Lambannya pemerintah dalam memenuhi tanggung jawab pelayanan publik menunjukkan inefisiensi kinerja, baik di level pimpinan tertinggi maupun birokrasi di bawahnya. Sudah ada banyak sekali kasus yang menunjukkan bahwa kalau benar-benar ingin dilayani, harus viral dulu dan memicu kemarahan publik.
Fenomena no viral, no justice memaksa pemerintah memakai paradigma yang disebut Ines Mergel (2021) sebagai driven by digital pressure, pemerintah perlu ditekan oleh warganet dulu agar bertindak alih-alih menggunakan kerangka perencanaan kebijakan yang holistik. Situasi semacam ini memperlihatkan wajah gagap pemerintah kepada publik. Pemerintah gagal untuk mengumpulkan, mengolah, dan menggunakan informasi yang sebenarnya sudah tersedia, sehingga alarm permasalahan tidak terbaca sampai meledak di ruang publik.
Algoritma sebagai Alarm
Viralitas yang memaksa pemerintah bereaksi sebenarnya lahir dari perpaduan aktivisme digital dan mekanisme algoritma media sosial. Platform seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) dirancang untuk mempromosikan konten yang memicu emosi kuat, terutama kemarahan dan empati.
Riset Mergel menunjukkan media sosial telah mengubah pola komunikasi publik dari satu arah menjadi interaksi dua arah yang terjadi secara langsung, bahkan menjadi “ruang dengar alternatif” ketika mekanisme formal tidak responsif. Studi di Indonesia juga menemukan bahwa akun resmi pemerintah di media sosial dinilai cukup responsif sebagai saluran interaksi layanan publik.
Baca juga:
Meski viralitas terbukti efektif, masih tetap ada masalah mendasar terkait keadilan akses. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 menunjukkan bahwa meskipun cakupan internet Indonesia mencapai 79,5% dengan 221,5 juta pengguna, masih ada sekitar satu dari lima penduduk yang belum terhubung internet.
Badan Pusat Statistik juga mencatat kesenjangan akses internet yang signifikan antara perkotaan dan perdesaan. Ini menggambarkan hal yang disebut digital divide oleh Jan van Dijk, baginya kesenjangan digital bukan sekadar soal akses fisik, tetapi juga menyangkut kemampuan, literasi, dan pola penggunaan teknologi.
Kesenjangan ini menciptakan ketidakadilan struktural dalam akses layanan publik. Mereka yang memiliki gawai canggih, kuota internet memadai, dan literasi digital tinggi jauh lebih mampu memviralkan permasalahan mereka dibandingkan warga miskin, lansia, masyarakat adat, atau penduduk daerah terpencil.
Viralitas akhirnya menjadi semacam cara instan untuk mengakses layanan publik, yang pada kenyataannya hanya dapat diakses oleh segmen masyarakat tertentu, sementara warga yang melapor melalui jalur formal—datang ke kantor kelurahan, mengisi formulir, atau menelepon layanan pengaduan—sering harus menunggu lama tanpa kepastian.
Proaktif bukan Reaktif
Sampai kapan fenomena no viral, no justice dibiarkan? Momentum kemarahan publik seharusnya menjadi bahan evaluasi sistem pemerintahan agar hal ini tidak terus-terusan terjadi. Setidaknya pemerintah perlu meninjau ulang proses perumusan kebijakan agar benar-benar bertumpu pada rasionalitas dan data serta partisipasi warga, bukan pada viralitas belaka.
Bukan tanpa sebab. Langkah mitigasi yang dipicu oleh viralitas biasanya hanyalah solusi jangka pendek untuk menambal kebobrokan, tetapi tidak menyentuh akar permasalahan. Sejalan dengan ini, Howlett menakankan bahwa kebijakan yang reaktif cenderung jatuh pada misdiagnosis dan blame avoidance—sibuk memadamkan citra, tapi tidak menyelesaikan masalah substantif.
Upaya perbaikan tidak bisa berhenti pada penyusunan kebijakan, tetapi harus menyentuh aspek yang lebih fundamental: manusia dan kelembagaan. Transformasi pemerintahan digital, seperti disampaikan Dunleavy dan Margetts, bukan hanya soal membangun aplikasi baru, melainkan memperkuat kualitas birokrat yang mengoperasikannya.
Pegawai di garda terdepan perlu dibekali empati, kemampuan mengambil keputusan cepat, dan keberanian bertindak dalam situasi gawat darurat—alih-alih bersembunyi di balik frase “maaf, aturannya begitu”. Organisasi publik pun wajib membangun budaya yang mendukung inisiatif, bukan menghukumnya. Evaluasi kinerja perlu bergeser, dari sekadar kepatuhan administratif menuju indikator yang benar-benar mencerminkan respons yang tanggap dan kualitas layanan kepada warga.
Baca juga:
Perbaikan manusia dan organisasi harus berjalan seiring dengan pemanfaatan teknologi sebagai alat antisipasi, bukan sekadar instrumen respons. Literatur tentang anticipatory governance menekankan pentingnya sistem yang bisa membaca tanda-tanda awal persoalan sebelum berubah menjadi krisis.
Pemerintah dapat mengembangkan dashboard real time yang memetakan keluhan masyarakat, menandai sektor atau wilayah yang menunjukkan lonjakan masalah, dan menggerakkan pimpinan untuk mengambil langkah korektif secara cepat.
Rapat mingguan atau bulanan pimpinan semestinya tidak hanya mengulas progres proyek, tetapi juga tren aduan publik yang menunjukkan dinamika kebutuhan dan keresahan warga. Pergeseran ini akan mengubah kebiasaan birokrasi dari “tunggu sampai viral” menjadi “mitigasi risiko yang terencana”.
Pada akhirnya, fenomena “viral dulu, tindak lanjut kemudian” adalah cerminan bahwa ekosistem pelayanan publik kita masih jauh dari sehat. Viralitas memang dapat berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang mendorong pemerintah bergerak, tetapi ia tidak boleh menjadi syarat agar warga memperoleh hak dasar.
Dalam negara yang ideal, pelayanan publik berjalan tanpa perlu kamera yang merekam, tanpa harus ada tagar yang trending, dan tanpa menunggu algoritma media sosial mendorong isu ke puncak linimasa.
Editor: Prihandini N
