratulmaut.
Seketika aku lupa segala bahasa yang kupelajari di kampus. Kondisiku yang setengah sadar merenggut segala kata-kata dari mulutku. Hati terasa mati. Aku bingung, tiada pegangan, tanpa panduan. Seseorang itu, yang kupanggil Mbah Uti, seseorang yang menyediakan sarapan sekaligus makan siangku, seseorang yang pangkunya selalu pas untuk menyandarkan kepala jelang sandikala, seseorang yang selalu menyediakan ruang di ambennya saat cucunya insomnia, telah tidur untuk selama-lamanya.
Sore itu, hari pertama kematiannya. Tahlilan dihelat dengan khidmat. Orang-orang membacakan Yasin sedang aku teringat sesuatu yang lain. Sesuatu itu seakan mewejang dan termaktub dalam pikiranku. Seperti biasa, aku merebah dan memasrahkan kepalaku di pahanya. Segalanya terasa ringan, sambil scroll timeline, aku bercerita tentang isi ponselku, soal berita-berita yang tak muncul di televisi. Mbah Uti, sebagaimana sore-sore sebelumnya, tampak menyimak orang wira-wiri sepanjang gang dengan tatapan lekat sambil sesekali membalas senyum, tampak mukanya agak kepayahan ketika ia harus mengingat sampai mana salawat badar yang ditembangkannya.
Tentu aku tak mengerti isi hatinya saat menatap saban tetangga lewat sambil bersalawat, yang jelas, ia masih mendengarkanku dan menimpali sambil terus menggulirkan ilir.
Lalu entah pada buka-tutup aplikasi yang ke berapa, aku memutar tayangan di Youtube. Tayangan itu tertunda, iklan menampilkan petani kedelai hitam berkata,“karena rasa tak pernah bohong.”
Mbah Uti tanggap. “Mbah Uti ora seneng kecap.”
Yang dalam kalimat lain, pada intinya ia tidak menyukai kecap sehingga dalam keheranan yang wajar aku mempertanyakan alasannya.
“Kenging nopo, Mbah?”
“Ngrusak rasane masakan. Wong dadi lali rasane asin, asem, pedes karo pahit.”
Begitu kalimatnya kira-kira saat ia menjelaskan betapa hidup penuh kegetiran. Dan manis, telah membuat kita lupa akan itu.
Asin? Mungkinkah itulah rasanya setiap hari menelan air mata karena kerap diperlakukan kasar oleh Mbah Kung? Ah, Mbah Uti tak pernah bercerita detail. Aku hanya bisa menduga-duganya, bekas luka di punggungnya itu, lebam hitam yang awet hingga sekarang.
Asam? Adakah itu aroma mulut Mbah Kung yang hampir tiap saat mengisap tembakau, juga bekas tuak teresap di bibirnya yang tak lagi kenyal? Mbah Uti tak cerita soal itu, aku hanya pernah mendengarnya dari kawan-kawan Mbah Kung saat bercerita di langgar seusai sembahyang jamaah.
Pedas dan pahit? Adakah itu penderitaan perjodohannya dengan Mbah Kung? Hingga Mbah Uti bahkan telah lupa dengan dirinya sendidi, telah lupa dengan segala cita-citanya. Dan kemurungan itu tampak jelas ketika Mbah Kung masih selalu merepotkannya.
Hidup Mbah Uti begitu pedih dan pahit, seperti mata yang dilumuri sambal, seperti mulut anak kecil yang dicekoki brotowali.
Peristiwa-peristiwa itu seperti mengerak dalam mulutnya, menjadi asin, asam, pedas, juga pahit, dan pada gilirannya menjadi rasa dalam kehidupannya. Ah, betulkah ia enggan melupakannya? Bukankah kenangan buruk sebaiknya tak diingat?
Sementara peristiwa-peristiwa itu menjadi begitu menakutkan, aku masih belum mengerti, mengapa ia tak suka kecap dan tampak begitu membencinya? Adakah ia betul-betul membencinya? Ataukah masakan-masakan aneka rupa itu semacam pembiasaan untukku, agar suatu saat menghadapi dera penderitaan, aku telah terbiasa merasakannya? Kelebat sangkaan itu kian cepat, memenuhi kepalaku seperti rimba yang menjalar tiba-tiba, semakin rimbun dan membuat pikiranku tersangkut di sana-sini.
Sejak percakapan itu, aku mulai mengingat-ingat lagi urutan bumbu-bumbu di dapur. Persis, kecap tak ada di sana. Lalu aku mulai mencecap kembali rasa-rasa masakan siang tadi, kemarin, kemarinnya lagi, hingga beberapa hari sebelumnya. Pening sekali.
Kepalaku menayangkan gambar-gambar masakan. Sup, oseng tempe, kangkung, pecel, telur balado. Apakah kebetulan? Semuanya tidak manis.
Aku juga mulai mengerti alasan di balik nasi goreng yang tetap berwarna terang. Ah, ia menghindarinya, menjauhkan diri dari yang manis-manis sebab akan membuatnya lupa akan kegetiran, asam garam kehidupan.
***
“He, wes amin-amin,” seseorang menyenggol dengkulku dengan dengkulnya, memberi kode bahwa sesi berdoa telah dimulai. Aku segera buyar, meninggalkan cabang-cabang pikiran.
Doa segera selesai, salawat dirapalkan bersama-sama. Seseorang di pojok mulai menyelonjorkan kakinya. Di seberangnya, tampak seseorang mulai melesakkan peci ke dengkulnya, seseorang lain di sampingnya mengumpulkan buku Yasin sambil menutupi mulutnya yang menguap.
Hidangan segera datang. Orang-orang menunggu dengan senang, menyadari perutnya akan dipenuhi makanan dan pulang dalam keadaan kenyang luar biasa. Berbeda denganku, kecemasan-kecemasan itu masih membulir bersama keringat di kepala. Rambutku terasa begitu basah, air itu mengalir menuruni muka, melewati celah-celah mata dan telinga.
Aku menyaksikan mangkuk itu telah sampai di ambang pintu tengah. Sewajarnya sohibul hajat, aku menyongsongnya, menuju arah yang sama bersama Bapak. Aku terhentak melihat isi mangkuk dalam talam itu. Semuanya hitam dan tampak sangat manis. Tahu kecap.
Persis. Aku tak salah lihat ketika aku membawa talam itu ke beranda dengan tangan bergetar. Aku masih belum mengaburkan semua pikiranku soal Mbah Uti, soal kegetiran hidupnya, semakin jelas dan pekat di pikiranku, resap di perasaanku.
Mataku mulai memandangi kekosongan, langkahku sempoyongan. Dan pada langkah entah ke berapa, aku terjatuh, lemas dan begitu hilang daya. Menumpahkan semuanya, menghamburkan tahu dengan segala bumbunya ke udara.
Ketika aku terjaga di ambennya, mataku mulai timbul perlahan-lahan. Wangi melati yang berbaur minyak tawon, lesap ke udara. Hampa. Aku menengok ke kanan, tempat Mbah Uti dulu berbaring. Kurasai di pipiku, sesuatu yang sepertinya air mata, rebas dan semakin deras. Seseorang telah merusak masakannya dengan kecap.
Aku mencoba mengingatnya, mengaktifkan segala perasaan, nihil. Mbah Uti lingsir dari ingatan kami, ia telah benar-benar pergi. Seseorang telah memaksa kami merasakan manis ketika kenyataan sedang begitu getir.
2020
***
Editor: Ghufroni An’ars