Reformasi Polri belum selesai, tapi sudah terganjal. Terbitnya Peraturan Polri (Perpol) No. 10 Tahun 2025 adalah contoh mutakhir atas hambatan dari pola reformasi ini. Perpol ini bukan sekadar persoalan administratif semata, melainkan ujian serius bagi konsistensi negara bagi reformasi Polri dan supremasi hukum di Indonesia. Lantas, apakah ini langkah reformasi atau sebuah pengaburan batas di dalam lembaga Polri?
Ironisnya, Perpol ini telah ditandatangani langsung oleh Kapolri, salah satu bagian dari tim perumus agenda reformasi itu. Perpol ini ditandatangani pada 9 Desember 2025, isinya mengatur penugasan anggota Polri untuk bisa aktif di luar struktur organisasi kepolisian, tepatnya di 17 Kementerian dan lembaga negara.
Secara normatif, aturan itu tampak rapi—anggota Polri yang ditugaskan wajib melepaskan jabatan struktural di tubuh kepolisian sebelum menjalankan tugas baru. Namun, dalam politik hukum, kerapian teks itu tidak berarti menunjukkan adanya kejernihan makna.
Dari sinilah problem utamanya bermula.
Beban Lama Reformasi
Sejak Polri dipisahkan dari TNI pasca reformasi 1998, harapan publik sebenarnya sederhana: tegaknya lembaga kepolisian yang profesional, netral, dan tunduk pada hukum. Namun dalam perjalanan selama dua dekade lebih, upaya reformasi itu tidak pernah tiba di garis akhir. Seolah, ada kekuatan politik yang membentengi tubuh kelembagaan tersebut.
Masalahnya bukan hanya terletak pada struktur, tetapi juga pada kultur. Banyaknya beban tugas yang dinilai menumpuk, orientasi birokratis, dan lemahnya mekanisme akuntabilitas membuat Polri kerap berada dalam posisi defensif ketika menghadapi kritik publik.
Baca juga:
Menurut keterangan Ombudsman, dalam kurun waktu lima tahun terakhir lembaga tersebut telah menerima 3.308 laporan terkait pelayanan kepolisian. Laporan itu menempatkan Polri sebagai salah satu instansi yang paling banyak dilaporkan. Masalah fundamentalnya ada pada penyalahgunaan wewenang, lemahnya pengawasan, hingga tidak meratanya layanan di berbagai wilayah.
Di sisi lain, Polri pun kerap disorot sebagai instansi yang banyak melakukan tindakan kekerasan. Sebagaimana KontraS melaporkannya dalam Kertas Kebijakan Hari Bhayangkara Tahun 2025, sepanjang Juli 2024–Juni 2025 ada 602 peristiwa kekerasan yang telah dilakukan oleh Polri. Peristiwa itu melingkupi seperti penembakan, penyiksaan, salah tangkap, dan penangkapan aktivis.
Dari konteks itu, desakan publik pun menguat untuk mendorong pemerintah agar segera melakukan reformasi Polri. Terbentuklah Komisi Percepatan Reformasi Polri pada November 2025 yang diketuai oleh Jimly Asshiddiqie. Adanya tim ini merupakan bentuk pengakuan tak langsung, bahwa agenda reformasi Polri ini memang harus diselesaikan. Namun, di tengah perjalanan muncul Peraturan Polri No. 10 Tahun 2025.
Problem utama dari peraturan ini bukan sekadar administratif, melainkan soal kejelasan prinsip konstitusi. Pasca reformasi 1998, telah ditegaskan bahwa fungsi aparat negara dengan jabatan sipil harus dipisah. Penegasan yang menunjukkan sebuah upaya untuk mengubur sisa-sisa logika mengenai dwifungsi dalam sejarah politik bangsa ini.
Bagi sebagian kalangan, ini bukan sekadar soal teknis penugasan, melainkan soal arah politik hukum kita. Apakah negara sedang memperluas ruang untuk sipil atau justru ingin menancapkan kembali aparat bersenjata di jabatan sipil secara halus?
