Video viral Oki Setiana Dewi yang sedang berceramah tentang istri yang menutupi aib suami yang memukulnya, menunjukkan ketidakpahaman Oki, sebagai ustazah, atas apa itu aib dan bagaimana ajaran Islam atas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Menutupi aib seperti halnya menutupi bagian tubuh seseorang yang pakaiannya tersibak saat tidur. Aib adalah sesuatu yang membuat kita malu, tetapi itu tidak akan membahayakan dan merugikan orang lain.
Seorang ulama besar, Hatim bin Alwan, dijuluki si Tuli (Al-Asham) karena pura-pura tidak mendengar kentut seorang perempuan yang bertanya kepadanya. “Tolong keraskan suaramu,” kata Hatim yang pura-pura pendengarannya buruk agar perempuan itu tidak malu. Kentut mungkin bau dan membuat malu diri sendiri, tapi ia tidak membahayakan. Karena itulah ia bisa jadi aib.
Dari gambaran sederhana tadi seharusnya kita mengerti, satu-satunya yang jatuh korban dari aib adalah diri sendiri. Ketika sesuatu menyakiti orang lain, membahayakan, atau menodai kehormatan mereka, maka kita menyebutnya: tindak kriminal.
Ikut Campur?
Kita sering mendengar petuah: jangan ikut campur urusan rumah tangga orang. Jauh-jauhi dapur tetangga, urus urusanmu sendiri! Namun, kredo “tidak mencampuri urusan rumah tangga orang” seharusnya berhenti saat terjadi tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
Kita tidak bisa menutup mata dan pura-pura tuli saat menyaksikan tetangga memukuli istrinya. Itu bukan aib, dan kita berhak ikut campur. Sayangnya, masih ada saja yang berpikiran bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah aib yang tidak boleh keluar dari pintu rumah, bahkan para korban terkadang berpikir demikian.
Kesadaran ini makin sulit berkembang ketika para penceramah terus meracuni pemikiran para perempuan dengan konsep istri salehah tanpa kemerdekaan diri. Sebagian bahkan mendorong para perempuan untuk terima-terima saja jadi samsak tinju sang suami. Lagi-lagi dengan dalih menjaga aib keluarga.
Namun, kekerasan bukan aib, pelakunya harus diadili, dan korbannya harus diselamatkan sebelum terlambat. Nabi Muhammad pernah berpesan kepada para sahabat, “Tolonglah saudaramu, baik yang menzalimi atau dizalimi.”
Sahabat agak bingung dengan frasa menolong yang menzalimi, lalu beliau menjelaskan, “Kau cegah dia dari berbuat zalim!”
Bukankah pencegahan di sini berarti suatu kezaliman (yang bisa jadi adalah kekerasan rumah tangga) tidak lagi hanya menjadi aib keluarga dan harus diselesaikan bersama? Nabi Muhammad jelas-jelas menyuruh kita untuk ikut campur saat terjadi kezaliman di depan mata kita.
Islam Anti KDRT
Kita mungkin berselisih tentang banyak hal, tapi bisakah setidaknya kita bersepakat untuk tidak melakukan kekerasan hanya untuk memuaskan ego kita? Sebagian orang bahkan mencari-cari pembenaran lewat dalil-dalil agama; mereka ingin memukul wajah istri mereka, dan mereka membaca Al-Qur’an untuk mencari alasannya, bukankah ironis?
Surat An-Nisa ayat 34 selalu menjadi kambing hitam mereka dengan mengutip salah satu penggalan ayatnya: Istri-istri yang kamu khawatirkan akan nusyuz (durhaka) maka nasehatilah mereka, tinggalkan mereka di tempat tidur, dan pukul mereka.
Dengan satu ayat itu, ada suami yang merasa bisa memukul wajah istrinya dan tidak merasa berdosa. Namun, benarkah Allah dan Rasul-Nya mengajarkan demikian?
Apakah Nabi Muhammad berbohong saat berkata: Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik ke keluarganya, dan aku adalah yang paling baik ke keluargaku? Ataukah kita yang pura-pura buta dan tuli bahwa beliau pernah berkata begitu? Sepertinya lebih masuk akal yang kedua.
Dalam riwayat Abu Dawud, Nabi Muhammad menyebut para istri sebagai hamba-hamba perempuan Allah, dan beliau melarang para sahabat memukul mereka. Beberapa lama setelah pelarangan itu, Umar menghadap Nabi, “Banyak istri yang membangkang kepada suaminya,” lapor Umar. Maka beliau mengizinkan sahabat memukul, dalam konteks pembinaan dan menjaga keutuhan rumah tangga.
Lalu gantian para istri yang mengadu kepada Nabi dan keluarga, mereka mengeluhkan sikap suami mereka yang kasar. Mendengar hal itu, Nabi mengumpulkan para sahabat dan berkata bahwa mereka yang memukul istrinya bukan lelaki yang baik.
Nabi Muhammad sendiri menjelaskan maksud dari memukul adalah dengan pukulan yang tidak menyakitkan (dharb ghairu mubarrih) dan menghindari wajah. Atha’ bin Abi Rabah pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, “Maksudnya pukulan yang tidak menyakitkan itu bagaimana?”
Ibnu Abbas menjawab, “Seperti dengan siwak dan semacamnya.” Bayangkan, siwak mungkin sekecil sikat gigi di zaman sekarang. Itu bahkan tidak bisa disebut dengan pukulan.
Jika masih mencari pembenaran agama atas kekerasan dalam rumah tangga, simak kesaksian Aisyah yang diriwayatkan Imam Muslim berikut: Rasulullah tidak pernah memukul siapa pun, perempuan atau pelayan, kecuali saat berjihad di jalan Allah.
Pertanyaannya sekarang, pecundang yang memukuli istrinya itu sedang membangun rumah tangga atau medan perang? Bukankah tujuan dari pernikahan, seperti yang disebutkan Al-Qur’an, adalah untuk saling menopang, merasa tentram, dan membangun kasih sayang? (QS. Ar-Rum: 21)