Pertanyaan ini tentu tidak berlebihan, karena sejarah Indonesia selalu mengajarkan kepada kita bahwa kejelasan hukum yang kabur itu jarang sekali berakhir secara netral.
Pertarungan Dua Tafsir
Dalam keterangan Putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025, anggota Polri yang ingin menduduki jabatan sipil harus pensiun atau berhenti dari kepolisian. Pandangan ini juga diperkuat oleh Mahfud MD yang menilai bahwa peraturan tersebut telah bertentangan dengan semangat putusan MK dan pasal 28 ayat (3) tentang kepolisian—bahwa anggota kepolisian dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Tetapi tafsir lain muncul dari Ketua Komisi III DPR RI, yang menilai bahwa MK hanya membatalkan frasa tertentu dalam penjelasan UU Polri, bukan melarang secara total penugasan anggota Polri di luar struktur lembaga kepolisian—selama tugas tersebut masih berkaitan dengan fungsi kepolisian.
Dua perdebatan ini menunjukkan polemik dari dua cara pandang hukum yang klasik: antara positivisme hukum yang menekankan secara ketat pada putusan MK dan interpretivisme konstitusional yang memberi ruang pada konteks dan tujuan norma.
Masalahnya, dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia, ruang tafsir sering dimanfaatkan lebih cepat daripada dijernihkan. Hukum pun berisiko mengalami perubahan fungsi, dari pembatas kekuasaan menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Pentingnya Peran Presiden
Dalam situasi seperti ini, negara—terutama presiden—tidak boleh diam dan bersikap netral. Bagaimana pun, ia adalah pemegang kendali tertinggi atas Polri, sekaligus merupakan penanggung jawab arah reformasi institusional ini. Apa yang dibutuhkan oleh publik saat ini bukanlah sebuah pembelaan normatif atau politik, tetapi bagaimana negara bisa menjelaskan dirinya sendiri kepada publik sebagai penjaga konstitusi.
Baca juga:
Maka, yang diperlukan saat ini adalah melakukan penegasan supremasi konstitusi untuk mempertimbangkan kembali Perpol itu jika terbukti bermasalah. Diperlukan juga adanya kajian yuridis secara terbuka yang melibatkan beberapa lembaga seperti MK, DPR, dan komunitas akademik agar tidak melahirkan tafsir yang sepihak.
Selain itu, dialog publik yang inklusif, yang melibatkan masyarakat sipil dan lembaga pengawas eksternal, juga diperlukan agar reformasi tidak sekadar menjadi proyek elite. Dan yang tidak boleh tertinggal, yaitu melakukan penataan kembali tentang relasi Polri dan jabatan sipil.
Tanpa adanya langkah-langkah tersebut, reformasi Polri hanya akan menjadi pelaksanaan formalitas administratif semata.
Haruskan Reformasi Tertunda?
Perpol No. 10 tahun 2025 adalah salah satu cermin dari permasalahan besar reformasi Polri saat ini. Peraturan itu menyimpan ketegangan abadi antara kebutuhan negara dan kehati-hatian konstitusi. Dan perlu diingat, bahwa Perpol itu tidaklah lahir dari ruang hampa, tetapi lahir di tengah sejarah panjang yang tidak pernah terselesaikan.
Agar reformasi berjalan sesuai harapan, sebaiknya polemik dapat diselesaikan secara terbuka, jujur, dan taat konstitusi. Situasi ini seharusnya menjadi momentum bangsa kita untuk melakukan koreksi. Karena jika ini dibiarkan, Perpol ini hanya akan memperpanjang daftar kebijakan yang sah secara administratif, namun rapuh secara legitimasi.
Apa yang riskan dari reformasi bukanlah soal konflik antar tafsir, melainkan adanya kebiasaan yang selalu menunda sebuah kejelasan. Dan Polri, sekali lagi, ada di persimpangan yang sama.
Pada akhirnya, kita perlu menekan agar pemerintah bisa membuat lembaga kepolisian ini benar-benar profesional, netral, dan selalu tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Sebab, jika reformasi dibiarkan kabur, yang lahir bukanlah perubahan, melainkan sebuah penundaan yang dilegalkan secara hukum.
Editor: Prihandini N
